Bab 2: 11 A

Romance Series 697

“Miftah!”

Dengan lekas aku menoleh saat aku dengar seseorang memanggilku. Tapi apa yang terjadi? Sang pemanggil hanya tersenyum geli memandangku, aku mengerutkan kening merasa heran, apa yang salah denganku? Seingatku, aku sudah bercermin sebelum berangkat sekolah tadi, tapi pagi ini ada satu teman sekelasku menahan senyum gelinya saat aku menoleh padanya

“Siapa yang panggil kamu?”

Pertnyaan itu meluncur darinya tanpa rasa bersalah, apa dia pikir telingaku rusak sehingga aku salah dengar? Aku masih hafal dengan namaku sendiri. Jelas-jelas dia memanggil ‘Miftah’ tadi

“Aku manggil Miftahul Husna”

“Oh..”

Aku menghela malu dan kembali menghadap ke depan, aku lupa jika dalam kelas ada siswi yang namanya sama denganku. Benar-benar memalukan! Aku benar-benar malu.
Dia tak memanggilku, tapi dengan begitu percaya dirinya aku menoleh dan menyahuti, karena itu dia menahan senyum geli, pasti aku sangat lucu menurutnya. Aku menunduk menyembunyikan semu di pipiku,

“Mip!” Nilna duduk di sampingku setelah berkeliling, entah sedang menggosip di bangku belakang atau sedang apa? Aku kaget dibuatnya, aku menoleh, dia memandangku dengan kening berkerut, mungkin dia sudah bisa melihat semu merah di pipiku.

“Darimana aja sih? Keliling mulu…?”

“Kenapa? Kangen ya sama aku?” Begitulah Nilna, dia sangat percaya diri dengan apa yang dikatakannya, tapi itulah yang membuatku merasa kesepian kalau dia tidak masuk sekolah.

“Ada cerita baru?” Aku menghela, lagi-lagi dia menagih bacaan padaku. Apa dia tidak sadar, hampir semua guru mata pelajaran memberi PR dan ulangan, mana sempet aku nulis?

“Mip!”

“Gak sempet Nil….banyak PR tau, ulangan lagi….!”

“Padahal aku nungguin….” Bibirnya mengerucut dengan imut, sungguh aku ingin sekali menariknya, kembali beranjak ke bangku belakang, entah apalagi yg di lakukannya.

Sayup-sayup aku mendengar suara gurauannya yang sedang mengganggu kholil yang sedang menikmati konsernya setelah menggangguku tadi. Kholil, ya… dia yang memanggil ‘Miftahul Husnah’ tadi, aku menoleh sedikit untuk melihat sosoknya. Menempati bangku ketiga di sebelah kiriku, dia sedang tertawa ringan menanggapi candaan Nilna.

Badannya bulat berisi, tinggi badannya juga, mungkin tak lebih tinggi dari tinggi badanku. Itu kesan pertamaku saat pertama kali melihatnya. aku tak pernah melihat dia sebelumnya, di kelas 11 A inilah pertama kali aku melihatnya. saat kelas 10 dia berada di kelas yang berbeda denganku, dia teman baruku. Teman baru yang membuatku mampu untuk bicara pada selain teman dekatku.

11 A, disinilah aku memulai ceritaku, memulai kisah kasihku disekolah, memulai tulisanku tentang kenangan masa putih abu-abuku. Mereka semua ramah, baik hati dan lucu. Mereka memberiku banyak warna dalam hidupku yang hanya memiliki dua warna, hitam dan putih ini. Di kelas ini pula aku megenal apa itu arti persahabatan, apa itu cinta. Mereka yang terbaik.
Kelas kami berada di bagian belakang sekolah, paling belakang, tidak ada bangunan lain setelahnya kecuali pagar pembatas dari tembok. Sekolah kami juga bukan sekolah elit dengan berbagai macam fasilitas, sekolah kami hanyalah sekolah sederhana yang bahkan tak memiliki lapangan basket. Bukan hanya jenjang SMK yang ada disini, jika kalian kesini, kalian akan menemukan jenjang TK, SD, SMP dan SMK. Satu yayasan besar dibawah pondok pesantren, bernama yayasan Babussalam. Meski tak semua murid disini tinggal di pondok, tapi sekolah ini berbasis pondok pesantren, dengan menerapkan aturan-aturan islami.

11 A, jika musim hujan, kelas kami selalu menjadi langganan bocor, jika musim kemarau, selalu menjadi kelas terpanas meski kelas lain juga pasti panas. Tapi semua itu tak berarti apa-apa tanpa penghuni 11 A yang selalu kompak. Seperti saat ini, cuaca sungguh-sungguh panas. Jam kosong bukan lagi hal mengejutkan, dalam satu minggu pasti ada sekitar dua kali kami mengalaminya. Seperti saat ini, karena itu Nilna bisa bebas melanglang buana ke bangku belakang. Seorang guru piket baru saja masuk, menyampaikan kabar bahwa guru mata pelajaran siang ini tak bisa masuk karena ada suatu kepentingan. Selain itu juga, dia memberi kami tugas untuk mengerjakan soal-soal di LKS kami masing-masing.

Hanya segelintir siswa saja yang masih betah mengerjakan tugas tersebut setelah sang guru piket keluar. Dan aku, tentu saja tak masuk dalam kelompok anak-anak rajin itu. Meski terlihat dari jauh aku sedang serius menulis di mejaku dan tak beranjak sama sekali dari bangku ku, sebenarnya aku tak sedang mengerjakan tugasku. Aku sedang menulis. Menulis sebuah kisah fiktif yang bersarang di kepalaku. Aku bukan penulis, aku juga tidak pernah mengirim karya tulisanku pada majalah atau tabloid manapun. Aku hanya senang menulis. Banyak hal yang bisa ku tulis ketika aku berada dalam kelas ini. Kegaduhan kelas 11 A, sama sekali tak membuat otakku tersumbat utuk berhenti menulis. Suara merekalah yang banyak memunculkan ide-ide di kepalaku untuk ku jadikan sebuah tulisan yang minimal bisa menghibur pembacaku. Ah… pembacaku adalah para anggota 11 A grup perempuan. Mereka semua menyukai tulisan sederhanaku yang sebenarnya tak bagus-bagus amat, haha…

11 A, aku sungguh tak tau bagaimana aku akan bisa mendeskripsikannya, bagiku kelas ini adalah kelas terbaik ku selama aku bersekolah, meski kami harus kerepotan mengepel kelas jika hujan turun dan genteng kami bocor, meski panas tak terkira ketika kemarau, meski terisolasi karena letaknya di halaman belakang. 11 A sama sekali tak bisa aku lupakan, banyak kenangan disini, banyak hal menarik yang bisa aku ceritakan nanti ketika aku lulus.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience