Episode 02: Kamu Tidak perlu Melayani Keperluanku.

Drama Series 699

Terdengar embusan napas berat lelaki di belakang sana. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera meninggalkan ruangan.

Tepat pada saat aku baru saja menutup pintu ruangan Pak Reyn, pandanganku tiba-tiba tertumbuk pada seorang wanita yang kini berdiri di hadapan.

Wanita yang tak lain adalah mantan kekasih Pak Reyn, tiba-tiba menarik tangan dan menyeretku menuju sudut bangunan.

Suasana koridor yang sepi membuatnya lebih leluasa untuk melakukan tindakan seperti ini.

Dengan sedikit paksaan ia mendorong tubuhku hingga merapat ke dinding.

“Mau apa kamu ke ruangan Pak Reyn?” tanyanya dengan tatapan Intimidasi.

Barangkali ia merasa dengan begitu aku akan takut padanya.

“Bukan urusannya Mbak!” Aku menjawab tegas.

Sama sekali tidak memperlihatkan sikap gentar meski dia memperlakukan dengan sedikit kasar.

“Kamu bilang itu bukan urusanku?” Wanita bernama Larasati itu melotot seperti ingin menelanku hidup-hidup.

“Hei perempuan kampung, dengar baik-baik, ya. Aku dan Pak Reyn itu masih berhubungan."

"Kami masih saling mencintai.”

“Masih berhubungan atau tidak, itu terserah kalian."

"Yang jelas saat ini aku masih berstatus istri sah, bukan pelakor.”

“Hei, jaga mulutmu! Aku bukan pelakor. Yang merebut calon suamiku ya kamu, bukan aku.”

“Aku sama sekali tidak menyebut Mbak pelakor, tapi kalau Mbak merasa begitu berarti tandanya benar.”

Wanita itu langsung mengumpat. Tangannya tiba-tiba terangkat dan hendak menampar. Tapi gerakannya tertahan karena seperti menyadari sesuatu.

“Silakan tampar kalau berani. Biar sekalian viral dan masuk berita kampus."

"Oknum staf administrasi Fakultas Ekonomi melakukan tindakan kekerasan pada seorang mahasiswi karena cemburu.” ucapku sembari melirik benda yang terpasang di dinding bagian atas bangunan.

Dan aku sengaja mengarang tajuk berita. Sebagai ancaman halus jika dia berani melakukan tindakan kekerasan padaku.

“Mbak dan Pak Reyn sama-sama bekerja di lingkungan akademisi."

"Harusnya kalian bisa menjaga batasan dan tidak pacaran saat jam kerja.”

Tangan perempuan itu mengepal mendengar ucapanku.

Sementara wajahnya tampak memerah karena menahan kesal.

Wajah ayunya terlihat menyeramkan saat sedang emosi seperti ini.

Aku tersenyum dalam hati karena bisa melawan walau hanya dengan kata-kata.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku berlalu dari hadapan wanita itu.

Meninggalkan mantan kekasih Pak Reyn yang seperti tak puas karena tak berhasil melakukan intimidasi terhadapku.

“Kami saling mencintai dan akan segera menikah, tapi kamu datang dan mengacaukan semuanya.” Ucapan wanita di belakang sana membuat langkah kaki terhenti.

Bukan karena terkejut atas pengakuannya, tapi sebab ingin mendengarkan sejauh mana hubungan mereka.

“Harusnya kamu tahu diri dan segera mundur."

"Dia itu sama sekali tidak cinta sama kamu, dia hanya mencintaiku seorang."

"Sejak dulu dan sampai nanti.”

Aku memejamkan mata.

Merasakan nyeri yang tiba-tiba menghuj49m dada. Tentu saja aku sadar diri akan segala kekurangan.

Aku ini tidak ada apa-apanya dibanding perempuan cantik yang konon sempat jatuh sakit karena ditinggal nikah.

Wanita yang rela pindah tempat kerja karena ingin selalu dekat dengan sang kekasih hati.

Aku juga tahu seperti apa posisiku di hati lelaki berstatus suami.

Dua tahun pernikahan kami, aku hanya dianggap orang asing dan tak memiliki hak apa pun atas dirinya.

Istri yang selama ini tak pernah merasakan kasih sayang seorang suami.

Aku melanjutkan langkah meninggalkan perempuan yang terdengar terisak di belakang sana.

Meski tak suka padanya, tapi sebagai wanita aku bisa merasakan perasaannya.

Merasakan bagaimana hancurnya, perasaan saat mengetahui kekasih hati tiba-tiba menikahi gadis lain.

Ini juga yang menjadi alasan mengapa aku ingin berpisah dari Pak Reyn.

Aku selalu dikejar perasaan bersalah karena telah menghancurkan impian sepasang kekasih yang sudah lama ingin merajut bahagia dalam ikatan yang suci.

Dengan perasaan tak menentu, aku berjalan menuju sebuah kafe yang masih berada dalam area kampus.

Suasana kafe yang sepi membuatku lebih leluasa untuk mencari tempat duduk.

Sengaja mencari kafe yang letaknya jauh dari fakultas agar tidak bertemu teman-teman yang lain.

Bukan karena menghindari tradisi makan-makan dalam rangka merayakan kelulusan, tapi karena saat ini aku hanya ingin sendiri.

Perasaan galau dan kesepian membuatku kembali mengenang saat-saat pertama berstatus sebagai istri Reynan Abimana.

Lelaki yang telah membuatku jatuh cinta sekaligus terluka di saat yang sama.

“Kamu yang sabar, ya. Pernikahan ini hanya sementara.”

“Iya, jangan khawatir. Kupastikan tidak akan menyentuhnya.”

“Sudah dulu, ya. Nanti aku telepon lagi. Ingat, jangan berpikiran macam-macam.”

Tubuhku seketika membeku saat tak sengaja mendengar percakapan suami di telepon.

Meskipun aku tidak tahu dia berbicara dengan siapa, tapi aku bisa menduga siapa lawan bicara laki-laki yang belum genap dua puluh empat jam menghalalkan diri ini.

Aku yang sedang berdiri di ambang pintu dan hendak mengajaknya makan malam, seketika mengurungkan niat.

Kembali berbalik menuju dapur demi meredakan rasa nyer1 yang tiba-tiba menghujam dada.

Meski sejak awal aku tahu jika dia tidak mengharapkan pernikahan ini, tapi tetap saja ada perasaan sakit mengetahui laki-laki yang belum lama mengucap kabul.

Sedang berusaha menenangkan sang kekasih di seberang sana.

Memberi kekuatan pada wanita yang selama ini mengisi hari-harinya.

Harusnya aku tahu diri dan tidak mengharapkan lebih dari pernikahan ini.

Walaupun jauh sebelumnya aku sudah memendam rasa pada Reynan Abimana, dosen muda karismatik yang banyak dikagumi para mahasiswa.

Walaupun aku tidak pernah mengambil mata kuliah yang dia pegang karena beda konsentrasi, tapi wajah teduh dan sikapnya yang berwibawa sudah lama mencuri perhatianku.

“Jingga....”

Buru-buru aku mengusap sudut mata yang basah dengan ujung jemari.

Lalu membalikkan badan menghadap lelaki berperawakan tinggi atletis yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu dapur dan tengah menatapku dengan sorot tak terbaca.

“I—iya?”

“Aku ingin bicara.”

“Baik, Pak.” Aku mengikuti Pak Reyn yang lebih dahulu melangkah menuju meja makan.

Mengambil posisi duduk berseberangan dengan lelaki yang selalu bersikap formal meski kami sudah berstatus pasangan suami istri.

Wajah yang dihiasi cambang tipis itu tampak serius.

Mata kelamnya menatap lurus ke arahku yang memilih menundukkan wajah dengan hati berdebar.

Entah apa yang akan dia bicarakan, tapi perasaanku mengatakan kalau ini bukanlah sesuatu yang kuharapkan.

“Langsung saja ke topik pembicaraan.” Pak Reyn terdiam sebentar, seperti sedang menyusun kalimat yang akan dia ucapkan.

Sementara aku menunggu dengan perasaan tak menentu.

Mau mengucapkan kalimat talakkah dia? Ah, entah kenapa aku jadi teringat pada sebuah novel yang pernah kubaca, di mana sang istri diceraikan di malam pertama pernikahan.

“Kita memang sudah menikah, tapi mungkin ini akan berbeda dengan pernikahan pada umumnya."

"Aku akan menjalankan kewajibanku sebagai suami, tapi tidak dengan urusan ranj4ng.” Dia kembali melanjutkan, langsung memberi peringatan kalau aku tidak boleh berharap lebih padanya.

Aku hanya diam dan membiarkannya mengungkapkan apa yang ingin dia sampaikan.

Pembicaraan ini serupa kontrak yang akan berlaku selama kami terikat dalam pernikahan.

“Kamu tidak usah melakukan pekerjaan rumah karena ada ART yang akan mengerjakan."

"Kamu tidak perlu melayani keperluanku."

"Fokus saja pada kuliahmu. Paham?”

Aku hanya mengangguk tanpa berani menyanggah apa yang dia katakan.

Toh, tak ada gunanya berkomentar apalagi membantah apa yang dia inginkan.

Aku sadar diri kalau dia sama sekali tidak mengharapkan kehadiranku sebagai istri.

Kalau bukan karena menunaikan wasiat Ayah, mana mungkin lelaki rupawan berkarir mapan sekelas Reynan Abimana mau mengambil wanita buluk sepertiku untuk dijadikan istri.

Aku menarik napas panjang demi melonggarkan dada yang sesak setiap kali mengingat pembicaraan dengan suami dua tahun yang lalu.

Hingga sebuah ketukan yang cukup keras di atas meja kayu, menarik kembali semua ingatan akan masa silam.

Aku yang sempat terkejut, seketika mendongak demi melihat sosok yang berdiri di seberang meja dan tengah menatapku lekat.

To Be Continue..

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience