Rate

BAB 3

Drama Completed 384

Entah kapan aku mengundang airmata, dia datang begitu saja. Membasahi pipiku. Membuat bibirku tidak boleh mengatakan apapun. Aku benar-benar terkejut. Aku benar-benar stuck. Aku menyesal. Aku marah. Dan aku kecewa pada diriku sendiri.
“udah hampir sebulan dia nggak masuk kuliah” Diandra melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan nada yang lebih rendah. “hampir sebulan yang lalu, dia dapet info dari temen lo, temen lo bilang lo lagi ada di Telaga Desa. Harry cepet-cepet ngambil motor buat nyamperin lo. Tapi di Galuh Mas dia kecelakaan. Dua minggu dia dirawat di Rumah Sakit. Sekarang dia di Rumahnya, tapi…”
“gue ke rumah dia sekarang!” sergahku memotong ucapan Diandra. Lalu bergegas mengambil motorku menuju rumah Harry.

Sepanjang perjalanan aku tidak boleh menghentikan air yang terus keluar dari mataku dan mengalir deras membasahi pipi. Aku kalut, aku tidak boleh berfikir jernih. Amarah membuatku sesak. Paru-paruku serasa ditimbun berat barang ratusan ton. Sesak.

Di rumah Harry. Kudapati dia berbaring di ruang tamu. Matanya terpejam, tangannya memegang dada. Sosok yang hampir aku lupakan itu membuatku miris. Di tangannya, kulihat bekas luka yang lebar. Rumahnya sepi.
Aku ingat kembali cerita Harry. Bahwa ayahnya meninggal saat dia kelas satu SD. Bahwa dia tinggal hanya bersama ibunya. Bahwa dia hanya anak tunggal. Bahwa dia tidak punya siapapun lagi selain ibunya. Bahwa dia akan selalu berusaha membahagiakan ibunya. Bahwa seluruh hidupnya akan dia serahkan untuk ibunya. Bahwa aku adalah nomor tiga, setelah Allah dan Ibunya. Tapi saat ini, setelah Ibunya meninggal, setelah aku pun ikut meninggalkannya, kudapati dia tanpa daya. Tubuhnya kurus, nafasnya tersenggal.

Kuhampiri Harry. Kusentuh tangannya. Harry terkejut, dia bangun dengan tatapan yang seolah tak percaya.
“Harry…” ucapku pelan.
Harry tak menjawab apapun. Dia hanya menatapku lekat. Lalu aku duduk di sebelahnya.
“Harry..” ucapku lagi.
Perlahan tangan Harry meraih tanganku, menggenggamnya erat. Tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Dia menundukkan kepalanya, lalu membenamkan wajahnya di pelukanku. Dia menangis.
Tuhan, untuk pertama kalinya aku melihat dia menangis. Sejahat itukah aku, Tuhan? Dia adalah orang yang tangguh. Sebelumnya tak ada satu masalah pun yang boleh membuatnya mengeluarkan air mata. Tak ada satu hal pun yang boleh membuat dia terlihat serapuh ini. Kenapa aku begitu tega memberikan suatu hal yang sangat menyakitinya. Kenapa aku begitu tega membuat dia kehilangan kekuatannya.
“Harry…” sekali lagi kupanggil namanya. Aku tidak tahu harus mengucapkan apalagi. Hanya namanya yang keluar dari mulutku.

“aku ngerasa salah banget waktu itu..” ucap Harry. Aku kembali mengingat kejadian di Karang Pawitan. Mungkin itu sebabnya Harry tidak lantas membiarkan aku pergi setelah aku meninggalkannya. Dan itu sebabnya dia selalu mencariku meskipun aku memutuskan semua akses dan komunikasiku dengannya. Kerana dia merasa bersalah, telah menceritakan semuanya pada Diandra. Kali ini aku tidak marah, aku sadar bahwa semua kejadian itu terjadi juga berawal dari keegoisanku.

Harry berbaring di sampingku. Diandra melihatnya sambil tersenyum. “maafin gue juga ya Fi..” ucapnya. Lalu aku mengangguk.
Lama kita bertiga terdiam di ruang tamu rumah Harry. Kuperhatikan orang yang tertidur di sampingku. Orang yang hingga saat ini masih aku sayangi. Meski hingga saat ini belum ada kata “come back” di antara kita. Harry masih sakit, aku tidak mungkin menodong dia dengan pertanyaan “kita jadian lagi kan?” padahal dulu aku sendiri yang dengan tega meninggalkan dia.

Tangan Harry bergerak dan berhenti di atas dadanya. Dia meremas bajunya. Dia tampak sedang menahan sakit. Kata Diandra, ada tulang rusuk Harry yang retak. Pasti Harry sangat kesakitan. Seandainya aku boleh menukar posisi, aku ingin menggantikan dia untuk menahan rasa sakitnya itu. Aku rela bertukar tempat dan menjadi dia hingga dia sembuh. Aku tidak ingin melihatnya tersakiti seperti ini. Aku sayang dia, seperti dia menyayangiku. Aku menempatkan dia di nomor tiga setelah Allah dan kedua orangtuaku, seperti dia menempatkan aku di posisi yang sama dalam hidupnya.

Tatapanku terfokus pada wajah pucatnya. Tanpa aku sadar genggaman tangan yang meremas bajunya melemah. Tanpa kusadari, matanya tidak lagi terbuka. Dan tanpa kusadari, detak jantungnya menghilang. Hingga Diandra secara tiba-tiba merengkuh tubuh Harry. Mengguncangnya dengan tidak karuan. Aku panik. Di sisinya aku meraung, berteriak-teriak memanggil namanya. Tapi entah, matanya tidak lagi terbuka.

Cukupkah kata “maaf”ku ini, Harry? Cukupkah aku yang hanya boleh menangis saat kamu pergi? Inikah karma yang harus kuterima? Kini kamu yang meninggalkan aku dengan begitu teganya.

Cerpen Karangan: Isan Widaningsih
Fac:

Cerpen Cukupkah Kata Maafku ini? merupakan cerita pendek karangan Isan Widaningsih, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience