3 THE LOST BOY

Humor Completed 3108

"JADI lo betul-betul nggak mau ngegantiin shift gue, Sur?" tukas Boim mengulang omongannya yang sejak tadi sudah diucapkan lebih dan dua kali.

Siang itu udara cukup panas. Dan Boim berdiri di pinggir jalan sambil bertolak pinggang. Sementara Gusur terduduk di trotoar, membiarkan perut gendutnya jadi landasan jatuhnya sinar matahari yang terik. Wajahnya tertunduk. Lesu
Mungkin kamu bingung, shift apaan? Asal kamu tau aja, sejak temen Lupus yang bernama Mila itu buka kafe kecilkecilan, Boim dan Gusur ikut kerja paruh waktu menjadi pelayan di situ. Gantian sama temen Lupus yang lainnya: Inka, Bule, dan Kevin. Nah, sistem kerjanya pake giliran atau shift, karena masih pada sekolah. Ada yang sekolah pagi, ada yang siang, ada yang harus belajar. Saat itu, Boim lagi memaksa Gusur untuk menggantikan gilirannya.

"Lo tega kalo sosotan baru gue lepas?" tukas Boim lagi. Gusur masih tak menggubrisnya. Boim makin penasaran.

"Sur, lo senang ya liat gue menderita? Liat gue patah hati? Emang lo kira enak patah hati? Sakit, Sur, sakit..." Boim ngomong lagi. Tapi karena kali ini Boim ngomongnya sambil menyentil idung Gusur. Gusur pun tersentak.

"Bukannya daku senang melihat dikau patah hati, Im. Tapi sekarang daku sedang tiada enak badan. Mestinya dikau yang mau mengerti tentang daku, bukannya daku yang harus mengerti tentang dikau. Saat ini yang terbayang di benakku hanya tempat tidur nan empuk, plus bantal dan guling yang juga empuk. Daku ingin tidur setidur-tidurnya. Daku lelah...," kata Gusur panjang lebar yang intinya jelas menolak permintaan Boim.

Boim yang merasa permintaannya ditolak jadi sewot. Dengan gaya burung bango nyaplok ikan asin, ia pun misuhmisuh.

"Dasar gendut sialan lo. Bisanya alasan terus. Gue kutuk jadi batu, baru nyaho lo!"

"Memangnya daku Malin Kundang mau kau kutuk jadi batu segala?"

"Abis elo, dimintain tulung gitu aja ogah. Lo kan temen deket gue, Sur. Kalo nggak lo yang nolong gue, siapa lagi?" kata Boim dengan nada merengek.

"Lupus kan ada, Lupus juga teman dekat dikau," batas Gusur. Boim cemberut.

"Ah, Lupus lagi, apa yang bisa diarepin dari dia? Tu anak bisanya ngeledek doang, bukannya nulungin," kata Boim sewot. Lalu Boim berlalu sambil ngedumel.

"Ah, udah deh, percuma ngomong sama lo. Mulut gue pegel doang. Nggak ada hasilnya!"

Seperginya Boim, mendadak muncul sebuah jip mendekati Gusur. Salah seorang lelaki, dari dua orang lelaki yang ada di dalam jip itu, membuka jendela. Dan bertanya pada Gusur.

"Jalan Anggrek Bulan di mana ya, Dik?"

Gusur mendongak

"Rasanya daku belum pernah dengar nama itu? Kalau Anggrek Cendrawasih ada, Pak!"

"Ya sudah, Anggrek Cendrawasih juga nggak apa-apa Yang penting asal ada Anggreknya."

"Nah, itu baru penanya yang baik. Tiada menyulitkan yang ditanya. Tiada Anggrek Bulan, Anggrek Cendrawasih pun jadi," puji Gusur.

"Iya, lantas di mana Anggrek Cendrawasih itu?"

"Bapak ambil saja jalan lurus. Begitu jumpa dengan pertigaan, berbeloklah ke kiri. Kemudian menikung ke kanan. Tapi kecepatan Bapak tiada boleh lebih dari lima kilometer per jam," saran Gusur.

"Lho, kenapa memangnya?" tanya si bapak heran.

"Sebab Bapak memasuki kompleks ABRI. Bapak tau sendiri kan akibatnya kalau sampai menabrak anak kecil?" jelas Gusur.

"Lantas, apa saya sudah bisa menemukan Jalan Anggrek Cendrawasih di sana?" tanya si bapak lagi.

"O belum, Bapak masih harus jalan menyusuri kali sampai bertemu jembatan. Tapi selama menyusuri kali jangan sekali-kali Bapak menoleh ke kanan?"

"Lho kenapa? Apa di situ ada kompleks POLRl?"

"Bukan, di situ sering ada orang buang hajat," jawab Gusur pendek.

"Oke, kalau begitu, bagaimana kalau Adik antar saya ke sana?" kata si bapak sambil nyengir.

"Wah, tapi daku sedang menanti Bang Rois, ojeg langganan engkong," tolak Gusur halus.

"Nanti Adik kami antar ke rumah. Sekarang antar kami dulu ke sana!" si bapak ngeyel. Nadanya pun agak sedikit emosi. Tapi tiba-tiba temannya yang berada di belakang kemudi, memberi tanda supaya ia jangan kasar Si bapak pun langsung tersenyum ramah.

"Adik belum makan siang, kan? Setelah mengantar ke Jalan Anggrek Cendrawasih nanti Adik kami traktir makan. Bagaimana?" kata si bapak kemudian. Mendengar kata "makan", mata Gusur kontan berbinar-binar. Imannya pun ambrol seketika.

"Kalau begitu, daku setuju!" teriak Gusur semangat. Lalu tanpa pikir panjang lagi, Gusur langsung mencolot ke dalam jip yang pintunya sudah dibuka si bapak.

Tapi sial, begitu masuk, tiba-tiba sebuah benda dingin-dingin keras langsung menempel di leher Gusur. Gusur yang mengira benda itu es mambo, tentu aja girang.

"Terima kasih Pak. Belum-belum sudah dikasih es mambo. Oh iya, kita terus saja. Nanti sesampainya di jembatan itu. kita belok kiri...."

Selesai bicara, Gusur lalu meraih benda dingin-dingin keras itu. Tapi ternyata laras pistol yang terpegang. Gusur tersentak, dan menoleh.

"Selamat, Adik sedang kami culik!" kala si bapak. yang ternyata bernama Gombel. sambil menyeringai.

"Apa ini pistol sungguhan?" tanya Gusur. Sementara tangannya masih memegangi laras pistol

"Berminat membuktikannya? Coba tembak kupingnya sedikit," kata penculik satunya yang bernama Kepra.

"Jangan dong, kan Bos bilang nggak boleh luka sedikit pun ," tolak Gombel.

Gusur yang tadi gemetaran dan mau pipis, jadi lega. Lalu Gusur berusaha mencari-cari sesuatu di seluruh penjuru jip.

"Mau ngapain kamu?" hardik Kepra.

"Apakah kita sedang syuting sinetron? Atau, kita sedang dalam acara Candid Camera?" tanya Gusur polos.

Para penculik ngakak. Memperlihatkan gigi mereka yang penuh cabe.

Gusur jadi panik mencubit keras-keras pipinya. Mengira lagi ngimpi. Tapi Gusur kesakitan. Para penculik terbahak lagi.

"Daku benar-benar diculik?"

"Apa kamu pikir ini main-main? Untuk tebusan satu juta dolar, kami nggak main-main!" Kepra berkata sinis.
Gusur melongo.

"Satu juta dotar? Yang benar saja, Pak. Berapa kambing Engkong yang harus dijual untuk itu?"

Para penculik ngakak lagi. Kali ini memperlihatkan gigi mereka yang item-item dan bau menyan.

***

Dalam banyak sinetron, dalam banyak film, novel, dan drama panggung, orang gelisah selalu digambarkan dengan mondar-mandir ke kanan dan ke kiri. Sore itu Engkong juga berbuat hal serupa untuk menandakan bahwa dia lagi gelisah. Tentunya biar lebih seru, dari mulut Engkong juga keluar omelan yang tiada henti-hentinya.

"Kutu kupret banget deh, Gusur Masa udah mau magrib begini belon pulang-pulang juga. Mulai macem-macem nih anak. Dikata Engkong kagak gelisah apa?"

Selagi Engkong terbuai dengan omelannya, tiba-tiba sebuah motor masuk ke halaman rumah. Suaranya yang khas kayak mesin pembuat berondong, membuat Engkong segera tau bahwa yang datang Bang Rois. Ternyata memang Bang Rois, yang datang sambil cengengesan, persis onta di iklan teh kotak.

"Kagak melancong, Kong?" sapa Bang Rois berbasa-basi.

Engkong melenguh.

"Melancong gigi lo ijo. Na Gusur sampe gini ari aja belon balik. Padahal tadi pagi bilangnya kagak kerja di kafe." Bang Rois kembali cengengesan, kali ini persis beruk mau kawin.

"Ah, Kong. Perjaka segede Gusur aja dipikirin. Emangnya anak perawan? Kalo duitnya abis juga dia balik!" kata Bang Rois enteng.

Engkong jelas berang.

"Eh. Rois, gimana gue nggak pikirin si Gusur. Gitu-gitu dia cucu semata wayang gue. Kalo dia kelebihan dosis, terus mati di jalanan, gimana?"

"Lha, emangnya Gusur suka make putaw, Kong?"

"Ya, nggak, sih. Tapi dia suka banget minum cendol Banjarnegara yang gilar-gilar. Lha minum cendol kalo kelebihan dosis kan bisa mati juga...."

"Hehehe... betul juga ya, Kong...."

"Tapi betul lo nggak liat Gusur, Is? Ojeg lo kan suka mangkal deket sekolahan Gusur?" tiba-tiba Engkong memotong pembicaraan.

"Betul kagak, Kong. Tadi emang aye liwat sana, tapi udah sepi. Yang ade cuman tiang listrik doang. Kalo Gusur ade kan pasti keliatan..."

Belum selesai kalimat Bang Rois, mendadak pager di pinggangnya berbunyi. Bang Rois meraih pager itu, dan membaca pesannya.

"Wah, sori, terpakse aye pegi dulu nih, Kong. Ada yang mesen ojeg," tukas Bang Rois setelah itu. Engkong mencibir.
"Gaya lu, pesen ojeg aja pake telepon. Kayak teksi aja!"

"Ini bukan telepon, Kong. Ini pejer. Bisanya nerima pesen doang, tapi nggak bisa buat ngobrol!" kata Bang Rois sambil menyelipkan pager di pinggangnya, setelah menunjukkannya pada Engkong.

"Terserah elo deh! Buruan gih pergi, entar pesenan lo diserobot orang baru nyaho. Tapi jangan lupa ya, Is, kalo ketemu Gusur suruh cepetan pulang. Bilang Engkong udah nunung, eh, nunggu sampe lumutan!" Bang Rois mengangguk, memberi salam, lantas pergi membawa ojegnya yang jalannya oleng.

Lalu di manakah Gusur sekarang? Ah, untung Engkong nggak tau. Kalau tau Engkong pasti menjerit histeris sambil nangis bombai selama 40 hari 40 malam. Itu pun baru berhenti kalau ada sambaran petir tepat di telinga Engkong.

Saat itu keadaan Gusur sungguh menyedihkan. Lebih menyedihkan dari TKW kita yang disiksa di negeri orang. Tangannya terikat erat. Dan tubuhnya bersandar lemah di tumpukan peti kemas. Karena tubuh Gusur kelewat berat, ada beberapa peti kemas jatuh dan menimpa kepala Gusur. Sementara keadaan gudang begitu kotornya. Selain berbau apek, sesekali celurut dan kecoak lewat di sela-sela kaki Gusur. Gusur cuma bisa melotot ketakutan. Tak bisa menjerit. Soalnya mulut Gusur di-plester pake coran beton. Biar kuat.

Tak jauh dari Gusur, tampak Gombel dan Kepra yang tersenyum puas menyaksikan hasil kerja mereka. Mereka menyeringai. Kumis mereka, yang tumbuh di ujung bibir, ndut-ndutan. Tak lama kemudian, dari arah pintu, terdengar suara berat langkah kaki. Pintu terbuka, lalu muncullah seseorang berpenampilan ala koboi. Dialah Bos Penculik, yang tampangnya tidak lebih nyaman dibanding para penculik sebelumnya. Mana kepalanya boas, alias botak asli.

Bos Penculik mengambil foto dari kantong jaketnya. Memperhatikan Gusur, lalu mengamati foto di tangannya. Di foto itu, tampak wajah seorang cowok yang mirip-mirip Gusur tapi jauh lebih langsing dan lebih terawat dari Gusur. Bos Penculik langsung melotot kaget dan menatap kedua anak buahnya dengan bengis. Persis serigala lapar liat lemper.

"Di foto ini dia kurusan. Kenapa sekarang selebar ini? Apa kalian nggak salah culik?" Bos Penculik langsung menghardik. Gombel dan Kepra gelagapan Tapi Kepra nggak ke-habisan akal.

"Itu kan foto dua tahun lalu, Bos. Waktu bapaknya belum setajir sekarang. Makannya masih dijatah. Jelas dia masih kurusan."

"Kalau Bos nggak yakin, tanya aja namanya!" usul Gombel.

"Siapa nama kamu?" tanya Bos Penculik pada Gusur. Matanya mendelik, seolah siap menelan Gusur.

"Gusur, Pak!" jawab Gusur dengan kaki gemetaran.

"Bagus. Gusur Surawijaya. kan? Anak tunggal raksasa rokok kretek Makmur Surawijaya?" Gusur langsung protes.
"Bukan, Pak. Daku Gusur Adikarya. Daku cuma punya engkong. Engkong daku memang suka mengisap rokok kretek, tapi bukan pemilik pabrik rokok kretek. Paling-paling engkong daku cuma punya beberapa ekor kambing dan bebek." Bukannya paham, Bos Penculik malah tertawa lebar.

"Hahaha, hebat. Kamu panggil bapakmu Engkong? Lucu sekali. Jadi sekarang Makmur udah melebarkan usaha ke peternakan kambing dan bebek. Hebat! Dia pasti bakal memotong jalur distribusi ke pasar-pasar swalayan."

Bos Penculik ketawa lagi. Kedua anak buahnya juga ikut ketawa. Suara mereka membahana. Menggetarkan seluruh isi gudang. Gusur menatap sedih. Sambil tetap tertawa, Bos Penculik mengeluarkan HP dari balik jaket kulitnya.

"Saya nggak berminat menahan kamu lama-lama di sini. Ayo, sebutkan nomor telepon si Makmur," pinta Bos Penculik selanjutnya. Gusur jelas bengong.

"Makmur? Makmur siapa, Pak?"

Bos Penculik berang. "Ya si Makmur bapak kamu. guoblok!"

Gusur tercirit-cirit,

"Daku kan sudah bilang, daku tak punya bapak, daku cuma punya engkong. Itu pun melarat kelas berat."

Udah, jangan bertele-tele. Gua kepret penyok muka lo entar!" ancam Kepra, biar keliatan hebat di muka bosnya. Gusur makin ketakutan. Keringat dingin merembes di sekujur tubuhnya.

"Ayo, sekarang lo telepon engkong elo itu!" Bos Penculik menyodorkan telepon ke arah Gusur.

"Tapi Engkong tiada punya telepon!" suara Gusur gemetaran.

Bos Penculik sudah mulai nggak sabaran.

"Saya mulai capek dengan tingkah kamu, Gusur! Ayo cepat telepon engkong kamu; saya nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Atau kuping kamu saya gunting sedikit demi sedikit!" Gusur mendelik.

"J-jangan, Om. Jangan gunting kuping daku. Kalau rambut daku sih boleh. Jadi saya nggak usah repot-repot ke tukang cukur...."

Klepak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Gusur, Gusur menjerit kesakitan.

"Berani becanda lo, ya!" hardik Gombel.

"M-maaf, Pak, m-maaf.... Bukan maksud daku bercanda...." "Ayo, sekarang telepon," kata Bos Penculik lagi.

"T-tapi... daku tiada punya telepon, Pak! Daku tiada bohong...," Gusur meratap-ratap. Namun rupanya para penculik sama sekali tak peduli pada ratapan Gusur. Dengan kesal Bos Penculik mengentakkan kakinya ke tanah, lalu menonjok idung Gusur. Gusur menjerit histeris. Karena tonjokan itu pas kena jerawatnya. Bos Penculik langsung pergi, sambil memberi satu aba-aba pada anak buahnya.

"Siksa dia!"

Gusur stres berat. Air hangat membasahi celananya.

***

Engkong yang bingung atas hilangnya Gusur lantas mencelat ke rumah Boim. Siapa tau anak item dekil itu tau di mana Gusur berada, pikir Engkong. Sesampai di rumah Boim, Engkong langsung menubruk pintu rumah Boim. Hasilnya sungguh memuaskan, Engkong yang badannya mungil itu jatuh terguling-guling hingga ke samping bufet. Nyak Boim yang melihat kedatangan Engkong dengan cara gila-gilaan begitu, so pasti memandang Engkong dengan wajah terheran-heran.

"Gusur ade di sini, Nyak?" itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut Engkong begitu dia bisa menguasai dirinya.

Nyak Boim jelas sebel.

"Jiailah, Engkong, mo nanya Gusur aja pake bikin panik orang saru kecamatan. Gusur nggak ada di sini!" "Jadi ke mane dong tuh anak?"

"Ya, kagak tau. Cucu cucu situ sendiri. Kok nanyanya sama saya?"

"Jangan-jangan tu anak digondol gendruwo."

"Boleh jadi. Kong. Gusur emang cocok banget jadi makanan gendruwo!"

"Eh, elo, orang lagi bingung bukan ditulungin, malah disumpahin!" protes Engkong yang sebel dengan komentar Nyak Boim.

"Ya udah, mending Engkong susulin aja si Gusur di kafe. Siape tau tu anak ada di sana!"

"Wah, tapi aye kagak pernah ke kafe. Kalo makan kafe uli sih sering!" ucap Engkong polos.

Nyak Boim mencibir. "Uh, Engkong payah banget sih. Umur udah bau kuburan, tapi belon pernah ke kafe. Ayo, aye anterin...."

"Na, emang itu yang aye mau...," ucap Engkong menyambut hangat tawaran Nyak Boim.

Nyak Boim lalu tenggelam ke kamarnya. Begitu keluar, ia sudah mengenakan kudung warna merah menyala. Persis sundel bolong mau kondangan.

***

Kafe Mila lagi rame-ramenya ketika Engkong dan Nyak Boim sampai. Engkong kontan minder. Maklum yang datang kebanyakan anak ABG dengan dandanan mentereng. Makanya begitu Nyak Boim mau melangkah ke dalam, Engkong langsung mencegahnya.

"Eit, ntar dulu. Ape betul di sini tempat kerjanya si Gusur?"

"Bener, Kong. Aye kan udah pernah ke sini waktu nganterin si Boim dulu itu..."

"Ya ampun, hebat bener si Gusur. Bise kerja di tempat beginian. Gue kagak nyangke!" Engkong mengumbar rasa takjubnya

"Ah, udah ah, noraknya jangan keterlaluan. Malu diliat orang," gubris Nyak Boim, lalu menyeret Engkong masuk.

Lupus yang melihat kedatangan mereka berdua langsung menyambut hangat. Semua pengunjung kafe menoleh heran melihat kedatangan pasangan ajaib itu. Inka yang lagi membantu Mila di bar mencolek pundak Mila.

"Mil, liat tuh siapa yang datang?"

Mila menoleh. Ia pun ikut surprais setelah tau yang datang adalah Engkong, dan Nyak Boim.

"Sebentar, Ka. gue mo nyambut tamu istimewa dulu!" tukas Mila seraya bergegas mendatangi Engkong dan Nyak Boim.

Lupus menyilakan Engkong dan Nyak Boim duduk. Bule yang baru mengantar pesanan makanan, mendekap nampan lalu mendekati Inka.

"Sidak, sidak! Biar kapok deh si Boim?" ujar Bule.

"Emang ke mana tuh anak, bukannya sakit gigi?" komentar Inka.

"Apaan! Boim ngapelin Leli! Sosotan barunya," sambut Bule setengah ngotot.

Saat itu, Lupus dengan gaya profesionalnya menyerahkan menu ke Engkong dan Nyak Boim.

"Mo minum apa, Kong? Nyak?" Engkong dan Nyak Boim saling pandang, bingung. Nggak ada yang mau mulai bicara. Akhirnya, Nyak Boim yang merasa sudah berpengalaman datang ke kafe, bicara juga, "Aye cuman nganter engkongnya Gusur, Pus. Katenye si Gusur dah pulang sekole kagak balik ke rumah!"

Lupus menoleh ke Engkong dengan muka kaget. Yang bener. Kong?"

"Bener, Pus, aye ude mondar-mandir sampe ni dengkul coplok. si Gusur kagak nongol-nongol. Padahal die ude janji mo nganter Engkong ke Tangerang. Mo jual kambing di Pasar Cimone! Aye kire sih die ke sini," jawab Engkong. Suaranya serak-serak sedih.

"Ye udeh, aye eh...!" Lupus buru-buru menepuk mulutnya sendiri. "Jadi latah deh! Lupus panggilin Mila, ya?
Barangkali Mila tau Gusur ke mana."

Tiba-tiba Nyak Boim nyeletuk, "Bentaran, Pus, si Boim mane? Suruh ke sini deh, aye mo ngomong!"

Lupus jadi salah tingkah. Soalnya tau kalo Boim ngebo'ongin nyak-nya. Ngaku kerja, padahal ngapel. Ragu-ragu Lupus bicara.

"Ng... si Boim..." Tiba-tiba Lupus melihat Mila mendekat. "Tanya Mila aja. ya? Mila tau tuh!"

Lupus buru-buru kabur. Mila yang berpapasan dengan Lupus menatap heran. Tapi segera tersenyum ramah begitu sampai di meja Engkong dan Nyak Boim. Mila juga nggak lupa menyalami pasangan yang penampilannya mirip ikan asin itu. Kering dan lusuh

"Apa kabar, Kong? Nyak? Tumben pada ke sini. Mo makan apa nih?" Nyak Boim dan Engkong cuma cengar-cengir.
"Udah pada makan? Kalo gitu minum, ya? Mo minum apa?"

"Kita ke sini bukan mo plesir, Mil," tukas Nyak Boim, lalu menunjuk Engkong. "Dia nyari Gusur tuh. Kali aja Non
Mila tau!"

"Wah, sayang Mila nggak tau, Kong. Soalnya Gusur hari ini nggak kerja. Coba Engkong tanya sama si Boim." Tibatiba Mila teringat sesuatu, dan menoleh ke arah Nyak Boim. "Eh iya, Boim sakit perut, ya?"

"Sakit perut? Lho, katanya Boim masuk kerja," Nyak Boim jelas heran Saat itu Mila baru ngeh kalau ditipu Boim.
"Ng, sebentar ya, Kong, Nyak. Mila tinggal dulu!" Mila lalu buru-buru pergi. Begitu menemukan Lupus, Mila langsung menyeretnya ke ruang baca yang ada di samping kafe.

"Ngapain sih, Mil? Ngapain lo seret gue ke ini, kayak mo disidang!" kata Lupus sambil berusaha melepaskan cekalan Mila pada tengkuknya. Persis kucing gigit anaknya. Mila mendelik.

"Emang lo gue sidang! Ayo cerita, ke mana perginya si Gusur sama Boim?" "Mana gue tau! Tanya aja sama Boim!" jawab Lupus cuek.

"Iya, tapi Boim-nya ke mana?"

"Mana gue tau! Tanya aja sama Gusur."

Mila jelas tambah keki dengan jawaban Lupus yang muter-muter itu.

"Lo jangan becanda, Pus. Gue laporin Nyak Boim juga nih!" ancam Mila sambil siap-siap menemui Nyak Boim.

Begitu Lupus tau Mila nggak main-main, Lupus buru-buru mencegah. Ditariknya tangan Mila. Mila menatap kesal.
"Mil, tadi Boim ke rumah Leli. Sosotan barunya!"

"Tapi kenapa bilang sakit perut?" nada bicara Mila masih galak.

Lupus nyengir "Yah. semua ini memang salah Boim juga. Dia lupa kalo hari ini giliran dia jaga kafe, tapi udah telanjur janji mo ke rumah Leli. Sebetulnya Boim udah ngebujukin Gusur buat tukar shift, tapi Gusur nolak. Terpaksa Boim ngebohong!"

"Tapi, kenapa mesti lo yang bilang Boim sakit perut? Disogok pake apa sih lo?"

Lupus menjawab polos, "Ng... Boim cuma bilang, kalo dia udah bosen, Leli boleh buat gebetan gue. Asik, kan?"
Mila jelas kesel, sekaligus cemburu berat. Lalu dengan gaya bintang film India, Mila meninggalkan Lupus sambil marah-marah. Lupus kontan bengong.

***

Nggak selamanya diculik itu nggak enak. Buktinya, Gusur masih diperlakukan cukup manusiawi. Sebungkus nasi rames yang masih panas, disodorkan ke moncong Gusur. Tapi Gusur cuma melirik sedikit. Bukannya Gusur udah nggak nafsu lagi makan nasi. Tapi karena tangan dan kaki Gusur diikat.

Gombel tersenyum sadis. "Lapar, Sur? Makan deh! Apa? Nggak doyan? Biasa makan steak, ya?"

Dengan mata menyipit, Gusur menatap kesal pada Gombel. Tapi yang ditatap malah tertawa keras-keras, lalu membuka ikatan di mulut Gusur.

"Maaf, Dik! Saya lupa kalau anak orang kaya makannya pakai mulut juga!"

Gusur mendengus geram. "Bapak jangan menghina daku ya! Biarpun tubuh daku demikian subur, bukan berarti daku berasal dan keluarga mampu."

"Kalau konglomerat macam Makmur Surawijaya bukan keluarga mampu, lalu yang mampu itu kayak gimana?"

"Tak tahu daku. Lagi pula daku tak kenal siapa itu Makmur Surawijaya!"

Gombel dengan geram membuka ikatan tangan Gusur, lalu menempelkan moncong pistol tepat di pelipis Gusur. "Jangan banyak omong lagi! Cepat makan, sebentar lagi Bos datang!"

Gusur menuruti permintaan Gombel. Begitu Gusur menyelesaikan suapan terakhirnya, Bos Penculik muncul bersama Kepra. Dengan tergopoh-gopoh Gombel mengikat kembali tangan dan mulut Gusur Tapi Bos Penculik dengan isyarat kibasan tangan, melarangnya. Gusur pun urung untuk diikat.

"Bagaimana? Sudah kenyang?" tanya Bos Penculik.

"Sudah, Pak. Tapi jika diperkenankan, daku ingin meneguk air. Daku dahaga sekali, bak berada di tengah gurun sahara," pinta Gusur seraya mengelus-elus lehernya.

Bos Penculik tergelak "Nggak disangka, anak Makmur Surawijaya berjiwa sastrawan!"

Dipuji begitu, hati Gusur kontan berbunga-bunga.

"Terima kasih, Pak. Ternyata Bapak punya selera keindahan juga...."

Bos Penculik tersenyum, lalu menyuruh Kepra mengambil minum. Tak lama kemudian, Kepra muncul membawa dua gelas air.

Bos penculik lalu menyodorkan air itu. Gusur meminumnya dengan lahap.

Selesai minum, Bos Penculik memberikan HP-nya pada Gusur.

"Sekarang cepat telepon si Makmur!"

"Daku tak tahu nomor telepon Makmur. Kenal saja tidak," rengek Gusur Bos penculik mengancam dengan bengis.

"Jangan main-main, ya!"

"Daku tidak main-main, Pak. Daku betul-betul tidak tau:..." "Ya sudah, kalau begitu telepon saja engkongmu!" usul Gombel.

Gusur tambah bingung.

"Apa yang mau ditelepon? Engkong tiada punya telepon. Kalau Devon ada." "Ya sudah, telepon aja si Devon!" pinta Bos penculik nggak sabaran.

"Tapi, Pak, daku lupa nomor teleponnya. Soalnya kan Devon itu pake handphone, jadi nomornya banyak sekali. Daku tiada bisa mengingat angka sebanyak itu. Bagaimana kalau telepon Lupus saja, Pak?"

"Terseraaah! Yang penting telepooon!" pekik Bos Penculik tak mampu lagi meredam kemarahannya.

Gusur tersentak kaget. Lalu buru-buru memijit nomor telepon rumah Lupus. Para penculik menatap bengis ke arah Gusur. Gusur makin tegang. Keringat dinginnya keluar.

Telepon di rumah Lupus langsung berdering. Tapi tidak ada yang mengangkat. Lulu yang lagi asyik mengkrimbat rambutnya di kamar mandi, jadi panik mendengar suara telepon.

"Keliiiik! Tu angkat telepooooon!" jerit Lulu.

Tapi tak terdengar suara Kelik. Malah telepon terus berdering.

Akhirnya dengan rambut dan tangan penuh krim, sambil bodinya dililit pake anduk Lulu keluar dari kamar mandi, bergegas menghampiri pesawat telepon. Siapa tau aja itu telepon penting, atau dari Mami.

Lulu mengangkat telepon. "Halo?"

"Halo? Ini Lulu, ya? Tolong, Lu, Mami ada nggak? Gusur diculik nih...," rengek Gusur dari seberang sana dengan nada yang sangat ekspresif.

Tapi respons Lulu malah menyebalkan. "Aduuuh, Gusur, jangan becanda dong! Lulu lagi krimbat di kamar mandi nih! Mami kan nggak ada, lagi ke Irian. Masa lo nggak tau sih? Lupus nggak di rumah. Coba aja lo telepon ke kafe..."

Tanpa memberi kesempatan sedikit pun pada Gusur untuk bicara, Lulu menutup telepon dengan kesal, lalu bergegas minggat ke mandi lagi.

"Gimana, Sur?" tanya Bos Penculik nggak sabaran begitu Gusur mematikan HP Gusur bingung harus bilang apa.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience