Hari ini rolling tempat duduk, yang dikoordinasi oleh ketua kelas.
Suasana di kelas 11 B benar-benar bising oleh murid-murid yang sibuk
berlalu-lalang dan berseru-seru, minta di-tag-in tempat duduk. Beberapa
anak diam di depan kelas, memegang tas dan barang-barangnya dengan
sedikit gelisah.+
Mereka dari sisaan dari tiga golongan mayor lainnya. Kelompok minoritas.
Salah satu dari mereka adalah Irzi Claudia, yang memeluk buku sketsanya
sambil menatap satu kursi dekat jendela penuh damba. Kursi itu belum
tersentuh sejak tadi. Tidak ada yang mau duduk disana-jendelanya tidak
bisa ditutup rapat. Sinar matahari langsung bisa masuk, juga dengan air
hujan. Kursi itu ada di belakang pojok. Irzi menginginkannya.
Irzi tetap mengawasi kursi itu, dan menajamkan mata setiap ada yang
mendekat ke kursi itu. Ketika semuanya sudah duduk, dan Danar si Ketua
Kelas baru menyuruh sisanya duduk. Irzi langsung berderap kearah kursi
yang dari tadi sudah dia awasi, membuang nafas saat bokongnya bertemu
dengan wajah kursi.
Perlu beberapa saat untuk Irzi sadar dia duduk tepat di areal anak-anak
golongan Pangeran dan Putri Olahraga.
Di depannya ada Catur Pamungkas, bintang sepak bola, top scorer di
setiap sparing atau pertandingan, kartu as Arioth Academy. Di sampingnya
ada Gerry, tukang tidur yang mahir dalam floorball dan baseball. Di
depan Gerry ada Steven yang jago Muay-Thai. Tiga-tiganya tidak menaruh
perhatian kearahnya.
Irzi menoleh ke luar jendela, matanya bertemu awan di langit biru.
Hari ini hari baru.
* * *
Pelajaran ketiga Sejarah. Catur sedang berusaha sekuat tenaga menahan
kantuk saat ponselnya bergetar tiba-tiba. Dia merogoh saku kanannya,
menarik handphone Motorola flip jadul miliknya keluar.
Sender: Pepen
Belakang lu golongan bawah
Catur melirik ke Steven di sebelahnya, yang meliriknya sambil menyimpan
handphone-nya sendiri ke dalam saku.
Reply: Pepen
mulut jaga. napasi kalo bawahan?
Sender: Pepen
Ntar suruh beliin gua gorengan dong
Reply: Pepen
gih dah lu sono
eh tp gua nitip
Steven mendengus menyamarkan tawa, membuat Pak Sudar di depan kelas
melayangkan pandangan galaknya ke Steven.
"Kalau kamu bisa dapat medali emas di Olympics di kejuaraan Muay-Thai,
Steven, kamu baru saya bolehin berisik."
Kali ini Catur yang mendengus.
* * *
Irzi menorehkan coretan-coretan pernuh warna di atas kertasnya dengan
tekun, membentuk sebuah gambar pemandangan. Jalanan aspal yang panjang,
kanan-kiri ada bangunan yang bervariasi tinggi dan warna. Semuanya
ditutupi warna putih salju disana-sini, dan dua setengah lingkaran
menyembul dibalik bangunan sebelah kiri dan kanan berwarna geradasi
kuning-oranye, menggambarkan dua buah matahari. Langitnya ungu muda
dengan awan penuh warna merah muda dengan sedikit warna kuning.+
"Lu suka gambar?"
Irzi mengangkat kepalanya, melihat Catur Pamungkas sudah menoleh
kearahnya, matanya mengarah ke sketsa yang sedang dia kerjakan.+
"Suka banget!" jawab Irzi, sedikit tersanjung seseorang yang begitu
penting berbicara padanya. "dari kecil. Lo suka juga?"
"Gue cuma pinter nendangin bola," jawab Catur, "gue punya dua tangan
kiri."
"Semua orang berbakat jadi seniman," Irzi menanggapi dengan semangat,
"gue bisa ajarin..."
"No thanks," Catur menyela cepat-cepat, "ga tertarik. Coba lu liat orang
yang duduk sebelah gua."
Irzi menoleh kearah tempat duduk di sebelah Catur, menemukan Steven yang
sedang mengganggu Gerry yang sedang tidur.
"Steven? Kenapa?"
"Jangan panggil Steven, kebagusan. Panggil aja Pepen," mata Catur
bersinar jenaka.
"Pepen? Kenapa?"
"Itu rambutnya yang didepan dinaikin kayak pantat ayam. Dia ngingetin
gue sama ayam bokap gue di kampung, namanya Pepen," lalu Catur tergelak
sendiri sebelum melanjutkan, "ngomong-ngomong, dia minta lu beliin
gorengan."
Irzi diam sedetik sebelum mengangkat sudut hidungnya, menyerngit tidak
suka. "Berapa?" tanyanya kesal.+
"Sepuluh ribu, campur. Terong banyakin," jawab Catur. "thanks ya, Irma."+
"Apaan sih? Nama gue Irzi!"
"Oh iya deh, Irzi."
Irzi menyumpah-serapah dalam hati.
Arioth Academy ini memang sekolah elite, tapi hukum rimba 'Yang Kuat
Yang Menang' masih berlaku. Olahragawan dan Olahragawati menempati satu
kasta dibawah Golongan Tajir dan setara dengan Yang Pintar-Pintar, jadi
mereka punya kekuatan kekuasaan yang lumayan. Dan karena Golongan Sisaan
ada di tingkatan paling bawah, jadilah mereka yang kena suruhan
pihak-pihak atas.
Kalau menolak, hukuman bisa langsung jatuh dari pada Raja dan Ratu yang
duduk di tahta kuasa Arioth.
Ekstrim? Tidak kok, ini cuma realita FTV yang jadi nyata.
* * *
"Pak, campur, terong banyakin, sepuluh ribu ya," Irzi menjulurkan uang
lewat sela-sela jeruji pagar ke tukang gorengan yang mangkal di depan
sekolah.
Di Arioth mana ada jualan gorengan di dalam kafetaria? Yang ada hanya
jajanan 'kalangan atas'. Kafetaria Arioth nyaris menyerupai food court
di salah satu mall di Jakarta. Kalangan Raja dan Ratu Arioth
memperbolehkan Rakyat Jelata untuk makan disini juga, karena mereka
'dengan murah hati' menganggap waktu istirahat adalah untuk semuanya dan
mereka yang golongan bawah juga patut menikmati istirahat mereka.
Meski kadang beberapa suka iseng minta dibelikan jajanan gorengan di
luar sekolah.
"Makasih, Pak!" Irzi berseru pada tukang gorengan yang membalas dengan
senyum. Irzi berbalik, menggantungkan plastik gorengan itu di tiga jari
panjangnya.
Selagi berjalan, matanya menangkap sesosok anak laki-laki dengan rambut
yang kanan-kirinya panjang menutupi setengah telinga, alis tegas yang
dikerutkan, dan rahang yang kaku menyusupkan dua tangannya dan berjalan
seperti dikejar serombongan beruang ganas ke arah kolam renang indoor,
berpapasan dengan Irzi yang mau masuk ke sekolah mencari Steven, Catur
dan Gerry untuk mengantarkan pesanannya.
Irzi mengenalinya sebagai Jose Paskarianta, salah satu yang berkuasa
atas rantai sosial Arioth Academy di angkatannya.
Jose dan Irzi pernah sekali sekelas di tahun pertamanya di Arioth, tapi
hanya dengan delikan mata yang diberikannya pada Irzi, gadis itu tahu
dan sadar dengan jelas bahwa keberadaannya bagi Jose tidak lebih dari
wajah lain di Arioth yang tidak berhubungan dengan keberadaannya sebagai
manusia.
Mereka tidak pernah bertukar sapa.
Tapi hari itu mereka bertemu pandang, kurang dari sedetik. Tatapan Jose
sama seperti sebelumnya, menyiratkan keinginan penuh untuk mereka berdua
sama-sama jaga jarak. Irzi memalingkan pandangan. Sudah biasa.
* * *+
Jose mengerlingkan matanya ke anak perempuan yang dia tidak pernah lihat
rambutnya tergerai sekalipun. Yang matanya belo seperti bola pingpong,
penuh dengan keingintahuan yang membuat Jose sedikit seram-tidak pernah
dia melihat yang seperti itu, begitu penuh dengan sesuatu yang tidak
bisa ditebak. Matanya berekspresi.
Dan dia mungkin saja akan tertarik pada si cewek bermata belo itu kalau
Velyta tidak menganggapnya freak yang gila anime dan film-film Jepang,
dan dia anak Golongan Bawah. Lagipula, orang tuanya tidak akan setuju
dia pacaran dengan anak yang-katanya-Ayahnya cuma pegawai kantoran biasa.+
Sesampainya di gedung kolam renang indoor, Jose langsung membuka
seragamnya dan terjun masuk kolam dengan celana boxer-nya saja dan mulai
berenang-renang kesana kemari seperti lumba-lumba.
Air kolam yang dingin selalu bisa menyegarkan pikirannya yang penat. Dia
memejamkan matanya, membiarkan dirinya terduduk di dasar kolam renang,
menggunakan sejenak waktunya di ruang tanpa oksigen. Pelan-pelan dia
menghitung, satu, dua, tiga...
Sampai hitungan ke lima belas, Jose naik ke permukaan. Sedikit terkejut
begitu melihat Arka sudah berjongkok di pinggir kolam, mengawasi.
"Ape lu?" gertak Jose-main-main, tentu-, sambil mengebelakangi poni
panjangnya.+
"Udah mau bel, ganteng," jawab Arka, masih tidak melepaskan pandangannya
dari Jose.
"Terus?" Jose berkata malas, "mending lu renang sini sama gua."
Arka tertawa, akhirnya juga masuk ke kolam renang hanya dengan boxer
seperti Jose. Arka hanya mengapung tidak jauh dari tangga karena dia
tidak biasa berenang, tapi dia mengamati temannya yang menyelam dan
timbul hanya untuk melakukan hair-flip agar rambutnya tidak terlihat aneh.
"Lu kenapa lagi dah? Dari pagi ganas amet." tanya Arka.
Jose tidak menjawab.+
"Gara-gara latiannya tadi pago gak bagus atau omongan bokap lu lagi?"
Arka menebak, membuat Jose menyelam lagi ke bawah air. Tebakan Arka
tepat sasaran--dua-duanya betul.
* * *
Catur sedang men-juggle bola sepak di lapangan dan Gerry berbaring di
pinggiran, mengutak-atik handphone-nya dengan seru. Steven sedang
menghilang ke kamar mandi.
"Ngapain sih lu?" tanya Catur heran.
Gerry menatap Catur sekilas, lalu menjawab, "Ini, lagi liatin Instagram."
Catur menyerngit, mengingat apa isi Instagram Gerry. "Cewek lagi? Tobat
woi. Ntar lu dihukum Tuhan gabisa bikin hamil istri lu berabe, njir."
"Alah lu, tobat, tobat, biasanya mohon-mohon ke gua minta account-nya
yang model Victoria Secret yang brunette-brunette seksi." Gerry berkata
sambil tertawa, lalu menambahkan dengan polos, "Gue lagi liatin gambar
kelinci. Lucu-lucu gila kayak buntelan bulu berkuping..."
Catur langsung ingin menendang bolanya ke si Muka Rubah yang satu itu.
Kadang temannya yang bermata sipit ini penuh kejutan-kadang bisa kayak
cewek, padahal kalau sudah memegang stik floorball atau stik baseball
wujud aslinya yang kayak sekuriti langsung keluar. Matanya yang selalu
hilang kalau senyum langsung jadi Galak. Garang. Cadas. Menggigit.
"Harga diri lu sebagai lelaki mana," Catur berseru, pura-pura meratap
dengan dramatis, "cowok tuh liatin mobil. Atau apakek. Elu liatin
kelinci!"
Gerry langsung cemberut, lalu meng-scroll ponselnya, pura-pura ngambek.
Kemudian suara nyaring seorang anak perempuan yang memanggil Steven
seperti anak kecil yang mau mengajak temannya main membuat Catur menoleh.
"Hah! Disini lo ternyata! Ngerepotin banget sih, gue cari-cari lu pada
ga ketemu..."
Sosok Irzi yang rambutnya diikat setengah berlari ke arah Gerry yang
lebih dekat, menenteng seplastik putih yang Catur tahu isinya gorengan.
"Steven mana?" tanyanya celingukan.
"Waaah, makasih Zi!" Gerry berkata sok unyu. "Pepen lagi boker. Makasih
yaa!" Catur memutar mata sambil jogging ke pinggir lapangan, mengeplak
kepala Gerry yang mengaduh kencang, lalu suara Ade Rai-nya keluar;
"APAAN SIH TONG?"
"Gausah sok imut, gue ilfeel." Catur mengujar galak.
"Kan gue Mongol yang tertunda. Harus imyut-imyut."
Catur memilih untuk mengabaikan Gerry yang sudah tertawa lebar karena
merasa lucu. Catur mengambil plastik gorengan itu dari tangan Irzi.
"Thanks, Zi,"
Irzi mengerjap, "Gak manggil gue Irma lagi, nih?"
"Lah, gimana sih? Tadi lo bilang nama lo Irzi."
Irzi nyengir. "Emang Irzi kok."
Dia berbalik badan dan pergi. Saat Catur dan Gerry berdiskusi serius
tentang menghabiskan bersama gorengan yang terlantar tanpa pemilik,
tiba-tiba Steven datang berlari dari toilet, berteriak kencang.
"HEEEH, GORENGAN GUEEEEE!"
Catur dan Gerry berpandangan, lalu sepakat membawa kabur gorengan itu
sebelum Steven sempat menyentuhnya.
Share this novel