Rate

Bukan Nama Sebenarnya

Drama Series 2228

"Dasar lambe turah! Eh, Buk! Enggak usah ngurusin hidup orang kalau hidup sendiri belum bener. Beli sayur di warung masih ngutang aja, sok-sokan!" omelku panjang lebar kepada ibu-ibu gemuk yang tinggal di seberang rumahku.

Bukan tanpa alasan aku datang melabrak istri kuli bangunan itu. Hidupnya yang pas-pasan kadang juga kekurangan membuatnya iri kepada orang, termasuk kepadaku. Bukan diri ini tidak tahu kalau dia sering membicarakan tetangganya ini dengan ibu-ibu komplek.

Bu Tantri, begitu dirinya sering disapa. Sehari-hari kerjaannya hanya ngerumpi sana-sini. Dia memiliki tiga anak yang semua duduk di bangku sekolah berurutan SD, SMP, dan SMA. Awal pindah ke komplek ini ia terbilang baik dan ramah. Sering mengantar hasil olahan dapurnya ke rumahku. Akan tetapi, lama-kelamaan dia mulai menyebalkan.

Berawal dari sering pinjam uang yang jumlahnya hanya beberapa ratus ribu. Karena merasa sungkan, aku pun selalu memberikan pinjaman. Namun, ia kerap mengulur-ulur waktu untuk mengembalikan. Terkadang, dia pura-pura lupa dan harus ditagih. Terakhir, Bu Tantri memiliki hutang kepadaku sebesar dua juta rupiah. Alasannya untuk mendaftar sekolah si bungsu yang waktu itu masuk sekolah dasar. Janjinya akan dibayar dicicil empat kali setiap bulan. Akan tetapi, sudah setahun berlalu, sekalipun belum pernah diangsur.

Kesal merasa diremehkan, aku pun menagih hutang tersebut. Sopan sudah pasti, aku bahkan membawakan oleh-oleh dari kampung, untuk dia dan keluarganya. Alih-alih memberi alasan mengapa belum juga membayar hutang, Bu Tantri justru marah-marah dan memanggil suaminya untuk membelanya.

Setelah itu beredar kabar dari mulut tetangga yang menyebut aku orang yang tidak punya rasa empati. Mungkin itu sebabnya ibu-ibu di warung memasang muka sinis saat aku berbelanja di tempat itu. Menurut Wak Odah, si pemilik warung. Bu Tantri pernah nangis-nangis di situ karena ditagih hutang olehku, sementara ia baru saja mendapat musibah, anak sulungnya kecelakaan dan baru saja selesai dioperasi di bagian kaki.

"Dasar wong gendeng!" cetusku spontan ketika mendengar penjelasan Wak Odah. "Wak, mana aku tahu anaknya kecelakaan, dia juga enggak cerita, kok. Lagian, aku baru balik dari kampung. Emang tu orang enggak punya otak," omelku penuh emosi kepada Bu Tantri yang sejatinya tidak berada di hadapanku.

Sejak saat itu, hubunganku dengan keluarga Bu Tantri kisruh. Kami tidak lagi bertegur sapa. Hutangnya juga sampai sekarang tidak dibayarnya. Dendamnya tidak berakhir begitu saja. Ia kerap memata-matai apa saja dan siapa saja, yang datang dan terjadi di rumahku. Tentunya akan dia jadikan sebagai bahan bergosip ria dengan tetangga yang lain.

Puncaknya adalah kemarin malam. Saat suamiku datang berkunjung. Tepat pada pukul 11.00 Pak RT dan beberapa warga menggerebek rumahku. Ada yang bilang bahwa ada aktivitas mencurigakan berbau zina di tempat ini.

"Ada apa ya, Pak?" tanyaku kepada Pak RT yang memimpin para warga.

"Maaf, Mbak Arini. Menurut laporan warga, ada laki-laki yang menginap di rumah Mbak Arini. Kenapa tidak melapor dulu pada saya?"

Aku mengelak tuduhan Pak RT, bahwa benar ada pria menginap di rumah ini, seperti laporan warga. Namun, mereka tidak percaya dan meminta izin untuk menggeledah semua ruangan. Kubuka lebar-lebar dua daun pintu setinggi tiga meter itu.

"Monggo! Silakan digeledah kalau sampean-sampean enggak percaya!" ucapku lantang, menantang Pak RT dan yang lainnya.

Nihil, tidak ada orang lain selain aku dan Kareena, anak perempunku, di rumah ini. Pak RT dan yang lain meminta maaf karena telah mengganggu. Mereka pun akhirnya ngacir tanpa hasil.

"Dad! You can go out now ...," seruku pada pria bule yang tengah bersembunyi di dalam lemari pakaian.

Keesokan harinya, saat aku pergi ke warung Wak Odah. Seperti biasa, pemilik warung itu selalu memberiku informasi tentang orang-orang yang suka sekali mengusik hidupku. Tentunya tidak gratis, aku harus membayarnya dengan keramahtamahan serta membiarkan dia mengambil kembalian saat berbelanja.

Benar dugaanku, sesuai dengan informasi Wak Odah, Bu Tantri lah yang melapor, sehingga terjadilah penggerebekan itu. Dia pasti hendak membuatku malu jika pria bule itu tertangkap basah oleh Pak RT dan warga. Setelah membayar lebih belanjaan, aku bergegas mendatangi rumah Bu Tantri untuk melabraknya.

"Heleh, emang dasarnya kamu itu lonte. Ngaku saja, enggak usah ditutup-tutupi, semua orang juga sudah tahu," cerocos Bu Tantri.

Kujejalkan segenggam cabai setan, yang baru saja kubeli di warung Wak Odah, ke dalam mulut wanita gemuk itu. Kemudian, aksi saling jambak tak terelakkan lagi. Tak lama kemudian, para warga yang mendengar keributan itu datang melerai.

"Awas, kamu ya, Bu! Kusantet mampus kamu sekeluarga!" ancamku kepada Bu Tantri ketika beberapa warga memegangi tanganku dan menyeretku menjauh dari wanita itu.

Arini, bukan nama asliku. Namaku sebenarnya Sumarni. Karena terlalu kampungan aku malu memakainya meskipun itu pemberian dari orang tua. 17 tahun yang lalu aku adalah pelajar SMP yang terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya. Orang tua menyuruh anaknya ini menjadi tenaga kerja wanita ke luar negeri, tepatnya di Singapura. Dulu, proses surat-menyurat masih terbilang mudah, termasuk memalsukan dokumen. Usia yang belum cukup, bisa diubah, dan paspor juga belum biometrik seperti sekarang ini. Alhasil, semua berjalan lancar tanpa kendala ketika remaja belasan tahun mengaku sebagai wanita dewasa, demi bisa bekerja di negeri orang.

Setahun bekerja di Singapura, aku terjerumus pergaulan bebas, karena majikan tempatku bekerja tidak membatasi ruang gerak pembantunya. Aku memiliki libur setiap hari Minggu. Dari situlah, petaka itu dimulai.

Aku berkenalan dengan seorang Bangla. Pria tampan berkulit eksotis dan berbulu dada lebat menggairahkan. Dia sangat baik, sering memberiku hadiah juga uang untuk membeli pakaian. Telepon genggam yang waktu itu terbilang benda mewah bisa kumiliki, tentu saja bukan dari upah menjadi pembantu, melainkan dari kedermawanan si Bangla.

Awalnya, dia sangat sopan dan menghargai wanita. Akan tetapi, setelah beberapa bulan, ia mulai meminta lebih dari sekadar gandengan dan pelukan. Aku yang masih belia dan labil akhirnya terbuai. Setiap bertemu, ia mengajakku tidur di hotel untuk melakukan hubungan suami-istri.

Pada bulan ke 22 yang mana kontrak kerjaku akan berakhir. Majikanku mengembalikan pembantunya ini ke agen penyalur tenaga kerja karena diketahui telah mengandung. Berkali-kali aku mencoba menghubungi pria Bangla itu, tetapi nomor telepon yang biasa digunakan tidak aktif lagi. Akhirnya, mereka memulangkanku ke kampung halaman.

Remuk hati orang tuaku ketika mengetahui anak perempuannya telah mengandung janin hasil perzinahan. Bapak marah besar hingga memukuliku, sedangkan Ibu berkali-kali pingsan. Belum lagi, harus menghadapi gunjingan para tetangga. Bingung dan takut berkecamuk menjadi satu. Lengkap sudah penderitaanku waktu itu.

Bersambung

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience