Irzi duduk di depan kanvasnya, dengan kuas terpegang dan otak yang
buntu. Setelah menghentak-hentakkan kakinya bingung, Irzi menurunkan
kuasnya. Percuma. Irzi tidak ada
ide.
Tema ekskul lukis hari ini adalah sesuatu yang fiktif. Guru seninya yang
nyentrik bilang ini untuk melatih otak kanan—memacunya untuk bisa
menelurkan buah imajinasi atau apalah, Irzi mengerti saja tidak. Dia
pengkhayal, betul, tapi kali ini daya khayalnya sedang mogok.
“Kar, gue bikin apa nih?” Irzi bertanya pada Karin, yang duduk di
sampingnya, sudah berkutat dengan warna-warni cat poster dari saat si
Guru seni membicarakan soal tema.
Karin menoleh, diam sejenak, lalu mengangkat bahu. “Hmm… Langit? Nggak
tahu ya, terserah kamu aja?” dia mengakhiri akhir kata dengan nada
seperti bertanya, lalu kembali mencoret-coret kanvasnya. Irzi sudah
mengintip lukisan Karin, dan cewek itu melukis langit dan awan-awannya.
Bedanya mataharinya dua, dan meskipun langitnya biru cerah, di langitnya
ada banyak bintang. Gambarnya cantik dan halus, khas Karin.
Mudah diduga sih, toh menurut Irzi kayaknya Karin yang anak dari pilot
salah satu maskapai penerbangan tidak pernah ngapa-ngapain setiap
istirahat siang (kadang juga waktu sela-sela pelajaran) selain kabur ke
atap sekolah untuk memperhatikan langit—sama si Farel, yang satu
golongan dengannya. Brainiacs, mereka berdua kadang sering bolos
pelajaran tapi tetap saja nilainya bagus-bagus. Kekuatan rahasia apa
yang mereka punya untuk menyimpan segala ilmu-ilmu itu di otak mereka,
Irzi tidak pernah tahu.
Di sebelah kirinya, Keith, teman satu ekskul yang merangkap tetangganya
sedang menggambari kanvasnya dengan sebuah sketsa mendetail batu-batu
yang seperti permata. Dia merasakan Irzi mengamati, jadi dia menoleh dan
nyengir meledek. “Belom dapet apa-apaan, lu, Ji?”
Irzi cuma bisa monyong, gondok karena ketahuan memperhatikan. “Belom.”
lalu dia menunjuk ke kanvas Keith. “itu lu gambar apaan?”
“Batu safir,” jawab Keith, melanjutkan gambarnya. “terus ini batu rubi.
Terus ini intan, terus zamrud.”
“Lu mau jualan batu sihir?”
“Orang ini batu mulia. Gue bingung gambar apa, jadi kalo gue ditanya
ntar paling gue jawab ini batunya bisa bikin lu balik ke masa lalu. Ntar
background-nya gue warnain kayak warna-warni abstrak gitu kayak
perjalanan waktu.” Keith sekarang meraih palet catnya, melirik ke Irzi.
“aneh kan? Udah sana lu balik ke habitat lu.”
Irzi mencibir. “Gitu ya.”
“Iya, gitu.”
Irzi berbalik, menatap kanvasnya yang masih putih bersih. Akhirnya
dengan pasrah, Irzi mengangkat tangannya ke udara. “Bu, saya mau ke
kamar mandi.”
* * * *
Di lorong-lorong sekolah yang sudah kosong, Irzi membiarkan suara
sepatunya bertemu lantai memantul di dinding. Izin ke kamar mandi itu
bohong, Irzi mau cari angin biar dapat inspirasi. Irzi memukul-mukul
kepalanya. “Kerja dong! Ah, kenapa lagi gabisa ngayal sih?” dia bicara
sendiri.
Mungkin kalau ada yang lihat, Irzi akan dikira…
“Ih, orang gila.”
Irzi mendelik galak ke sumber suara, beberapa meter di belakangnya.
Ternyata Irzi tidak memperhatikan arah jalannya, sekarang dia ada di
lorong yang mengarah ke lapangan di belakang sekolah, bertemu dengan
Catur. Seragamnya sudah diganti dengan celana pendek dan t-shirt kuning
yang agak lecek, mengalungi handuk kecil dan memegang sebotol Aqua.
“Ih, ngapain lo disini?” tanya Irzi sok galak. “pake ngatain gue orang
gila… Sendirinya kayak kenek metro mini.”
“Salah sendiri, siapa yang mukul-mukul pala?” Catur menyusul Irzi cuek.
“gue duluan ya.”
Kemudian Catur berlari duluan meninggalkan Irzi di lorong panjang. Hari
ini hari Kamis, jadi pasti lapangan (dua outdoor dan satu indoor), aula
olahraga dan kolam renang pasti penuh dengan anggota ekskul. Ekskul
sepak bola ada di lapangan rumput tepat di belakang lapangan indoor,
jadi Irzi memutuskan untuk menyusul Catur. Siapa tahu dapat inspirasi.+
Lapangan rumput sudah penuh dengan anak-anak laki-laki yang sudah ganti
seragam sedang pemanasan. Irzi duduk di tempat duduk yang agak jauh dari
lapangan bersama beberapa anak SMP yang ikut menonton latihan sepak
bola, tapi tampak seru mengobrol.
“Masa sih?”
“Iya tau! Siapa juga yang bohong!”
“Tapi… Yang lo omongin itu kayak sinetron di Indosiar tau gak.”
Irzi berpikir keras. Apa yang kira-kira bisa dijadiin objek lukisan…
“Ih, serius. Nih, gue denger dari anak SMA. Pokoknya, yang bener itu
dimensi lain. Bukan dunia lain! Jadi yang waktu itu si Lika omongin tuh
salah! Lo harus berdiri di tengah-tengah auditorium... Dan lo mesti bawa
sesajen. Kalo gak bawa, yang jagain kunci gak dateng…”
Irzi mengerutkan dahi. Anak SMA? Auditorium? Sesajen? Jagain kunci? Apa
sih? Irzi melirik kearah dua anak SMP yang duduk di sampingnya.
Dua-duanya anak perempuan, yang satu chubby dengan rambut panjang lurus,
yang satu lagi berkawat gigi dan rambutnya diikat. Irzi melihat si
chubby menghel nafas lelah. Kontras dengan Si Behel yang bersemangat.
“Jangan bilang sesajennya harus disertain satu kendi air kembang tujuh
rupa…” katanya kearah temannya, nadanya menyindir.+
“Nggak lah, lo kira mau minta pelet ke dukun?” Si Behel menyela dengan
kesal. “harus buah nanas tujuh potong, potongannya mesti simetris. Sama
lemon dioles madu.”
“Itu sih nggak ada bedanya. Malah lebih mistis. Harus banget lemon
dikasih madu? Wuek.”
Irzi tidak tahan untuk bertanya. Rasa penasarannya serasa membuat
seluruh tubuhnya gatal-gatal. “Eh, kalian lagi ngomongin apa, sih?”
Dua adik kelas itu berjengit kaget, lalu saling lirik takut-takut. Si
Chubby kemudian menunjuk kearah Si Behel. “Ini Kak, katanya masa di SMA
ada urban legend-nya gitu. Katanya… Kata lu tadi apa, Ran?”+
Si Behel yang dipanggil ‘Ran’ raut wajahnya langsung berubah cerah
begitu tahu ada yang tertarik dengan ceritanya. “Bener kan, Kak? Katanya
kalo ada yang berdiri tepat ditengah auditorium SMA, bawa lemon madu
sama nanas bakal di datengin sama Penjaga Kunci Antar Dimensi. Nanti dia
minjemin kunci gitu terus kita bisa ke salah satu dari tujuh dimensi
yang ada di alam semesta! Keren banget kan! Aku denger dari anak SMA kak…”
Irzi mencondongkan badannya mendekat kearah Si Behel, mulai tertarik.
“Hah, masa sih? Aku baru tau… Siapa yang bilang?”
“Iya! Beneran! Tapi itu kuncinya harus dibalikin! Kalau nggak katanya
kita nanti…” Si Behel berpikir sejenak. “aku lupa. Pokoknya buruk gitu
deh. Yang ngomong sama aku... Hmm, cewek kok. Lupa mukanya gimana,
pokoknya pake kacamata terus bawa-bawa buku gitu.”
Si Chubby yang matanya terarah ke arah lapangan rumput mengeluarkan
suara batuk seperti menahan tawa, yang tidak disadari oleh Si Behel.
Mungkin dia menganggap ocehan temannya itu konyol. Tapi kepala Irzi
sudah seperti diberi bensin—mesin-mesin khayal dan imajinasinya sudah
mulai jalan lagi.
“Oooh, gitu,” Irzi mengangguk mengerti, “oke deh. Dek, aku pergi dulu ya!”
Kemudian Irzi langsung lari ke ruang lukisnya. Karin dan gurunya sudah
tidak ada, Hanya ada beberapa anak, termasuk Keith, yang mengerutkan
dahinya kearah Irzi yang terengah-engah duduk kembali di hadapan
kanvasnya.+
Keith mengedipkan dua mata emasnya, setengah kaget, setengah kesal. “Gua
kira lu balik!” seru si cowok. “ninggalin barang bawaan gitu aja… Ntar
ngerepotin gue...”
“Gue—akhirnya—dapet inspirasi,” Irzi nyengir, sedikit letih karena lari
dari pinggir lapangan ke ruang lukis di lantai empat. Irzi mengambil
alat gambarnya dan mulai membuat sketsa.
* * * *
Catur menyiramkan isi botol minumnya ke kepalanya, dan segera merasa
segar kembali. Latihan hari ini cukup berat—soalnya sekaligus seleksi
untuk masuk tim inti. Bukannya Catur mesti ikut berpusing-pusing,
lagipula dia sudah masuk tim inti dari kelas sepuluh; begitu masuk
langsung ditarik. Tapi bukan berarti Catur harus sok nyantai juga kan? +
Dia juga harus membantu menguji teman-teman seangkatannya masuk tim inti
juga, senior-seniornya sudah mau istirahat ekskul untuk mempersiapkan
ujian. Well, dia dan satu orang yang kurang disukainya.
“Gua rasa si Gala bagus tuh,”
Catur balik badan, tapi tidak melihat kearah asal suara. Dia sudah tahu
suara serak itu keluar dari mulut Jose.
“Hm.”
“Assist-nya bagus. Terus gak nguasain bola sendiri.”
“Gak kayak gue ya?” Catur menoleh, menemukan Jose senyum-senyum menatap
Catur. Senyumnya seperti menikmati membuat Catur badmood. Hubungan
mereka berdua sejak diangkat jadi tim inti waktu kelas 10 tidak
baik-baik amat—seperti hubungan anak perempuan yang tidak menyukai satu
sama lain tapi tetap berusaha pasang tampang baik. Mereka menganggap
satu sama lain rivalnya, padahal kalau dibandingkan, kemampuan mereka
dalam sepak bola sama-sama tidak jelek.
“Kayak siapa lagi, sih,” Jose berkata, meneguk minumannya dan kembali ke
posisinya, yang hari ini adalah kiper. Catur buru-buru mengikuti,
mengambil posisi untuk tendangan langsung ke gawang.
Setelah mengabaikan tatapan Jose yang menantang, Catur mengambil
ancang-ancang dan menendang bola sekuat tenaga kearah tiang gawang,
membuat bolanya memantul dan jatuh mengenai kepala Jose, membuatnya
mengaduh.
“Gak sengaja!” Catur berteriak, bibirnya menyunggingkan cengiran puas.+
Jose merutuk kesal.
“Jelek lu sok-sok cemberut! Liat noh, fans club lu disitu udah nunggu
senyuman yayang idol tercinta!” Catur berteriak lagi, membuat Jose
tertawa nyinyir. Gerombolan cewek-cewek di pinggir lapangan langsung
bisik-bisik heboh begitu Jose melirik kearah mereka, padahal cuma
sekedar mengecek apa Catur benar ada yang menungguinya.
“Emang ye kampretnya gak abis-abis lu.”
“Yang mancing siapa sih?”
Jose meludah getir ke tanah.
Share this novel