Rate

Menikah Siri

Drama Series 2228

Dendam kepada orang-orang kampung dan kagum dengan yang dimiliki Nora. Akhirnya, kuputuskan untuk menerima saran darinya. Kehamilanku saat ini memasuki trimester pertama, lebih tepatnya sekitar enam Minggu. Ada rasa was-was kalau-kalau si calon suami tidak bersedia menikahi wanita hamil sepertiku.

"Rin, nanti kamu jangan bilang kalau lagi hamil, ya?!" pesan Nora sebelum turun dari mobil untuk menemui calon suamiku. Kami sempat berdebat perihal Nora yang melarang memberitahu kehamilanku pada pria asing tersebut. Akan tetapi, dia meyakinkanku bahwa itu tidak masalah, yang akhirnya kuturuti.

Tidak semua pernikahan seperti yang akan kulakukan nanti melalui perjodohan seperti ini. Ada juga di antara mereka yang berpacaran terlebih dahulu. Bahkan, ada yang tidak menikah sama sekali tetapi tinggal serumah alias kumpul kebo. Wanita-wanita yang demikian memiliki alasan sama, yaitu bosan hidup miskin.

"How old are you?" tanya pria tua di hadapanku. Orang-orang di kota ini menyebut lelaki tua seperti dia dengan julukan 'Apek'.

"Seventeen years old, Sir," jawabku menyebutkan usiaku yang sebenarnya. Nora bilang tidak perlu berbohong mengenai usia. Semakin mudah, justru semakin diminati.

"Wow ... you are still a virgin?" tanyanya lagi yang terlihat takjub ketika mengetahui bahwa aku masih 17 tahun. Aku mengangguk ketika dia menanyakan tentang status keperawanan. Lagi-lagi, teringat pada arahan Nora agar mengaku belum pernah melakukan hubungan intim.

Aku tidak tahu apa yang dibisikkan pria tua itu kepada Nora. Hanya saja, keduanya tampak cekikikan setelah saling pandang. Tak lama kemudian, Nora mengajakku menjauh dari meja tempat kami berkumpul. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Mungkin tentang pernikahanku dengan Apek tersebut.

"Rin, Apek itu bilang ... dia mau cobain kamu dulu, gimana?"

Aku terperanjat, hampir memekik tetapi segera dibekap oleh Nora. Ini seperti prostitusi terselubung. Bagaimana mungkin seorang pria berkeinginan mencoba calon istri terlebih dahulu sebelum menikahinya. Walaupun sebelum ini aku pernah melakukan dengan si Bangla tetapi itu jelas berbeda.

"Kamu yang benar dong, Nora! Nanti ketahuan kalau aku ndak perawan, dia ndak jadi nikahin aku," protesku kepada Nora.

"Dia enggak akan tahu kamu perawan atau enggak. Kamu itu udah lama enggak dipakai, ya pasti sempit, lah!"

"Aku enggak mungkin berdarah, aku lagi hamil."

"Eh, katrok! Enggak semua perawan itu harus berdarah."

Nora bersikeras meyakinkanku agar mau menerima persyaratan yang diajukan Apek. Dia memberikan bungkusan plastik kecil yang berisi serbuk. Katanya itu jimat warisan leluhurnya untuk mempersempit. Entahlah, di sini aku seperti kerbau yang dicucuk hidung oleh si pemilik.

Seminggu kemudian, Nora memberi kabar bahwa si Apek akan datang ke kota ini untuk menikahiku. Ternyata, kakek tua itu percaya kalau aku seorang perawan. Lega rasanya, akhirnya bayi yang kukandung saat ini akan memiliki bapak. Akan tetapi, yang paling penting adalah hidupku untuk ke depannya terjamin lahir dan batin. Kaya raya tanpa harus keluar rumah untuk bekerja. Tinggal ngangkang, uang datang.

"Kamu pakai ini, ya?!" pinta Nora kepadaku untuk memakai kebaya warna putih yang baru saja dikeluarkannya dari lemari. Usut punya usut ternyata dulu Nora juga mengenakannya hingga tiga kali. Kuraih kain baju berbahan brokat itu dari tangannya. Beruntung, kami memiliki ukuran tubuh yang sama, sehingga pas di badanku.

Pada pernikahan seperti ini, jangan berharap kemewahan seperti di sinetron, meskipun yang menikahiku adalah pria kaya. Ijab kabul saja diucapkan sekenanya dan asal sah saja, padahal sepertinya tidak. Bagaimana mungkin bisa sah kalau kami memiliki agama yang berbeda. Bapakku juga tidak bertindak sebagai wali, bahkan dia tidak tahu kalau anaknya sedang menikah.

Awal menikah, aku tidak langsung punya rumah atau mobil. Aku bahkan masih menumpang di rumah Nora selama berbulan-bulan lamanya. Jika Apek datang setiap akhir pekan, kami menginap di hotel selama dua hari dua malam. Akan tetapi, tanda-tanda menjadi kaya mulai tampak. Apek Berjanji, jika anak ini lahir, dia akan membelikanku rumah.

Ya, pria tua itu berpikir bahwa anak yang kukandung adalah anaknya. Ia bahkan sangat memanjakanku. Saldo di dalam rekening memiliki jumlah nol yang banyak. Akan tetapi, Nora melarangku menggunakan uang-uang itu.

"Kalau soal makan, kamu sama aku aja. Kecuali kalau mau beli baju atau perlengkapan bayi, tapi kalau beli rumah atau mobil jangan dulu."

Menurutnya, tunggu uang benar-benar cukup baru beli. Kalau hanya bisa bayar DP lebih baik tidak usah. Karena status pernikahan yang tidak kuat, sehingga jika sampai si suami pergi, aku akan kesulitan untuk membayar angsuran. Ujung-ujungnya harus merelakan rumah disita bank dan mobil ditarik. Benar juga saran dari sahabatku itu. Sabar dulu, belum saatnya untuk bermewah-mewahan.

Memasuki trimester terakhir, aku mulai kepayahan. Sudah tak leluasa untuk bergerak. Jika biasanya ke mana-mana sendiri, sekarang harus sering merepotkan Nora. Baik sekali wanita satu ini. Selain mengajari mengemudi, dia juga bersedia menjadi supir di saat-saat seperti ini, bahkan menggunakan kendaraan miliknya. Tidak akan kutemui lagi orang seperti dia di dunia ini.

Nora mengantarku ke hotel, tempat Apek menginap selama dua hari ke depan. Ia memintaku untuk menghubunginya jika terjadi sesuatu pada kandunganku. Akhir-akhir ini memang sering terjadi kontraksi. Tanda-tanda bayi akan segera lahir sudah terasa.

Tengah malam, aku membangunkan Apek yang sudah mendengkur sedari tadi. Perutku terasa sangat sakit tak tertahankan. Mungkin bayi ini akan segera lahir. Pria tua itu tampak panik. Ia memanggil petugas hotel untuk membantunya membawaku ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, aku terus mengerang, rasanya tak sabar untuk segera sampai.

Sejak kembali dari Singapura, aku memang tidak pernah memeriksakan kandungan. Mengkonsumsi obat atau vitamin juga tidak. Akan tetapi, tetap meminum susu ibu hamil dan makan makanan bergizi. Oleh sebab itu, aku sama sekali tidak tahu posisi janin dan jenis kelaminnya. Sampai akhirnya, ternyata dia dalam posisi sungsang, sehingga tidak dapat lahir dengan cara normal, dan harus dilakukan operasi.

Apek menemaniku di ruang operasi. Dia tidak terlihat cemas tetapi mengaku tidak sabar menanti bayi yang diidamkannya. Dia pernah bercerita bahwa istrinya tidak bisa melahirkan anak untuknya. Akan tetapi, mereka mengadopsi anak dari saudara jauh yang sekarang sudah dewasa.

Aku pikir bukan istrinya yang mandul tetapi dia. Laki-laki biasanya se-egois itu. Bertahun-tahun menikah tidak punya keturunan, maka yang disalahkan adalah si wanita. Kemudian, dijadikan alasan untuk selingkuh atau menikah lagi. Lebih buruk lagi jika keluarga dari pihak suami juga turut menuding si istri sebagai akar permasalahan.

"Owe- owe!"

Anak yang dinanti-nanti telah lahir. Akan tetapi, gurat kekecewaan tampak jelas di wajah pria tua itu. Tidak perlu ia jelaskan. Aku sudah tahu apa yang menyebabkan ia begitu marah ketika melihat fisik bayi tersebut. Apa mau dikata, yang sedang ditunggunya selama berbulan-bulan memang bukan darah dagingnya.

Bersambung ....

Istri Akhir Pekan Bagian 3 #Wilhelmina Dendam kepada orang-orang kampung dan kagum dengan yang dimiliki Nora. Akhirnya, kuputuskan untuk menerima saran darinya. Kehamilanku saat ini memasuki trimester pertama, lebih tepatnya sekitar enam Minggu. Ada rasa was-was kalau-kalau si calon suami tidak bersedia menikahi wanita hamil sepertiku. "Rin, nanti kamu jangan bilang kalau lagi hamil, ya?!" pesan Nora sebelum turun dari mobil untuk menemui calon suamiku. Kami sempat berdebat perihal Nora yang melarang memberitahu kehamilanku pada pria asing tersebut. Akan tetapi, dia meyakinkanku bahwa itu tidak masalah, yang akhirnya kuturuti. Tidak semua pernikahan seperti yang akan kulakukan nanti melalui perjodohan seperti ini. Ada juga di antara mereka yang berpacaran terlebih dahulu. Bahkan, ada yang tidak menikah sama sekali tetapi tinggal serumah alias kumpul kebo. Wanita-wanita yang demikian memiliki alasan sama, yaitu bosan hidup miskin. "How old are you?" tanya pria tua di hadapanku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience