5 MEMORI DENGKUL

Humor Series 788

Penulis: Debby Rosita Kumalasari

Haishhh.. desahku.
Aku gregetan sendiri melihat sifatnya yang ceroboh. Dikancingkan tas besar bergambar pesepak bola asal Argentina favoritnya itu, tapi ia melupakan sesuatu. Aldi, tiketnya? Ingin rasanya kuteriakkan kalimat itu, ah, tapi harus kutahan dulu. Bagaimana mungkin ia tak membawa serta tiket menonton pertandingan sepak bola yang selama ini ia idam-idamkan. Bagaimana caranya ia bisa masuk stadion tanpa menunjukkan tiket yang sebenarnya sudah ia miliki? Aldi lupa lagi. Mungkin bisa kusimpulkan bahwa penyebabnya adalah ia terlalu senang dengan apa yang akan terjadi. Ya, satu hipotesis sudah kukantongi. Aldi yang malang.

Sore ini kuputuskan untuk mengunjungi rumah sahabatku, Dina. Sudah menjadi kebiasaan lamaku ketika tak ada kegiatan, untuk bermain atau sekadar berbagi cerita ala remaja ababil bersama-sama. Entah bagaimana kronologinya, setiap kali ngobrol dengan Dina, rasa suntukku hilang sudah. Dina memang sahabat yang asik. Beruntung sekali aku mengenalnya.

Kutekan bel pintu rumah megah itu untuk ketiga kalinya. Namun sang empu rumah tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Oke, yang keempat ini aku berharap sebuah keajaiban. Benar ternyata, seseorang dengan rambut pendek sebahu dan berkaki jenjang berdiri di hadapanku dengan tergopoh-gopoh.
Maaf, aku sedang merapikan beberapa buku di kamar. ucapnya terengah-engah.
Oh, ternyata kau Res. Kalau aku tahu kau yang datang, tak kubukakan pintunya sekalian. tambahnya setelah ia tahu aku yang datang.
Huuu, biar tak kau bukakan pintu ini, aku akan tetap nekat masuk. balasku mencibirnya.
Belum-belum aku dan Dina sudah tertawa terbahak-bahak mendengar candaan kami sendiri.

Di dalam rumah, kami duduk santai di atas karpet empuk milik keluarga Dina. Tak tanggung-tanggung Dina mengeluarkan semua makanan ringan yang ia punya sebagai teman kami ngobrol. Itu juga yang membuatku betah berlama-lama berkunjung ke rumahnya, hihi.

Satu jam telah berlalu. Tiba-tiba saja muka Dina pucat pasi. Seolah-olah ia baru saja melihat arwah para pahlawan yang telah gugur mendahului kita, eh seperti kalimat pembuka mengheningkan cipta saja, sedang memenuhi ruangan ini.
Kenapa kau Din? tanyaku.
Jam berapa ini? Dina justru balik bertanya.
Jam 5 sore. Kenapa? jawabku.
Res, kau tahu apa yang aku lakukan sebelum kau kemari?
Tidak.
Resti, aku sudah memberi tahumu tadi.
Apa? Aku tidak ingat.
Ohh Resti sahabatku tersayang, aku tadi sedang merapikan buku-buku yang akan kugunakan sebagai bahan pengajuan untuk thesisku nanti.
Lalu? Aku masih tidak mengerti.
Lalu? Resti…, jam 4 tadi aku seharusnya ada bimbingan dengan ibu dosen di kampus. Tak sempat aku menanggapi pernyataan terakhir yang ia lontarkan. Dina sudah beranjak mengambil tasnya dan ke luar rumah. Kini aku mengerti apa yang ia katakan. Dina lupa bahwa seharusnya sore ini ia ada janji bimbingan dengan Ibu Marlia di kampus. Ah, aku sadar, ini salahku juga, bermain ke rumahnya di waktu yang tidak tepat. Maafkan aku Din.

Setali tiga uang. Tak terasa hipotesis kedua sudah kudapatkan. Orang menjadi lupa bisa juga karena ada gangguan dari pihak lain yang mengalihkan perhatian orang tersebut. Oh, maafkan aku Din, aku telah menjadikanmu salah satu objek penelitianku. Tapi, selagi ada kesempatan kenapa tidak?

Waktu pengumpulan data untuk bahan penelitianku hampir habis. Aku diberi waktu sebulan untuk menyelesaikan tugas ini. Sengaja aku mengambil topik penyakit lupa yang kebanyakan orang tak mengerti apa penyebab pasti dari masalah ini. Namun ini tak semudah yang kubayangkan. Dalam pengambilan bukti-bukti, syaratnya adalah tidak diketahui oleh orang-orang yang bersangkutan. Sebuah tantangan yang menarik.

Dua dari lima sample sudah kudapatkan. Tinggal 3 orang lagi yang mau tidak mau akan menjadi korban kejahatanku selanjutnya. Aku teringat akan sebuah nama, Mentari. Ya, dia adalah tetangga dekat rumah. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Dengar-dengar dia baru saja kehilangan seluruh isi dompetnya kemarin. Sifat sok tahuku muncul. Mungkin saja karena Mentari lupa meletakkannya atau lupa menutup tasnya, hingga tas itu terbuka sehingga dompetnya terpaksa menunjukkan diri kepada orang-orang di luar sana. Aku harus selidiki apa penyebab sebenarnya. Semoga sesuai dengan harapan. Aku jadi semakin bersemangat.

Kusiapkan perbekalan untuk mengintai Mentari. Esok paginya, dengan cuaca yang agak mendung aku tetap melanjutkan rencanaku. Pukul 06.00 WIB aku sudah bersiap di depan rumah Mentari. Tas ransel besar berisi alat-alat pengintaian dan sejumlah makanan telah siap menemani. Kubidikkan teropong kecil ke arah rumahnya. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Kuputuskan untuk menikmati sebungkus roti keju kesukaanku sambil menunggu secercah harapan berikutnya.
Hingga dua jam berlalu masih saja tak ada sedikit pertanda. Semut-semut mulai menggerayangi pantatku. Sepertinya aku salah mengambil tempat persembunyian. Satu pohon besar dengan semak-semak di sekelilingnya ini makin lama makin membuatku tidak nyaman. Ternyata benar, badanku sudah berubah bentol-bentol dan memerah. Tiba-tiba dari arah ujung jalan seseorang dengan menenteng tas keranjang berisi sayuran menuju ke rumah sederhana itu. Itu Mentari. Ternyata sejak pagi-pagi sekali ia sudah pergi ke pasar. Betapa sialnya aku, tahu begitu aku masih memanjakan mataku di atas kasur empukku tadi. Tapi pikiran itu segera kutepis. Kemenangan memang harus diawali dengan pengorbanan.

Butuh beberapa menit lagi hingga akhirnya Mentari keluar dari rumahnya. Dengan muka murung ia berdiri di tepi jalan depan rumah tak berpagar itu. Akhirnya angkutan umum yang ditunggunya datang juga. Aku langsung lari terbirit-birit menyusul angkutan itu, sudah pasti aku tak mau lagi kehilangan jejak Mentari. Kacamata hitam dan sebuah sapu tangan untuk menutupi sebagian wajahku tentu saja sudah kupikirkan. Sudah pasti agar orang-orang ini tak mengenaliku, terutama Mentari.

Akhirnya sampai juga pada sebuah warung makan cukup ternama di daerahku ini. Sebal sekali rasanya. Sepanjang perjalanan di dalam angkutan tadi aku serasa akan dimakan oleh monster-monster berhati batu. Semua orang memandangiku. Ada pula di antara mereka yang tak segan-segan membicarakanku. Awalnya kubiarkan saja, tapi lama-kelamaan aku tak nyaman dengan kondisi seperti itu. Langsung saja kubalas dengan memelototi mereka. Tentu saja aku berani, toh, mereka juga tak bisa melihatnya.

Mentari sudah masuk ke dalam warung. Ia bekerja sebagai salah satu pegawai atau pelayan di sana. Kubuntuti dia dari belakang. Aku pura-pura menjadi pengunjung di warung makan itu. Seorang pelayan menghampiriku. Tak tahu apa yang ia katakan, yang penting aku sudah pesan makanan, hitung-hitung sebagai biaya menyewa tempat pengintaian. Tak masalah.
Hei, ada apa gerangan, wajah cantikmu kau tekuk-tekuk begitu? tanya seorang pelayan gendut yang kini baru kuketahui Nita namanya. Di sela-sela tak ada pengunjung yang datang, mereka kebanyakan mengobrol satu sama lain.
Aku sama sekali tak bersemangat hari ini. Uang beserta kartu-kartu penting yang kupunya lenyap bersama dompet kesayanganku Nit. Senyum simpul itu sudah tak bisa dipaksakan keluar seperti saat Mentari melayani pengunjung di warung milik bosnya itu.
Bagaimana bisa hilang? tanya Nita.
Entahlah. Aku pikir semua sudah kukemas dengan rapi pada saat aku berbelanja di pasar waktu itu. jelasnya.
Nah itu, kau tidak mengeceknya lagi pasti. Bisa saja dompetmu itu tidak berada dalam posisi semula, dan ada orang jahat yang mengambilnya. Nita berusaha mengutarakan argumennya.
Ah, menurutku… tapi aku yakin kok itu sudah bla bla bla bla.
Aku tak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan sesaat setelah pelayan itu datang lagi memberikan tagihan. Betapa terkejutnya aku melihat nominal angka pada kertas kecil yang disodorkannya padaku. Seratus lima puluh ribu rupiah. Sebuah nominal yang fantastis untuk ukuran mahasiswa sepertiku. Apa boleh buat, makanan ini sudah habis kumakan. Setidaknya aku sudah mengantongi hipotesis ketigaku yaitu seseorang bisa lupa justru karena pikiran orang tersebut telah diisi dengan keyakinan yang berlebih.

Hari yang melelahkan. Kurang dua sample lagi untuk melengkapi data-data yang kubutuhkan. Sasaranku kali ini adalah orang yang sedang depresi atau banyak pikiran. Ide ini muncul ketika sebelum tidur tadi aku sempat browsing pada jejaring pencarian yang mengatakan bahwa tekanan hidup yang tinggi akan berpengaruh pada mental termasuk juga daya ingat. Orang yang mengalami depresi biasanya lebih rentan terkena penyakit lupa daripada yang tidak mengalaminya. Orang yang stress akan mengalami masalah dalam hal memikirkan sesuatu atau fokus dalam berpikir. Oleh karena itu mereka sering lupa. Mungkin sampai disini dulu, aku akan melanjutkan penyelidikanku esok hari. Mataku sudah tidak bisa diajak kompromi dengan semua pemikiran-pemikiran ini.

Lima hari sebelum batas akhir pengumpulan laporan tanggal 30 Mei 2013. Sampai siang bolong begini aku belum menemukan target yang pas sebagai korban selanjutnya. Sepupu sudah, sahabat sudah, tetangga juga sudah. Kali ini siapa? Aku jadi terkikik sendiri, baru sadar, ternyata orang-orang di sekelilingku adalah orang-orang pelupa semua, haha.

Ada sederet nama dalam catatanku. Pak Makmun, seorang Rektor dari kampus yang aku tempati. Menurut isu, beliau akan berhenti dari jabatannya karena memutuskan untuk berkecimpung di dunia politik. Berikutnya adalah Pak Riki, pengusaha mebel sukses yang kini sedang mengalami masa sulit. Jika dibandingkan dengan penjualan mebelnya dua tahun terakhir ini dengan tahun-tahun sebelumnya, sudah jelas mengalami penurunan yang drastis. Bagaimana aku bisa tahu? Ah, itu tidak penting. Orang yang ketiga adalah Ibu Mela, seorang wanita karir yang selalu disibukkan dengan pekerjaan kantornya. Beliau adalah tetanggaku juga. Rumahnya besar dan megah, dengan taman yang dipenuhi bunga-bunga indah berwarna-warni di halamannya. Tapi sayang, rumah itu selalu sepi. Mungkin karena kesibukan yang membuatnya jarang pulang ke rumah. Begitu pula dengan dua orang anaknya yang kuliah di luar kota.
Ketiganya sama-sama sulit bagiku. Mereka termasuk orang-orang penting dan punya nama di bidangnya masing-masing. Tapi aku tetap harus memilih salah satu diantaranya, walaupun aku tahu, pasti akan ada risiko yang harus kutanggung. Setelah kupikir matang-matang, aku memilih Ibu Mela. Selain ia juga tetangga sendiri, mungkin bisa mempermudah pengamatanku kedepannya.

Malam hari adalah waktu yang kurasa tepat untuk melakukan penyelidikan. Ibu Mela biasa pulang larut malam. Dan ternyata benar, pukul 21.00 WIB sebuah mobil mewah warna hitam memasuki pekarangan rumah. Seorang security dengan sigap membukakan gerbang setinggi hampir menyerupai pohon kelapa di depan rumahku. Langsung saja aku berhasil masuk rumah itu setelah sebelumnya harus melalui obrolan panjang dengan security Bu Mela tadi. Untung saja ada alasan yang cukup meyakinkan dengan membantu Pak RT memintakan sumbangan warga untuk pembangunan pos ronda yang baru di kampungku.

Saat menemuiku Bu Mela terlihat lelah sekali. Tak tega sebenarnya, tapi bagaimanapun juga rencanaku harus sukses. Dengan ekspresi bingung yang ia tunjukkan justru semakin menampakkan kerutan di wajahnya karena beliau sudah tak memakai make-up lagi.
Maaf, adik siapa ya? tanyanya kemudian.
Belum apa-apa beliau sudah lupa siapa aku. Mungkin karena super sibuknya itu yang membuat ia tak mengenali tetangganya sendiri.
Oh, maaf Bu, saya Resti tetangga Ibu. Saya tinggal di rumah kecil terpaut tiga rumah dari sini. Terlihat Bu Mela sedang mencoba mengingat-ingat.
(Tertawa terbahak-bahak) Oh iya, maaf sekali Dik Resti, maklum sudah tua, Ibu sering lupa. Padahal Bu Mela belum terlalu tua menurutku. Aku yakin banyak yang dipikirkannya terutama urusan pekerjaan yang kemungkinan bisa membuatnya lupa.
Tidak apa-apa Bu, saya kemari hanya ingin menyampaikan amanat dari Pak RT untuk memintakan dana seikhlasnya dari Ibu terkait pembangunan pos ronda yang akan dilakukan besok di desa ini.
Ooo begitu, kok baru sekarang memintanya?
Emm, maaf Bu, bukannya Pak RT sudah menyampaikan maksud ini beberapa hari yang lalu?
Oh ya? oh ya ya, Ibu baru ingat, Ibu minta maaf ya dik, tolong sampaikan maaf Ibu juga pada Pak RT. Ibu lupa, mungkin karena akhir-akhir ini banyak pikiran. Sekali lagi Ibu minta maaf ya.
Beberapa lembar uang ratusan ribu dan hipotesis yang keempat sudah di tangan. Kemudian aku pamit pulang.

Pukul 00.00 WIB. Aku gelisah dengan sampleku yang terakhir. Berbagai nominasi sekelebat mampir di otakku. Namun sepertinya semua nama itu tak masuk dalam kategori yang kupilih. Hingga akhirnya aku sendiri yang masuk di alam mimpi.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Dua hari terlampaui tanpa ada sedikit hal yang dapat kulakukan. Ideku sudah mencapai titik terakhir. Aku duduk di depan meja belajar dengan beberapa data yang selama ini kubutuhkan. Tinggal satu sample lagi. Kubolak-balik kertas-kertas yang ada di tanganku. Tetap saja tak kudapatkan pencerahan.

Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah kertas yang berada di sudut meja. Hmm, pengumuman batas akhir pengumpulan laporan. Ya, semuanya tertera pada kertas itu. Sisa waktu satu hari lagi, pikirku. Ingin rasanya ada ibu peri yang bisa mengundurkan waktu itu. Setidaknya satu atau dua hari lebih lama dari yang ditentukan.
Kuambil kertas itu. Tertera DL: 30 April 2013. Ya, itu besok lusa.
Tidak-tidak, bukan besok lusa. Bulan apa ini? Mei. Ya, ini Mei dan tanggal itu menyebutkan April. Oh tidak, aku lupa dengan bulannya.
Seperti pepatah yang mengatakan ‘senjata makan tuan’. Aku sendiri yang melupakan semuanya. Hal paling penting dari penelitianku ini. Aku lupa bahwa sebenarnya batas akhir pengumpulan adalah bulan April, bukan Mei. Semua yang kulakukan terasa sia-sia. Bagai terserang serangan jantung stadium akhir, aku lemas tak berdaya. Lengkap sudah data yang aku butuhkan. Sample kelima, Resti, diriku sendiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience