Sepasang mata itu berkaca-kaca menatapku. Aku sudah menghancurkan satu lagi harapan dari orang-orang yang mengasihiku. Dia tidak menangis. Tatapan itu lebih seperti tatapan kecewa dan lelah. Mungkin ada sedikit penyesalan kerana dia sudah terlalu banyak berbuat baik padaku. Dan semua pemberiannya itu justru kubalas dengan rasa sakit yang bertubi-tubi.
Dia mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan mulai berjalan menjauhiku. Aku tatap punggungnya hingga menghilang dari pandangan. Mungkin ini bukan pertemuan terakhir kami, tapi aku tahu ini terakhir kalinya dia ingin bertemu denganku.
“Aku kira kau akan menikahinya Zi,” kata Ana, sahabatku, dengan nada terkejut. Aku memberitahunya bahwa aku baru saja mengakhiri hubungan tak berlabelku dengan Evan.
“Aku kira juga begitu,” kataku pelan. Aku duduk di atas tempat tidur Ana yang berantakan, mengambil salah satu bantal dan memangkunya. “Aku menemukan kesalahan,” ungkapku yang membuat Ana bangun dari baringnya dan menatapku penasaran.
“Kali ini apalagi?” tanyanya tak sabaran. Ini bukan pertama kalinya aku mematahkan hati lelaki sebelum mereka melakukannya padaku. Setidaknya, itu bentuk pencegahanku.
“Dia ingin pindah dan tinggal di Makasar,” kataku dengan nada menggantung.
“Apa yang salah? Kau kan bisa ikut.”
“Aku sudah bisa melihat masa depan kami, An. Dia akan meninggalkanku.”
“Zika, itu cuma khayalanmu. Semua penglihatan masa depan itu cuma ada dalam imajinasimu.”
“Aku tau. Tapi itu akan membuatku tidak tenang hidup dengannya nanti. Aku tidak punya siapa-siapa di Makasar. Dia juga baru ingin membangun usaha di sana. Akan ada banyak hal yang bisa kujadikan alasan untuk menyalahkan dia kerana telah menikahiku.”
“Tapi tidak ada alasan dia untuk meninggalkanmu.”
“Laki-laki mana yang mau hidup dengan wanita yang tidak bisa dibahagiakan apapun yang sudah dia usahakan.”
“Jangan jadi wanita seperti itu kalau begitu. Kau akan tau setelah kau menjalaninya, Zi. Segala yang kau kira-kira sekarang ini bukan hal pasti. Kalau kau begini terus, kau tidak akan bisa maju.”
“Aku cuma punya masalah dengan laki-laki, An. Dengan aspek kehidupan yang lain aku baik-baik saja,” elakku merasa dipojokkan.
“Kau benar. Kali ini kenapa tidak kau lawan rasa takut dan khayalan buruk tentang masa depanmu itu? Kenapa tidak sekali ini saja kau ambil resiko dan melihat bagaimana hasilnya? Jika itu buruk, setidaknya kau dapat pelajaran baru.”
“Jika hasilnya buruk, aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi.”
“Tapi kau baru akan tau bagaimana hasilnya hanya jika kau melewati ujiannya.”
Share this novel