Episode 01: Apa Karena Ada Laki-laki Lain?

Drama Series 699

“Terima kasih sudah menjagaku selama ini.”

“Terima kasih atas semuanya. Tugas Anda sudah selesai.”

“Sekarang mari jalani kehidupan kita masing-masing.”

“Apa maksudmu?” Lelaki yang duduk di belakang meja itu melepas kacamatanya.

Keningnya tampak berkerut membentuk lipatan dengan pandangan yang menyorot tajam.

Aku yang tak sanggup beradu pandang dengan netra kelam itu, langsung menundukkan kepala.

Aku berusaha menekan debar-debar aneh yang selalu tercipta setiap kali menatapnya.

Menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan segenap kekuatan dan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang mengganjal dalam dada.

Sudah cukup aku menjadi beban laki-laki berstatus suami yang selama ini tak pernah menginginkan keberadaanku.

Aku sadar diri akan posisi sebagai istri yang tak diharapkan, sebab tahu ada satu nama yang hingga kini masih meraja di dalam hati.

Ada wanita lain yang sejak dulu ingin ia jadikan pendamping hidup, tapi terhalang karena keberadaanku yang terpaksa dinikahi karena sebuah wasiat.

“Aku ingin... kita berpisah.” Aku melanjutkan dengan suara setenang mungkin.

Padahal dalam dada serasa ada ribuan jarum yang menusuk. Bagaimanapun, selama dua tahun ini aku berada di bawah penjagaan dan pengawasannya.

Meski dia selalu bersikap dingin dan menjaga jarak, tapi sebagai suami ia sudah berusaha menunaikan tanggung jawabnya dengan mencukupi semua kebutuhanku.

Melindungi dan menjagaku seperti yang dilakukan Ayah semasa hidupnya.

Hanya satu yang tidak ia berikan padaku yaitu.... hatinya.

Aku takut berharap terlalu jauh. Takut jatuh cinta terlalu dalam.

Jadi sebelum rasa ini mengakar kuat, lebih baik aku mundur dan pergi menjauh darinya.

Memberi kesempatan padanya untuk mengejar kebahagiaan sendiri bersama wanita yang telah lama ia impikan untuk menjadi pendamping hidup.

“Jangan bicara yang aneh-aneh, Jingga.”

“Aku tahu Anda ters1ksa dengan pernikahan ini.”

“Jadi, mari kita akhiri semua ini.” Aku akhirnya memberanikan diri mengangkat wajah dan membalas tatapannya.

Hanya sebentar saja karena setelah itu kembali menundukkan kepala.

Dua tahun menjadi istrinya, aku tahu selama itu pula dia tersiksa karena harus menikah denganku.

Menikah dengan seorang mahasiswi miskin dan yatim piatu yang sama sekali tidak ia cintai.

Dia dipaksa harus bertanggungjawab atas kehidupan seorang wanita demi menunaikan wasiat ayahku yang sudah berpulang.

Terpaksa harus menukar kebahagiaan sendiri dengan menjalani kehidupan pernikahan bersama wanita yang tidak ia cintai.

Sebenarnya bukan dia yang seharusnya menebus dosa atas kelalaian yang menyebabkan nyawa orang lain terenggut.

Namun karena sang adik yang menjadi pelaku belum cukup umur, maka dialah yang diminta untuk bertanggung jawab atas kehidupanku setelah Ayah berpulang.

Ayah menjadi korban tabrakan dari sebuah mobil yang dikemudikan oleh seorang pemuda yang saat itu berada dibawah pengaruh alkohol.

Sebelum mengembuskan napas terakhir, beliau menitipkan aku pada keluarga pelaku.

Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban tersebut, aku dinikahkan dengan kakak sulung dari pemuda yang menjadi penyebab kepergian Ayah.

“Kenapa tiba-tiba ingin berpisah?”

Suara yang terdengar cukup dekat membuat aku yang sempat termenung, seketika tersentak dari lamunan.

Baru menyadari kalau lelaki yang begitu kukagumi ini, berdiri cukup dekat denganku.

Kami yang jarang berada dalam posisi sedekat ini, membuatku sedikit gugup hingga tak sadar mundur demi menjaga jarak dari laki-laki yang selama menikah tak pernah sekali pun menyentuhku.

“Aku tidak mau terus-terusan menjadi beban.”

“Aku tidak mau menyakiti dengan mengikat Anda terlalu lama dalam pernikahan ini.”

“Bapak berhak bahagia dengan yang wanita yang dicintai.”

Aku memang selalu bersikap formal jika berbicara dengannya karena dia juga seorang dosen di fakultas tempat aku menimba ilmu.

Apalagi saat ini kami sedang berada di kampus. Di dalam sebuah ruangan yang menjadi tempat kerjanya jika tidak memberi kuliah.

Lagipula dia juga tak pernah memintaku untuk memanggilnya dengan panggilan lain.

Tidak juga melarangku agar tak bersikap formal padanya. Jadi, seperti inilah interaksi di antara kami, berkomunikasi layaknya seorang atasan dan bawahan.

Atau lebih tepatnya seorang dosen dan mahasiswanya.

“Jadi kamu benar-benar ingin berpisah?”

Pak Reyn begitu aku memanggilnya, kembali bertanya seperti ingin meyakinkan diri jika aku benar-benar ingin berpisah darinya.

“Iya.” Aku menjawab tegas.

“Maaf, tapi aku tidak bisa.” Dia menggelengkan kepala.

“Kenapa? Bukankah Pak Reyn tidak menginginkan pernikahan ini? Lalu buat apa bertahan kalau kita sama-sama tidak bahagia?”

Kembali aku memberanikan diri untuk berbicara apa adanya.

Selama ini kami jarang sekali berkomunikasi secara terbuka apalagi sampai mengungkapkan isi hati.

Selama menjadi istrinya, aku lebih sering menelan segala rasa seorang diri.

Aku sadar betul sebab hubungan kami hanyalah formalitas belaka demi menjalankan sebuah wasiat.

Lelaki itu menarik napas berat. Tampak berpikir seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

Sampai akhirnya ia kembali angkat suara.

“Karena Ibu. Kamu tahu sendiri Ibu menyayangimu.”

“Dan beliau sekarang sedang sakit. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk jika tahu kita akan berpisah.”

Aku terdiam dengan perasaan tak menentu. Tadinya aku berpikir ia masih ingin mempertahankan aku di sisinya karena mulai menaruh rasa pada istrinya ini.

Namun, rupanya aku salah besar. Ia masih ingin bertahan karena tak mau menyakiti sang ibu yang sudah menganggapku sebagai anak sendiri.

Dia mempertahankan keberadaanku demi ibunya, bukan karena keinginannya.

Apa yang dikatakan Pak Reynan Abimana memang benar. Saat ini ibu mertua sedang terbaring sakit.

Tentu kabar perpisahanku dengan putranya sedikit banyak akan berpengaruh pada kesehatannya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan wanita itu.

Walaupun awalnya ibu mertua kurang menerima kehadiranku sebagai menantu, tapi lambat laut wanita itu mulai menerimaku.

Terlebih aku selalu ada untuknya setiap kali beliau jatuh sakit.

Entah karena apa, wanita paruh baya yang semula menolak keberadaanku, mulai menerima kehadiranku sebagai menantu.

Namun, tidak dengan putranya. Suamiku itu masih saja memperlakukan aku seperti orang asing.

Meski kami telah resmi menikah sejak dua tahun silam, tapi sampai saat ini kami tidur di kamar yang terpisah.

Pak Reyn memang menjalankan kewajibannya dengan sangat baik, tapi tidak dengan urusan ranjang.

Karena sampai detik ini dia sama sekali tidak pernah meminta haknya sebagai suami.

Aku sangat paham alasannya.

Dulu dia memiliki seorang kekasih yang sangat cantik. Konon mereka akan menikah, tapi batal sebab Pak Reyn terpaksa menunaikan wasiat dan menggantikan adik lelakinya dengan terpaksa menikahiku.

“Kita bisa berpura-pura di depan Ibu.” Aku memberi solusi setelah cukup lama kami sama-sama tenggelam dalam keheningan.

“Jingga....”

“Tolonglah Pak, jangan dipersulit.”

”Tidak ada yang dirugikan kalau kita berpisah.”

“Perpisahan ini justru menjadi kesempatan Anda kembali pada perempuan yang Bapak cintai.” Aku menarik napas demi melepas sesak dalam dada.

Sungguh mengatakan ini terasa jauh lebih berat daripada menjawab sejumlah pertanyaan para penguji saat ujian skripsi tadi.

Miris memang, di saat yang lain merayakan euforia kelulusannya, aku justru meminta hal yang paling ditakuti oleh kebanyakan wanita berstatus istri.

Daripada sama-sama menyiksa diri dalam ikatan ini, lebih baik kami memilih jalan masing-masing.

Setelah tak ada lagi yang dibicarakan, aku akhirnya pamit keluar dari ruangan tersebut.

Namun, langkah kaki seketika terhenti saat kembali terdengar suara Pak Reyn.

“Apa karena ada laki-laki lain?”

Tubuhku sedikit menegang mendengar pertanyaan yang barusan dilontarkan lelaki itu.

Seandainya saja dia tahu jika hanya namanya yang ada di dalam sini, aku yakin dia tidak akan mengajukan pertanyaan seperti itu.

“Sekarang belum, entah suatu hari nanti.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibir ini.

Terdengar embusan napas berat lelaki di belakang sana.

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera meninggalkan ruangan.

Tepat pada saat aku baru saja menutup pintu ruangan Pak Reyn, pandanganku tiba-tiba tertumbuk pada seorang wanita yang kini berdiri di hadapan.

To Be Continue..

Ayooo mampir sini dulu..

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience