2 DEBT COLLECTOR

Humor Completed 3108

LUPUS masih sedih mengenang peristiwa kepergian Mami yang nggak mengenakkan hati itu. Ia bener-bener nyesel udah bikin sakit hati maminya. Dan karena ulahnya itu pula, saban hari sekarang Lupus udah kayak debt collector, nagihin utang ke bekas langganan katering Mami yang belum pada bayar. Aduh, tau sendiri kan, nagih utang itu pekerjaan yang paling menjengkelkan. Karena yang ditagih pasti punya seribu alasan untuk tidak membayar. Sementara yang nagih udah sepuluh kali bolak-balik. Apalagi Lupus bakalan nggak punya uang saku kalo nggak berhasil nagih piutang-piutang itu. Apa enaknya idup tanpa uang saku? Jajan nggak bisa, apalagi beli-beli barang kesukaan. Tapi terus terang aja, kalo dipikir-pikir, lebih baik menagih utang, daripada ditagih utang. Iya, nggak?

Dan siang itu Lupus lagi tepekur memandangi tumpukan nota-nota piutang Mami yang harus diuangkan. Aduh, rasanya males sekali! Kalo Lulu sih keliatannya lebih rileks. Ya, soalnya Lulu kan cewek. Jadi dia lebih luwes merayu para bekas langganan Mami untuk membayar utang. Di mana-mana orang bilang, untuk urusan yang berhubungan dengan orang banyak, cewek emang lebih jago. Dan itu terbukti, sampai hari ini Lulu sudah berhasil menagih dua bekas pelanggan, Makanya ketika melewati Lupus yang lagi melamun di meja, Lulu sempat menyindir, "Belum sukses juga, Pus? Pus, gue pergi dulun Ada janji nagih utang sama klien yang lain. Inget lho, Pus, kalo sampai hari ini elo nggak dapet duit, elo bakal mati kelaparan. Dan jangan lupa, suruh Kelik bersihin genangan air di sebelah. Nyamuknya banyak. Ntar elo bisa kena demam berdarah." Lupus cuma mendengus.

Ya, dengan dikuncinya kamar Mami, kini satu-satunya barang yang jadi sengketa hanyalah telepon. Dan saat itu telepon di ruang engah dikelilingi pita kuning, kayak sebuah area yang masih menjadi sengketa dan ditempeli tulisan: Telepon Masih dalam Sengketa. konon sebelum berangkat, Mami sudah bikin perjanjian. Barang siapa yang sanggup membayar tunggakan tagihan telepon bulan lalu, ia berhak memboyong telepon ke kamar. Dan Lulu yakin sekali akan memenangkan perlombaan itu.

"Ntar ya kalo uang Lulu udah banyak, lo jadi milik gue." Lulu mengelus-elus dulu teleponnya sebelum pergi.

Tapi, kok ya bisa Lulu nagih utang?

Itu karena Lulu selalu cerdik memanfaatkan situasi. Dan Lulu sering mengajak Inka menjadi partnernya. Seperti ketika menagih ke rumah Tante Lusi yang punya anak bernama Ediot, yang rada-rada bloon. Kebetulan Ediot yang akrab dipanggil Eddy itu teman satu sekolah Lulu. Lulu dan Inka datang ke rumah Ediot, dan menyamar jadi panitia pentas kesenian sekolah. Tante Lusi jelas agak-agak bangga anaknya didatangi dua cewek manis-manis.

Sikap Lulu dan lnka ketika menemui Tante Lusi pun bak debt collector Bank Dunia. Sangat tenang dan meyakinkan.
"Gini, Tante, sekolah kita kan mau ngadain acara tahunan, mengundang ilmuwan, selebritis dan orang tua murid. Kebetulan Eddy, anak Tante ini terpilih dari seribu nominasi yang berminat, menjadi... hmm... menjadi... kepala seksi bagian konsumsi. jadi kami datang untuk meminta izin kepada tante agar Eddy diperkenankan menjalankan tugasnya.."

Tante Lusi jelas gembira. Senyumnya langsung melebar. Ya, karena kan selama ini anaknya yang hobi menggigit-gigit kerah bajunya dengan malu-malu itu tak pernah menunjukkan prestasi apa-apa di sekolah. Apalagi dipercaya memegang tanggung jawab sebesar itu.

"Aduh, Tante jelas setuju. Tante bangga ama Eddy! Ternyata dia mempunyai jiwa pemimpin, ya! Biarpun hanya urusan perut!" ujar Tante Lusi sambil mengelus-elus rambut Eddy.

"Tapi ketika sekolah kami menghubungi pemilik katering untuk memesan makanan, pihak katering itu menolak bekerja sama karena membaca nama Eddy sebagai ketua konsumsinya!" lanjut Lulu, lalu melirik Eddy sambil mengedipkan matanya. "Iya kan, Ed?" Eddy mengangguk.

Tante Lusi terheran-heran. "Lho, kenapa?"

"Karena begini, Tante," ujar Inka. "Setelah usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah ulah Tante sendiri."

Tante Lusi jelas kaget selengah mati. "Karena ulah saya? Lho, kenapa?"

"Karena ternyata pemilik katering itu bilang, Tante dulunya pernah menunggak pembayaran katering padanya. Dan ini bon-bonnya!" Lulu langsung menyodorkan kertas-kertas bon yang telah usang.

Tante Lusi mengernyitkan dahi, dan meneliti nota itu. "Katering Ibu Anita? Tapi... ini kan sudah lama sekali. Ini kan utang yang secara otomatis akan terhapus oleh ruang dan waktu!"

Lulu tersenyum. "Ternyata tidak, Tante. Utang inilah yang justru menghambat karier Eddy sebagai ketua seksi konsumsi."

"Oh, begitu, ya?" Tante Lusi memandang anaknya. Saat itu Eddy lagi asyik main mata dengan Inka. Tante Lusi tersenyum. "Oke. Demi anak saya, Tante akan lunasi utang ini!" Lulu langsung meng-yes!!

Dan begitulah Lulu menagih utang-utangnya. Beda sama Lupus yang masih menagih dengan gaya ketinggalan zaman. Nggak pake trik apa-apa!

Lihat saja. Siang itu, Lupus sedang berdiri di depan sebuah rumah besar. Belum sempat ia memencet bel, sudah terdengar anjing menggonggong. Sementara dari balik gorden, seorang ibu gendut yang berstatus anda berumur sekitar empat puluh tahun, dengan wajah dipenuhi masker untuk menghilangkan kerut muka, mengintip Lupus. Tante judes ini tidak senang melihat kehadiran Lupus yang pasti akan menagih utang. Ia apal betul anak Ibu Anita itu!

"Enak aja, nagih utang pagi-pagi begini! Mana waktu itu kuenya rasanya nggak enak, lagi!" ujar ibu gendut yang bernama Tante Anna itu. Ia segera memanggil pembantunya, "Itun, no sana, usir si Lupus! Bilang Nyonya nggak di rumah, pergi ke Yogya!"

Itun adalah seorang wanita desa lugu yang menjengkelkan.

"Kalo dia nggak percaya, Nyonya? Bilang apa, Nya?" "Bilang ke Surabaya," ujar Tante Anna sekenanya.

"Kalo nggak percaya juga?"

"Si Slingky suruh gigit!"

Tante Anna lalu masuk ke kamarnya. Sementara Itun, sang pembantu. dengan langkah gontai keluar rumah. Diikuti oleh Slingky Dog, anjing Tante Anna yang paling menjengkelkan se-Jabotabek. Tinggi, ceking, bertaring, menggonggong seakan-akan dialah yang melahirkan pengambil keputusan sebuah negara. Anjing itu memandang wajah Lupus. Lupus makin geram.

"Maaf, Mbak, saya mau ketemu ama Tante Anna!" ujar Lupus.

"Urusan apa?" si Itun menyahut judes.

"Gini, Tante Anna dulu punya utang ama ibu saya. Tahun 1981, saat Perang Teluk. Utang ini belon dibayar sampai sekarang. Padahal kedua negara sekarang hampir berteman. Nah, apa Tante Anna sudi kiranya melunasi utangutangnya?" suara Lupus terdengar sopan sekali.

"Tante Anna nggak ada di rumah!" ujar si Itun ketus.

"Ah, masa sih! Ke mana?"

"Ke Yogya!"

"Aduh... gimana ya?!" Lupus garuk-garuk kepala.

"Situ nggak percaya?"

Lupus diam, tak mau pergi. Slingky Dog memandang Lupus.

"Kalo situ nggak pereaya, kalo gitu dia ke Surabaya!" Lupus mengernyitkan alis. "Lho, mana yang bener... Yogya atau Surabaya?"

"Kalo situ nggak mau pergi..." Si Itun memberi kode pada anjingnya untuk menggonggong. Anjing itu pun menggonggong. Siap menerkam Lupus dari balik pagar Lupus jelas terperanjat dan langsung kabur dengan dendam makin membara.... Kalah si Dede Yusuf!

Sementara si Itun masuk ke dalam rumah dengan lenggang menyebalkan.

***

Siang itu, sehabis gagal menagih utang di ramah Tante Anna, Lupus dengan wajah murung nongkrong di kafenya Mila. Suasana di itu sepi, klop sama suasana hati Lupus yang sedih. Lupus nampak kelelahan habis berlari, termenung sendiri di pojok ruangan. Mila yang sejak dulu masih menaruh hati sama Lupus, memperhatikan dari kejauhan. Ia ingin sekali menghibur Lupus. Lalu sambil membawa minuman segar, Mila pun menghampiri Lupus.
"Nih, minum, Pus. Lo kayaknya haus!" ujar Mila

Lupus menoleh kaget ke Mila, lalu tersenyum pahit. "Tumben elo baik, Mil!"

"Kadang-kadang baik kan lebih baik daripada kadang-kadang tidak baik!" ujar Mila sambil duduk di sebelah Lupus.
"Setuju, Mil," sahut Lupus seraya meneguk minumannya.

Mila memperhatikan Lupus. "Ada apa sih elo, Pus? Kok sedih?"

Lupus mendengus kesal. "Tadi gue nagih utang Mami buat uang jajan gue, eeh, malah diusir sama anjingnya Tante Anna. Padahal gue yakin, Tante Anna pasti ada di rumah. Kenapa ya, orang nggak mau bayar utang?" "Gue juga harus tanya, kenapa elo nggak bayar utang ama gue!" ujar Mila seraya bangkit.

Lupus menatap Mila.

"Mil, gue tau utang gue banyak. Tapi ntar dulu ya bayarnya. Soalnya gue lagi nggak ada duit!" "Ya, udah. Gue maklum!"

Lupus menahan tangan Mila. "Mil, elo kok baik sih ama gue?"

Mila membalikkan tubuhnya, memandang Lupus. Mengamati wajahnya yang dulu pernah mengisi mimpi-mimpinya. Lalu tiba-tiba aja mulutnya sudah berbicara, "Eh Pus... elo sebenernya senang ama siapa sih? Ama Vika, Miranda, Inka, atau..."

Belum abis omongan Mila, tiba-tiba Lulu dan Inka masuk dengan ributnya. Mila jadi urung mengutarakan suara hatinya Padahal tadi Mila mau minta ketegasan Lupus lagi. Apa Lupus seneng sama dia? Tapi Mila malu mengucapkannya di depan Lulu dan Inka.

"Hei, Mila, good afternoon! Halo, Lupus, apa kabar? Gimana, sukses nagih utangnya?" ledek Lulu ceria.

Lupus cuma buang muka.

Lulu lalu mengeluarkan sejumlah uang yang didapat dari Tante Lusi. Lupus berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kecemburuannya.

"Bagian gue mana?" ujar Inka.

Lulu menyisihkan sebagian uang untuk Inka. Lalu berkata ke Lupus, "Pus, pokoknya hari ini gue harus menguasai paling tidak sembilan puluh sembilan persen utang Mami. Biar yang mau minjem duit ama gue harus sungkem dulu. Biar gue bisa bayar telepon. Biar telepon sengketa itu bisa ada di kamar gue."

Lupus tak menghiraukan adiknya. Dia pergi dengan wajah dongkol. Lulu terbahak.

Dalam perjalanan pulang, Lupus ingat kalo ia melalui alamat rumah ibu Kori. Ibu Kori ini juga pernah mengutang katering sama Mami. Lupus lalu mengecek bon di kantongnya. Aha! Ada alamat ibu Kori. Dan utangnya sebanyak lima puluh ribu. Lumayan! Lupus pun bergegas menuju rumah Ibu Kori.

Tapi setelah mencari-cari alamat, Lupus menemukan rumah Ibu Kori ternyata sangat sederhana. Dan rumah itu nampak tertutup rapat, seperti lama ditinggalkan penghuninya.

Lupus mengetuk beberapa kali, namun tak ada yang membukakan pintu. Dengan dongkol, Lupus pulang.

***

Lupus makin sekarat. Uang sakunya cuma cukup buat beli dua permen karet. Pas keluar maen tadi aja Lupus sama sekali nggak jajan Tenggorokkan kering aja ditahan setengah mati. Tadi pagi sebetulnya Lupus mau nekat minta ke Lulu, tapi pas dipikir-pikir, akhirnya urung. Padahal Lupus tau betul, Lulu siap dimintai sumbangan uang jajan. Tapi kalo sampe Lupus minta, ia bakal diinjek-injek oleh Lulu. Disuruh mijitin dulu, disuruh ngebeliin Indomie di warung, pokoknya diperbudak deh. Lupus jelas nggak mau turun martabat diperlakukan kayak Kelik begitu.

Makanya pas pulang sekolah, Lupus mengadakan rapat darurat dengan kedua sohibnya, Boim dan Gusur. Lupus mau minta bantuan Boim dan Gusur menagih utang.

"Wah, tapi kalo elo nggak ngasih tiga puluh persen ke gue ama Gusur, gue nggak bakalan mau nolong. Bener nggak, Sur?" ujar Boim setelah mendengar cerita Lupus.

"Bener, Pus, kalo cuma sepuluh persen, lebih baik daku tidur!" Lupus menimbang-nimbang.

"Soal anjingnya yang galak en pembokatnya yang rese itu, serahin aja ke gue en Gusur. Lo tinggal menyusup masuk, langsung ke dalam rumah Tante Anna. Gimana mau, nggak?" ujar Boim lagi.

"Emangnya elo bisa gitu, beresin anjingnya?" Lupus masih sangsi

"Elo nggak tau siapa gue? Gue tinggal bikin ramuan hamburger dicampur obat tidur, beres deh!" Boim menepuk dada.

Lupus berpikir sejenak sambil jalan muter-muter.

"Oke, gue setuju! Besok! Kita beresin semuanya. Tiga puluh persen untuk elo berdua!" Boim, Gusur, dan Lupus saling berjabat tangan.

***

Besoknya, sepulang sekolah dan berganti baju, Lupus ngambil beberapa nota piutang, dan bersiap pergi. Pas sampe di pintu depan Lupus bertemu Lulu. Lupus sudah mau menghindar, tapi Lulu keburu nyerocos, "Mami kemarin telepon. Katanya kunci telepon akan dikirim dari Irian Jaya secepatnya, karena Lulu hampir berhasil mengumpulkan uang untuk bayar tunggakan telepon bulan lalu."

"Tunggu aja, belum tentu lo memenangkan perlombaan. Gue sekarang mau nagih utang bareng Boim dan Gusur!" ujar Lupus. Lalu dengan gagahnya Lupus berjalan. Lulu hanya mencibir ke arah abangnya.

Beberapa saat kemudian, tiga pendekar kita bersiap-siap maju di depan rumah Tante Anna. Boim yang sudah menjelma sebagai seorang astronot, lengkap dengan senjata pemberantas nyamuknya, sudah tak sabaran ingin menjalankan tugas. Ceritanya ia mau pura-pura jadi pemberantas nyamuk demam berdarah. Boim meminjam seragam itu dari tetangganya.

Sedang Gusur mengeluarkan bungkusan hamburger. "Ini bukan sembarang hamburger. Ini hamburger yang sudah terkontaminasi dengan obat tidur. Begitu anjing itu memakannya, daku harapkan dia tertidur selama lima menit. Ingat, Pus, lima menit. Jadi elo punya waktu lima menit! Kalau tidak, kita kalah."

Lupus tersenyum puas melihat kesiapan teman-temannya. "Beres. Nah, sekarang gini. Boim dulu masuk. Setelah pintu terbuka, Gusur langsung melemparkan hamburger. Begitu semua aman, Boim akan mengeluarkan kata sandi! Apa itu, Im?"

"Deltakodel-kodel!" ujar Boim.

"Nah, begitu mendengar kode deltakodel-kodel itu, gue ama Gusur masuk. Gusur, tugas elo menjaga anjing yang tertidur. Kalo ada yang gawat, kasih kode: patpatgulipat. Tugas gue, masuk mencari Tante Anna. Menagih utang.
Ingat, lima menit! Selamat bertugas,"

Tiga pendekar ini meletakkan tangan mereka menjadi satu.

"Demi utang Mami!" ujar Gusur

"Demi tiga puluh persen," ujar Boim.

Semua lalu bergerak.

Boim langsung menghampiri rumah Tante Anna. Lupus dan Gusur menunggu di luar. Belum lagi dia memencet bel, si pembantu dengan. Slingky Dog sudah menunggu.

Boim langsung berteriak, "Petugas hama... eh... nyamuk! Siap memberantas!" "Sono pergi, di sini nggak ada nyamuk!" usir si Itun ketus.

Boim jengkel. "Eh, gue bilangin elo, ya' Elo udah pembantu, jelek, jangan banyak bacot. Udah buka pintunya, ntar gue laporin Pak RT, ya? Lo bisa dituduh warga yang bermasalah! Ini tugas negara penting. Membasmi nyamuk demam berdarah! Kalo udah kena demam berdarah, baru tau rasa lo!"

Pembantu itu diam mendengar bentakan Boim. Ia lantas membuka pagar Slingky siap menerkam, tetapi sang pembantu memerintahkan anjing itu untuk diam. Si anjing nurut. Boim masuk, mengendap-endap ke kanan dan ke kiri. Pembantu mengikuti Boim. Begitu pembantu membalikkan badan, Gusur pun berlari masuk dan langsung melemparkan hamburger beracun ke arah Slingky. Dengan naluri seekor anjing, Slingky melahap hamburger itu seluruhnya. Beberapa detik kemudian pandangan mata anjing itu berkunang-kunang. Slingky pun tertidur Boim yang melihat Slingky tertidur, segera menyandera si pembantu,, dan langsung mengeluarkan kalimat sandinya "Deltakodel kodel!"

Lupus dengan aman langsung menyelinap masuk.

Begitu sampai di dalam, Lupus melihat Tante Anna, masih memakai masker sedang menghitung uang yang dimilikinya. "Lima miliar, dua ratus juta, enam ratus ribu, empat puluh ribu, dua ratus rupiah...."

Lupus menghampirinya dari belakang. Dan langsung menodong Tante Anna untuk membayar utang Tante Anna terkejut berdiri, dengan geram dia berteriak memanggil Itun dan anjingnya "Itun dan anjing Tante lagi disandera. Sekarang tolong bayar utang Sebanyak dua ratus ribu," Lupus menyodorkan bon lusuh.

Tante Anna langsung cengengesan, sambil berusaha menyembunyikan uang-uangnya "Eh, Dik Lupus! Aduh, kebetulan Tante belon ada uang. Gimana kalo datang besok aja?" "Jangan bohong, nah, yang di meja itu apa?" bentak Lupus.

Tante Anna meringis. "Aduh... ini kan uang Tante Anna untuk investasi jalan tol. Mana kurang sejuta, lagi!"

"Tante, pokoknya utang katering ini harus dibayar'"

Tante Anna tak berdaya lagi. "Gagal deh gue menginvestasi duit hari ini!"

Setelah sukses menagih Tante Anna Lupus cs pun segera keluar. Tugas selanjutnya, menuju rumah Ibu Kori.

"Utang ibu Kori ini kalo dapet, kita abisin buat makan-makan di restoran. Setuju?" ujar Lupus sambil jalan.

Boim dan Gusur melonjak girang Sukses menagih utang ke Tante Anna, membuat perasaan mereka enteng. Seolah utang siapa pun di seluruh dunia ini sanggup mereka tagih.

Tak lama kemudian, ketiga cowok itu masuk ke halaman rumah Ibu Kori yang sederhana. Boim yang masih mengenakan pakaian petugas penyemprot nyamuk, berjalan paling depan "Pus, yang mi punya anjing nggak?" Lupus menggeleng

Seperti biasanya, suasana rumah itu sepi Lupus lalu melongok ke kaca jendela, Mengintip keadaan di dalam. Boim sudah hendak memencet bel, tetapi Lupus segera menahannya. Boim heran, lalu ia dan Gusur ikut-ikutan mengintip. Di dalam terlihat pemandangan yang mengharukan, Seorang gadis kecil berusia kira-kira kira sebelas tahun duduk di depan meja, sedang sakit Batuk-batuk. Ibu Kori menangis dan bingung. Suaminya dengan teliti dan cekatan mengumpulkan lembaran receh ratusan rupiah yang ada di atas meja. Tiba-tiba anak gadis itu muntah-muntah. Ibu Kori dan suaminya langsung menghampiri. Ibu Kori menangis. Sementara di sofa seorang anak laki-laki sedang makan nasi tanpa lauk dengan lahapnya. Seperti anak yang dua hari belum makan. Anak itu keliatan kurus dan pucat.

Lupus, Boim, dan Gusur saling pandang. Lupus lalu berjalan keluar, diikuti oleh Boim dan Gusur. Mereka tak bicara sepatah kata pun. Adegan yang baru dilihatnya, jauh dari pikiran remaja seusianya. Lupus membiarkan nota piutang Tante Kori yang telah lecek oleh genggamannya, jatuh ke aspal. Tiba-tiba langkah tiga pendekar ini terhenti. Mereka melihat Lulu berlari dengan gembira.

"Lulu, ngapain ke sini? Jangan, Lu! Jangan tagih utang Ibu Kori...," ujar Lupus

Lulu cuma tersenyum, lalu mengeluarkan obat-obatan dan beberapa bungkus nasi Padang dari dalam tasnya.

"Gue tau. Gue justru mau nolong mereka. Gue kan dateng ke sini duluan. Ini gue beliin obat dan makanan buat mereka!"

Dengan riang Lulu berjalan masuk.

Lupus terharu melihat kebaikan adiknya. Ia menggumam ke Boim dan Gusur, "Kadang-kadang, gue bangga ama adik gue!"

Boim dan Gusur berdiri menepuk bahu Lupus.

"Gue juga bangga punya temen elo, Pus. Tiga puluh persennya mana?"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience