“Bagaimana kabarmu, Zi? Bagaimana si kecil?”
“Aku sehat, An. Si kecil juga sudah bisa berjalan dua tiga langkah,” jawabku.
Aku merindukan Ana. Sangat. Sudah dua tahun sejak pernikahanku dengan Evan dan kami pindah ke Makasar, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Ana. Biasanya selalu ada dia yang menasehatiku, menjadi tempat untuk bersandar setiap saat aku ada masalah. Meski tidak bertatap muka, aku selalu berusaha menjaga komunikasi kami.
“Kau bahagia, Zi?” pertanyaan ini selalu ditanyakan Ana setiap kali dia menelepon. Meski dia tidak bisa melihatnya, tapi aku tersenyum.
“Aku bahagia, An. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Hidup kami memang tidak sempurna. Bisnis Evan sedang ada masalah sedangkan aku belum bisa bekerja kerana tidak ada yang mengasuh Naufa. Tapi kami baik-baik saja. Aku yakin Evan akan mengatasi masalahnya dan kami akan lebih bahagia.”
“Aku senang mendengarnya,” ucap Ana tulus. Aku yakin dia juga sedang tersenyum di sana. “Oh ya, Zi. Nanti malam aku berangkat ke Belanda. Mungkin aku akan semakin jarang bisa menghubungimu langsung. Tapi kita bisa komunikasi lewat wa atau line.”
“Sudah waktunya ya?” Aku mendesah. Rasanya baru kemarin kami bercerita mengenai keberangkatan Ana untuk melanjutkan studinya itu masih satu bulan lagi. Ternyata waktu bergulir begitu cepat. “Selalu jaga diri, An. Aku tau kau tidak tertarik dengan lelaki bule, tapi tetap hati-hati.” Aku mendengar Ana tertawa di seberang sana.
“Tetapi orang cerdas, tidak peduli lokal ataupun produk luar, selalu menggiurkan,” kata Ana yang membuatkan mendengus.
“Selamat berburu professor kalau begitu.” Kami mengakhiri panggilan beberapa detik setelah itu kerana Naufa yang mulai rewel.
Saat aku sudah berhasil membuat Naufa tenang dan terlelap, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu depan rumah. Aku berlari segera sebelum ketukan itu membangunkan Naufa.
“Iya, ada apa?” tanyaku pada dua lelaki berjas yang berdiri kaku menatapku.
“Kami mencari Pak Evan,” ucap salah satu dari mereka.
“Evan sedang tidak ada di rumah. Dia di kantor.”
“Kami sudah ke kantor! Kantor itu sudah lama tutup!” Lelaki yang berbadan lebih besar membentakku, sontak membuatku melangkah mundur.
“Pak, Evan selalu berangkat kerja setiap hari. Tidak mungkin kantornya tutup,” aku berusaha berkata dengan tenang. “Atau bapak bisa datang sebentar lagi. Biasanya Evan pulang setelah jam lima.”
“Kami akan tunggu di sini!” Mereka bersikeras dan memilih duduk di beranda.
“Baiklah,” kataku lalu menutup pintu dan menguncinya. Aku tidak mempersilahkan mereka masuk kerana hanya ada aku dan Naufa di rumah. Mereka orang asing dan aku tidak tahu mereka berbahaya atau tidak.
Aku berlari mengambil telepon genggamku dan menghubungi Evan. Dua kali panggilan tidak dijawab. Setelah itu aku mengiriminya pesan, mengatakan bahwa ada dua lelaki yang mencarinya di rumah. Saat kucuba menghubunginya lagi, nomor Evan tidak aktif.
Ketukan di pintu depan sudah berubah menjadi gedoran yang sangat memekakkan. Naufa menangis meraung kerana ketakukan. Aku mendekap tubuh Naufa erat, mencuba menenangkannya meski aku juga ketakutan setengah mati.
Pantas saja mereka murka. Hari sudah lewat dari jam lima namun Evan juga belum kelihatan bahkan sama sekali tidak bisa dihubungi. Siapa mereka sebenarnya? Apa kubukakan saja pintu itu dan berteriak memanggil para tetangga jika mereka berbuat macam-macam?
“Saya mohon, jangan buat keributan,” kataku dengan suara bergetar. Tatapan mereka melembut saat melihat Naufa dalam gendonganku.
“Kami minta maaf. Kami hanya ingin bertemu Pak Evan. Seharusnya kami tidak ke sini kalau saja Pak Evan bisa ditemui di kantor.” Sekarang cara berbicara mereka lebih sopan.
“Kalau saya boleh tau, ada apa dengan suami saya?” Mereka terlihat ragu menjawab pertanyaanku. Beberapa detik saling pandang dan berkomunikasi dengan bahasa isyarat, akhirnya mereke memberitahu.
“Pak Evan memiliki hutang dalam jumlah yang sangat besar pada bos kami. Kami hanya ditugaskan untuk meminta pertanggungjawaban dari Pak Evan. Ini sudah lima bulan lewat dari tenggat waktu yang sudah disepakati. Sepertinya Pak Evan sudah salah langkah mempercayakan investasi itu pada orang yang tidak bertanggungjawab. Tapi bos kami tidak mau tau itu. Pak Evan harus membayar utangnya, paling tidak setengahnya.”
Diawal kepindahan kami dan masa-masa merintis bisnis batu bara ini, sesekali aku membantu Evan membuat presentasi ataupun laporan pertanggungjawaban. Tapi semenjak Naufa hadir dalam kehidupan kami, aku sama sekali tidak lagi tahu menahu mengenai usaha Evan. Kerepotan dan kesenangan membesarkan Naufa telah membuat duniaku teralihkan. Aku bahkan tidak pernah bertanya pada Evan bagaimana kondisi perusahaannya saat ini. Mungkin kerana itu akhir-akhir ini Evan cepat sekali emosi. Dan mungkin kerana itu setiap kali Naufa menangis, Evan akan keluar dari rumah dan baru kembali setelah menyesap habis satu bungkus rokok.
“Berapa banyak hutang suami saya?” tanyaku meski sempat menyesali pertanyaan itu keluar dari mulutku. Kerana aku tahu, aku tidak akan pernah siap mendengarnya.
“Tujuh ratus juta.”
Itu bukan jumlah yang sedikit. Jika seluruh asset kami dijual juga belum cukup untuk menutupinya. Rumah yang kami tinggali hanyalah rumah kontrakan yang sudah Evan bayar untuk lima tahun ke depan. Mobil SUV yang menjadi kendaraan Evan sehari-hari juga masih masih harus membayar cicilan selama satu tahun. Perhiasanku jika diuangkan paling banyak hanya seratus juta. Evan pasti sudah tahu hal ini dan aku yakin dia sedang berusaha mencari jalan keluar.
“Sa-saya tidak punya uang sebanyak itu,” kataku lemah.
“Itu bukan tanggungjawab Ibu. Kami hanya akan berurusan dengan Pak Evan.”
Beberapa menit menunggu di dalam rumah, mereka memutuskan untuk pergi. Mereka juga membuatku berjanji untuk memberitahu jika Evan sudah kembali.
Tapi sudah tiga hari, tidak ada kabar dari Evan sama sekali. Aku meyakinkan diri Evan hanya sedang berusaha mendapatkan uang untuk membayar hutangnya itu. Aku percaya Evan tidak akan lari. Tidak akan kerana dia tahu betul masa laluku. Tidak akan kerana dia sudah berjanji padaku.
Dua minggu setelah kedatangan mereka ke rumah, dua lelaki itu menampakkan diri lagi. Saat mereka bertanya di mana Evan, Aku hanya mampu menangis. Kerana sesungguhnya aku juga ingin bertanyakan soalan yang sama seperti mereka. Evan sudah lari pergi meninggalkan aku. Evan tidak pernah kembali. Dia melakukannya padahal dia tahu aku tidak menginginkan pernikahan kerana takut ditinggalkan. Dia melakukannya padahal dia tahu ayahku dulu juga melakukannya padaku dan ibu.
Share this novel