BAB 3

Fantasy Completed 3065

Irzi bukan remaja yang seperti pada umumnya—hampir dari semua warga
Arioth Academy tahu itu. Wajahnya cantik, badannya jangkung tidak
seperti anak perempuan manis yang badannya petite dan imut-imut. Reaksi
yang biasanya besar dan terkesan sedikit lebay, dan daya khayal yang
luar biasa. Menggemari anime dan manga yang lagi hits, tidak takut jadi
diri sendiri, tapi tingkat kekepoannya melebihi dua kali lipat warga
Arioth.

Orang-orang jatuh cinta dengan artis atau tokoh fiktif di sebuah cerita
atau penyanyi atau anggota boyband atau girlband, Irzi jatuh cinta pada
sebuah legenda yang tidak tahu asal-usulnya darimana. Oke, mungkin bukan
jatuh cinta, tapi obsesi. Irzi terobsesi berat dengan legenda misterius
itu, padahal sudah hari Selasa, dan dia mendengarnya hari Kamis minggu
lalu dari mulut anak-anak SMP yang masih unyu-unyu itu.

Pada akhirnya lukisan Irzi hari itu adalah gambar kunci yang kepalanya
meliuk-liuk rumit, lengkap dengan efek shadow dan lighting yang
tervisualisasi dengan jelas dengan warna-warni cat poster diatas kanvas.
Guru seninya memujinya hari itu, meski menurutnya sebuah kunci mengilap
masih kalah dengan langit dua matahari buatan Karin.

Tapi Irzi nyaris tidak peduli. Kepalanya penuh dengan sebuah cerita—yang
katanya legenda—dan tidak bisa hilang. Dia sudah mencari-cari siapa yang
kira-kira tahu tentang legenda itu, tapi yang dia dapat tidak jauh beda.

BRAK!

“HOI!”

“Mamak!”

Irzi mengerjap-ngerjapkan matanya bingung, mendapati dirinya ada di
ruang kelas, dengan Catur menatapnya tajam. “Latah lo ‘mamak’? Jelek
abis.”

Irzi menaikkan sudut hidungnya. “Apaan sih? Pake gebrak-gebrak meja
segala.”

“Lu gue panggilin ga nyaut. Kenapa sih? Sakit?”

“Ih, sotoy.”

Catur memutar matanya. “Tadi Keith nyamper ke kelas. Katanya bekal lo
ketinggalan, suruh ambil di kelasnya.”

“Oh iya?” Irzi mengerutkan dahi, “kok dia gak sekalian nganterin aja
kalo dia mampir sini?”

“Tau, dari sononya dongo kali,” Catur mendecak tidak sabar. “Tuh kan,
dia dateng aja lu gak nyadar. Melamun mulu? Kalo sakit ke UKS, lu
maksain disini nyiksa diri sendiri.”

Irzi menghela nafas dengan gaya yang berlebihan, merentangkan tangannya
yang panjang melewati pinggiran mejanya, dagunya ditempelkan di meja.
“Gue sakit, Tur.” keluhnya dramatis, “sakit kepala… Pusing… Pikiran gue
berlarian kemana-mana…” Lalu Irzi berhenti bicara untuk menghela nafas
lagi. “gue harus apa?”

“Tinggal dikandangin aja susah amat sih,” Catur langsung menjawab dengan
nada malas.

Irzi langsung bangun, menopang dagunya kesal. “Eluuuu,” Irzi
memanjangkan ‘u’-nya sampai monyong, “nyebeliiiiiin, tau gak?”

Catur mendecak lagi. Mungkin hobi? “Ck. Serah.”

Catur akhirnya balik badan, menghiraukan Irzi. Melihat bagian belakang
kepala Catur selama beberapa saat, terlintas di pikiran Irzi untuk
menanyakan Catur soal legenda tersebut. Kemungkinannya kecil, tapi siapa
tahu dia tahu, ya kan? Lagipula, kalau tidak salah Catur adalah salah
satu yang sekolah di Arioth Academy dari SMP. Mungkin dia tahu.

“Eh, Tur, lu tau gak soal legenda Arioth?” tanya Irzi pada akhirnya,
kalah dengan rasa penasaran yang menggunung.

Catur menoleh lagi kearah Irzi, tampak berpikir sejenak. “Yang di
auditorium?”

“Iya, iya itu!” Irzi nyaris menjerit dan langsung mencondongkan tubuhnya
maju, “tau soal itu? Apa yang lo ngerti soal legenda itu?”

Alis Catur naik melihat tingkah laku Irzi yang super semangat. “Selo
neng.” Catur mengerutkan dahinya, bola matanya bergerak melihat ke
langit-langit. “Kalo gak salah lu harus berdiri di tengah-tengahnya.
Terus bawa apa gitu terus nanti ada yang ngasih lu kunci kan?”

“IYA! IYA! IYA!” Irzi sekarang sudah lompat, lututnya dua sudah ada
diatas kursi. Catur langsung menggeser kursinya mundur dari Irzi. Takut.
Cantik-cantik nyeremin.

“Gak sekalian teriak ‘Bisa Jadi’ biar kayak Eat Bulaga?” Catur merasa
wajahnya terbakar saat sadar orang-orang sudah memperhatikan mereka
berdua, “duduk kek lu?! Gak malu loncat ke kursi gitu apa?”

“Terus? Menurut lo itu asli gak?” tanya Irzi dengan mata berbinar.
Suaranya yang kencang sekarang membuat nyaris separuh kelas
memperhatikan mereka.

Catur langsung membuang muka kearah jendela. Wajahnya yang putih kalau
merah kelihatan jelas—dan merahnya bukan hanya di pipi, tapi di seluruh
wajahnya, menjalar sampai jidat, merambat ke kuping dan ujung dagu.
Seperti habis direbus. Cowok berdahi lebar itu tidak masalah dilihati
waktu main bola, karena dia memang selalu jadi bintang lapangan, tapi
kalau bukan main bola…+

Catur bergidik.+

“Lu. Duduk. Atau gua gak akan jawab.” Catur berusaha menyembunyikan
malunya.+

Saat memastikan anak-anak sekelasnya sudah mengalihkan perhatian lagi,
Catur kembali menoleh kearah Irzi yang sudah menunggunya dengan mata
bersinar-sinar. Kalau Irzi itu anjing, pasti ekornya sudah
bergerak-gerak seperti wiper kaca mobil saking excited-nya.+

“Asli?” Irzi menelengkan kepala, “atau nggak?”+

“Nggak.” jawab Catur ringkas. “Puas lu?”+

Sekali lagi, kalau Irzi adalah anjing, sekarang pasti ekornya dan
telinganya sudah terkulai lemas dan matanya berubah sayu karena kecewa.+

“Ih, kok enggak?” Irzi memanjang-manjangkan nada suaranya membuat Catur
menggertakkan gigi kesal. Kesannya manja, anak kecil banget,
bertele-tele. Tapi toh, dia tetap menjawabnya, meski kesannya senewen.+

“Gak realistis. Jaman sekarang mana ada yang magis begitu? Cuma legenda,
gak nyata. Fix.”+

Irzi menunjuk kearah wajah Catur, “Tapi semua legenda punya dasar fakta.”+

“Kalo gitu, legenda yang ini nggak.” +

“Ih!”+

“Apa lagi sih?”+

“Jutek amat jawabnya! Biasa kek!”+

Catur tidak bisa menahan untuk mendaratkan telunjuknya ke jidat Irzi
yang tanpa poni, dan mendorongnya ke belakang, membuat si cewek
mengerang. “Lu nanya pendapat gua, kan? Jawabannya enggak, gue ga mikir
itu legenda ada beneran. Galak amat nanggepinnya. Biasa kek!”1

Melihat Irzi manyun karena gondok, Catur tersenyum menang.+

* * * *+

“Hose Morinyo, Morinyo, Morinyo,” +

Pintu kamar Jose menjeblak terbuka.+

Jose menoleh kesal dari layar computer yang menampilkan permainan online
Dota. “Ape?” jawabnya galak, sebal diganggu.+

Dua wajah bermata sipit di depannya nyengir geli. “Duh ilah, lagi mens?”+

Jose mengadu tatap dengan Arka dan Gerry yang hanya tertawa-tawa.
“Mungkin tadi malem numbuhin uterus di dalem situ,” kata Arka, yang
langsung ngikik-ngikik sendiri, disambut Gerry.+

Jose menghela nafas, langsung menutup game-nya. “Iye, iye maap. Lagian
nama gue bagus-bagus Jo-se, jangan disamain sama pemain bola Morinyo
monyong itu.”+

“Mourinho gak monyong!” Gerry nyaris menjerit. “lu ngomong gitu
kenceng-kenceng kalo anak O.R. denger mati loh lu.”+

O.R. maksudnya olahraga. “Elah, kayak gua takut aje,” Jose langsung
menaikkan satu kakinya keatas kursi sok jago. Perangai menantang bawaan
Papa Ambon dan Mama Betawi-nya keluar.+

“Apa dah. Berenang doang lu kayak ikan paus, berantemnya kayak bebek.
Cuma bisa nyosor-nyosor ngangkat kaki doang.” Arka menyahut pedas, mau
tak mau membuat Jose cengar-cengir menurunkan kakinya. “Lo lupa apa Ger?
Temen kecil lo sekarang Raja. Yang berani sama dia mungkin banyak, tapi
untuk langsung nantangin mana ada. Sama aja nyari mati di sekolah.”+

“Oh iya,” Gerry langsung mengambil posisi bersimpuh dan langsung
pura-pura sujud di hadapan Jose, diikuti Arka disebelahnya, “Yang Mulia
Jose,” kata mereka penuh penghormatan. “Yang Mulia, Yang Mulia!”+

“Najis, bangun lu.” Jose langsung menarik Gerry yang senyum-senyum
berdiri lagi. Arka cuma ngikik-ngikik sambil ikut bangun. Mungkin
sebenarnya Arka berprofesi tersembunyi sebagai kuntilanak tiap malam
Jumat. Ngikik terus. “Sebenernya ngapain sih lu berdua kesini? Masih
pake seragam pula.”+

“Lah elu? Kayaknya motor gua sama elu cuma beda lima menit berangkatnya
udah main cuma pake kolor sama singlet.” Arka menoyor kepala Jose yang
mengaduh kencang.+

“INI BOXER!” Jose menjerit kesal. “KOLOR ITU SEGITIGA! BEDAIN DONG!”1

Arka cuma ketawa ngakak, sambil keluar kamar Jose mau ambil minum
dibawah. Sedang Gerry menatapnya serius. Sadar diperhatikan, Jose
mengarahkan pandangan ke arah Gerry. “Ape?” tanyanya pelan.+

Gerry menatapnya seksama selama beberapa saat, “Katanya lagi stress ya?” +

Jose mengalihkan pandangannya kearah computer, mulai membuka website
Detik tanpa menjawab. Tapi Gerry tahu. Dia kenal Jose luar-dalam. Tidak
hanya Jose—dia bisa melihat orang-orang kalau sedang ada masalah. Dan
kelebihannya bisa berkomunikasi dengan segala macam orang dengan mudah
membuat orang-orang bisa percaya padanya, makanya dia dekat dengan
segala macam orang dari berbagai golongan di dalam maupun luar Arioth.
Orang bilang radar sosialnya sepeka tuas air raksa, atau memang dari
sananya tingkat ke-psikologi-annya tinggi. Padahal Gerry cuma pintar
menebak. Kecuali soal Jose, dia tahu betulan.+

“Coba gua liat lukanya,” Gerry berkata lagi, membuat Jose meringis. +

“Gak, kali ini gak ada luka-lukaan.” Jose berkata pelan. “gak di badan.”+

Gerry tidak menanggapi selama beberapa saat. “Terus?”+

“Ya biasa. Kemaren cuma kena gampar. Pas dia mau ambil gesper gua
kabur.” Jose tertawa miris. “Kabur. Gue kabur. Ke…”+

Jose berhenti, tapi Gerry hanya mengangguk. “…ke situ. Yah. Lu gak bisa
nahan gituan selamanya. Normal.” kata Gerry.+

“Tapi gua KABUR!” Jose berteriak. “Pengecut,” dia bicara lebih pelan.
“Gue tokoh sinetron yang pengecut yang lepas dari TV.”+

Suara tertawa Gerry membuatnya mendelik. “Jos,” Gerry berkata dengan
senyum yang memamerkan behelnya. “gak papa.”+

Entah apa kekuatan Gerry, tapi setiap cowok itu bilang kata itu, Jose
langsung tenang lagi. Jose curiga bahwa ‘Gak papa’-nya Gerry punya
khasiat gaib.+

“Hm.” Jose cuma bisa menggumam.+

Gerry kemudian berjalan kearah TV dan menyalakannya. “Udah lewat Jos.”+

Untuk sekarang lewat. Nanti pasti datang lagi.+

Tapi Jose diam saja sampai Arka masuk membawa dua kaleng Sprite dan satu
Fanta untuk Gerry. Dasar promosi—mentang-mentang bapaknya yang pegang
sahamnya.1

“Lu malem ini pergi?” tanya Arka ke Jose. “temenin gue ke FX dong.”2

Jose membuka kalengnya dan meneguk isinya. Belum sempat dia menjawab,
Gerry yang menjawab. “Ngapain?”+

Arka senyum-senyum. “Biasa.”+

Jose mengeluarkan sendawa yang kencang, “Jekate kan?” tanya Jose
meledek. “Gue pass hari ini sama besok. Ajak Gerry aja.”3

“Emang lu mau kemana Jos?”+

“Ada latian.”+

Arka mengangkat bahu tidak peduli, tapi Gerry mengerti bahwa latihan
Jose bukan latihan bola.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience