Rate

BAB 3

Drama Completed 393

Kuhembuskan napas perlahan. Goresan terakhir. Kutatap lekat kertas gambar ditanganku. Seekor burung di dalam sangkar dan beberapa burung lainnya berterbangan bebas di langit. Tiba-tiba sebuah perasaan menyeruak dalam diriku, entah perasaan yang tidak dapat dideskripsikan. Perasaan yang muncul setiap selesai memindahkan sebuah objek apapun ke kertas gambar. Kuarsir tipis beberapa sisi. Spontan bibirku tertarik keatas menciptakan sebuah senyuman kecil.
“Hai”
Kudongakkan kepala. Aku terperangah ketika mengetahui asal suara itu. Setengah terkejut dan heran. Ya gadis itu. Gadis misterius beberapa hari yang lalu.
“Hai…?” Ulangnya lagi dengan nada menggantung
Aku masih terdiam. Terlalu sibuk dengan pertanyaan yang berkelibat dikepalaku.
“Masih ingat aku?” Tanyanya ragu
“Iya” Jawabku singkat sambil tersenyum untuk mengurangi kecanggungan di antara kami
“Sorry, kemarin aku langsung pergi tanpa pamit dan tanpa ucapan terima kasih. Terimakasih banyak ya!” Ucapnya dengan nada sedikit bersalah
“Oh itu no problem! Kamu mahasiswi di kampus ini?” Tanyaku sambil menggeser posisi dudukku
“Iya. Aku mahasiswi psikologi” Jawabnya. Kemudian ia mengambil posisi duduk di sebelahku.
“Fadli . Kamu?” Kataku sambil mengulurkan tangan
“Khenza” Jawabnya sambil membalas uluran tanganku. “Fadli Gunawan ” Tambahnya
Dia tahu nama lengkapku? Seingatku, aku belum pernah berbincang dengan gadis ini sebelumnya.
“Siapa sih yang nggak kenal kamu? Cucu dari keluargaGunawan ” Ucapnya tiba-tiba seakan-akan membaca pertanyaan dipikiranku
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Memang benar, siapa yang tidak mengenal Arif dan Henry HadiGunawan . Pasangan ayah dan anak yang sangat kompak. Mereka berdua adalah pengacara handal yang mungkin boleh dibilang tersukses di negeri ini. Sebenarnya aku tidak peduli tapi yang membuatku harus peduli, mereka adalah kakek dan ayah kandungku. So they think I have to be same like them.
Dan aku mengingat sesuatu. Tatapan Khenza saat melihatku ketika kecelakaan itu. Mungkin ia terkejut melihat aku yang datang menolongnya.
“Ehm….”
Khenza berdeham. Mungkin dia merasa canggung dengan kediamanku. Aku menoleh ke arahnya dan hanya tersenyum kecil.
“Ini gambaranmu?”
“Bukan” Kelakku cepat sambil menutup buku gambar dipangkuanku.
Khenza tersenyum. “Kamu tidak pandai berbohong” Ucapnya di sela-sela senyum dibibirnya
Aku menatapnya heran. Mengapa dia boleh tahu? “Maksudmu?” Tanyaku
“Kamu lupa aku mahasiswi psikologi?”
Bodoh! Pasti dia boleh membaca dari mata atau dari bahasa tubuhku ataupun dari nada ku yang sedikit meninggi. Kenapa aku boleh seceroboh ini?
“Keren!
“Apanya?”
“Gambaranmu”
Aku hanya tersenyum
“Kalau aku boleh menebak, apakah kamu tertekan?” Tanyanya sambil menatapku
“Tertekan? Tertekan seperti apa?” Jawabku dengan berusaha mengeluarkan nada sedatar mungkin. Walaupun sebenarnya aku sangat terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkannya “I’m fine!” Tambahku
“Entahlah. Setiap goresanmu terlihat cukup jelas kalau kamu tertekan”
“Itu hanya goresan. But reality, i’m okay”
Khenza menatapku lekat. Seperti ingin mengorek sesuatu. “Tapi sorot matamu seperti menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang menurutmu sangat berarti.” Ucapnya serius
Aku terkejut. Gadis ini boleh membaca semua itu. Apakah itu sangat mudah terlihat baginya? Aku hanya diam. Gadis ini sungguh…
“Ehm.. sorry aku terlalu lancang” Ucapnya dengan salah tingkah. “Aku harus pergi, terimakasih sebelumnya”. Khenza bangun dari duduknya dan langsung pergi tanpa sempat aku membalas ataupun mencegahnya.
“kamu benar. Yang kamu katakan benar Khenza!” Batinku

Beberapa minggu setelah perbincangan singkatku dengan Khenza aku tidak pernah melihatnya lagi. Mungkin kerana letak gedung fakultasku dengan fakultasnya berjauhan. Tapi sebenarnya jauh dari dalam diriku aku ingin berbincang lebih lama dengannya. Entah rasanya seperti aku ingin mengeluarkan semua kegundahanku selama ini kepadanya. Tapi aku sedikit ragu kerana aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu dengan pertemuan yang singkat.
Langkahku terhenti. Aku menemukannya. Ya Khenza, aku melihatnya duduk sendirian di taman. Akhirnya!
“Hai” Ucapku ketika berdiri di sampingnya
Ia mendongakkan kepala. Lagi-lagi ia memandangku dengan tatapan aneh. Bahkan kali ini sangat aneh, aku bingung membaca ekspresinya kali ini.
“Ada yang salah?” Tanyaku memastikan
Kali ini ia menundukkan kepala. Ia hanya diam.
“Khenza?”
“Ya?” Balasnya sambil mendongakkan kepala
Kuhempaskan tubuhku di sebelahnya. Aku memandangnya lekat, ada yang salah dengannya kali ini. Wajahnya sangat pucat. “Kamu sakit?” Tanyaku
“Tidak” Jawabnya singkat dengan tersenyum kecil
“Tapi wajahmu sangat pucat?”
“Bukannya kamu ada kelas?” Jawabnya mengalihkan pertanyaanku
“Darimana kamu tahu?”
“Aku hanya tidak sengaja melewati ruang 5 Fak. Hukum dan tadi ada dosen yang mengajar. Kenapa kamu tidak masuk kelas?”
“Kamu tahu kelasku di ruang 5?” Tanyaku balik
“Siapa yang tidak tahu tentang kamu Fadli , teman cewekku banyak yang mengagumimu”
Aku tersenyum mendengarnya. Ada perasaan senang menyeruak di dalam diriku. Berarti gadis ini mengetahui banyak hal tentangku. “Termasuk kamu?” Tanyaku memancing
Khenza tertawa. Wajahnya terlihat manis saat ia tertawa. Di tambah lesung pipit di kedua pipinya. Gadis ini lucu juga.
“Menurutmu?” Balasnya
“Entah” Jawabku sambil menaikkan kedua bahuku
“Oh ya kenapa kamu tidak masuk kelas?” Tanyanya kembali ke topik sebelumnya
“Aku hanya malas saja” Jawabku asal
“Kamu tidak menyukai hukum?”
Gadis ini selalu pintar menebak dengan tepat.
“Ya boleh dibilang seperti itu”
“Kenapa? Bukannya keluargaGunawan identik dengan hukum?”
“Mungkin aku pengecualian. Aku tidak tertarik dengan hukum. Aku tidak tertarik dengan perdebatan di pengadilan, hakim, jaksa, saksi, terdakwa dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan hukum. Semua itu membuatku muak” Jelasku. Sebenarnya aku sedikit bingung mengapa aku begitu mudahnya menceritakan hal ini kepadanya. Padahal kami belum kenal dekat bahkan ini pertemuan kedua kami setelah kecelakaan itu. Faris yang sahabatku saja belum pernah kuberitahu tentang hal ini. Tapi mengapa aku justru menceritakannya kepada Khenza yang boleh dibilang orang asing?
“Jadi benar tebakanku dulu bahwa kamu tertekan. Lalu apa yang kau inginkan?”
“Gambar. Itu yang kuanggap dunia sebenarnya. Membutakan suatu objek atau peristiwa di kertas gambar membuatku merasa tenang dan senang. Aku boleh menjadi diriku sendiri saat menggambar.”
“Apa keluargamu mengetahuinya?”
“Dulu ketika SMA aku pernah mencoba bicara kepada kedua orangtuaku, tapi respons yang kudapatkan jauh dari harapan. Papa marah besar, menurutnya menggambar adalah hal yang kurang kerjaan dan tidak dapat menjamin masa depanku nantinya. Aku berusaha meyakinkan beliau bahwa pendapatnya salah namun sia-sia. Mama juga sependapat dengan Papa.” Aku menghela napas sejenak “Tapi aku masih menggambar sembunyi-sembunyi hingga suatu hari mereka menemukan gambaranku. Papa lagi-lagi marah besar dan membakar semua gambar dan alat gambarku. Aku berusaha melawannya tapi tiba-tiba mama jatuh pingsan, penyakit mama kambuh. Semenjak itu aku tidak berani mencobanya lagi, aku takut mengecewakan mama untuk kedua kalinya”

Aku melirik Khenza sejenak, matanya masih tertuju padaku. “Aku hanya takut. Apakah ini memang yang terbaik? Tapi bagaimana jika nanti hukum memang bukan masa depanku? Tapi bagaimana jika sebaliknya, bila menggambar bukan duniaku yang sebenarnya? Mana yang harus kupilih?” Lanjutku dengan nada semakin meninggi
“Hanya kamu yang tahu mengenai itu. Apapun yang kamu pilih kamu harus tetap konsisten menerima resikonya kerana setiap hal yang kita pilih pasti ada resikonya tersendiri. Kalau memang menggambar yang mendominasi hatimu, lakukan! Buktikan pada mereka kalau pendapat mereka salah!” Kata Khenza dengan tegas
“Bagaimana kalau aku salah pilih? Kerana tidak dapat dipungkiri seniman memang tidak terlalu menjamin”
“Berarti kamu pengecut? Tidak berani mengambil resiko. Hidup itu tidak luput dari pilihan dan resiko, Fadli .” Ia berhenti sejenak “Kalau masalah seniman memang itu benar tapi mengapa kamu tidak mencoba arsitek?” Tanyanya
Arsitek? Kenapa aku tidak terpikir ke situ? Aku tersenyum. Gadis ini memang luar biasa. Tidak kupungkiri aku semakin kagum dengannya. “Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan” Kataku dengan semangat
“Bagus! Aku akan selalu mendukungmu” Balasnya dengan nada yang lebih semangat “Masih belum terlambat” Tambahnya
Aku merasa kenyamanan didekat gadis ini dan satu hal yang penting aku boleh menjadi diriku sendiri di dekatnya. Aku seperti mendapatkan semangat hidupku kembali. Tiba-tiba angin berhembus membuat rambut Khenza yang terurai bebas bergerak seperti menari. Gadis ini memang manis. Tiba-tiba ada perasaan asing yang tidak kumengerti menyeruak begitu saja.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience