Rate

BAB 2

Horror & Thriller Completed 200

“Eh… enggak-enggak, kita sahabatan,” Hazel mengatakannya dengan wajah serius.
“Hehe, maaf, kalian deket banget sih,” Sebenarnya itu ketawa garing.
“Kita udah lama sahabatan.” Fany menambahkan.

“Han, rumahmu ke arah mana?” Hazel bertanya sembari menambah kecepatan mobilnya. Aku pun menunjukkan arahnya. Beberapa menit setelah itu, akhirnya aku sudah boleh merebahkan tubuhku di bilik yang baru seminggu ini ku tempati. Hari ini begitu menyenangkan, dua orang teman baru yang ramah, dan teman-teman sekelas yang cuek. Ya, aku menyukai teman-teman sekelas yang cuek, kerana aku tidak terlalu suka bersosialisasi. Aku melihat ke kanan dan kiri jalan, mengharap sebuah taksi lewat. Pukul 6.30, aku boleh terlambat lagi di hari kedua ku.

“Tin, tin…” Sebuah mobil yang ku rasa tidak terlalu asing berhenti di depanku. Tentu saja, itu mobil silver yang kemarin mengantarku pulang. Dan sudah pasti itu adalah Hazel.
“Pagi Lydia ,” Tanpa lupa dia melemparkan senyum manis kepadaku.
“Pagi Hazel,” Aku memberinya senyum yang tak kalah manis.
“Nungguin taksi?”
“Iya.”
“Bareng aku aja yuk!”
“Enggak deh Zel, makasih. Nanti kalau pacarmu tahu boleh marah lagi,”
“Gak lah, aku gak punya pacar. Udah deh bareng aja, nanti telat loh.” Aku tidak mau telat lagi, jadi ya sudahlah lebih baik aku berangkat bersama Hazel.

“Kamu udah punya kelompok buat mapel Seni Budaya nanti?” Tiba-tiba Hazel melontarkan sebuah pertanyaan.
“Belum. Ini kan hari keduaku,” Aku menoleh ke arah Hazel dan secara tidak sengaja mata kami bertemu. Waktu terasa berhenti seketika. Jantungku melonjak-lonjak tidak keruan. Ku alihkan pandangan dan berharap agar pipiku tidak memerah.
“Kamu ikut di kelompokku aja, kebetulan kurang satu orang,”
“Boleh deh. Fany kelompokmu juga kan?”
“Enggak, kenapa emangnya?” Salah satu alisnya naik. Dia benar-benar pintar membuatku terpesona. Aku hanya menggeleng. Pagi ini moodku sangat sempurna. Terima kasih Hazel.

Bel sekolah berbunyi, tandanya jam pertama dimulai. Jam pertama mapel Seni Budaya.
“Han, kamu udah punya kelompok?” Fany bertanya dengan sebuah senyuman.
“Dia kelompokku Fan,” Dari belakang Fany, Hazel menjawab.
“Lah! Bukannya kemarin katamu anggota kelompokmu udah pas ya?” Air muka Fany terlihat bingung dan sedikit jengkel.
“Hehe, maaf Fan, temen-temen mau ngajak Lydia soalnya,” Wajah Fany langsung datar dan mata sipitnya menatap Hazel tajam. Mengerikan juga anak ini.
“Gini deh sebagai permintaan maaf, nanti aku traktir di kamu kantin,” Nadanya terdengar menyesal, entah menyesal kerana telah membohongi Fany, atau menyesal kerana ia harus mentraktir Fany. Tapi Fany tetap diam dan datar.
“Ya udah aku sama Lydia ke kelompok kita dulu. Ayo Han.” Hazel mengelus rambut Fany dengan lembut, benar-benar sahabat yang lebih pantas disebut pacar.

Tangannya turun dari kepala Fany lalu meraih tanganku, otomatis kami bergandengan tangan. Perasaanku menjadi tak keruan. Mungkinkah aku punya perasaan untuk Hazel? Tapi baru 2 hari aku mengenalnya. Aku benar-benar tidak dapat berkata apa-apa. Aku harap perasaan ini akan segera hilang. Tiga bulan sudah aku bersahabat dengan Fany dan Hazel. Hari ini kita bertiga akan pergi ke toko buku. Rupanya aku datang terlambat, ku lihat Fany dan Hazel sudah mencari-cari buku duluan. Segera ku hampiri mereka.

“Maaf ya telat,” Mereka berdua kompak menoleh ke arahku.
“Santai aja Han, kita berdua juga baru sampai kok.” Fany menyatakannya dengan mengembangkan sebuah senyum.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah mereka, lalu saat Fany kembali mencari buku, Hazel menggenggam tanganku. Kami bergandengan tangan di belakang Fany. Ya, aku dan Hazel memang sedang dekat, lebih dari sahabat. Tapi aku tahu Fany juga memiliki perasaan untuk Hazel, jadi lebih baik jika dia tidak tahu tentang kedekatan ini. Akhir-akhir ini Hazel dan Fany seperti menjauhiku. Entah rahasia apa yang mereka sembunyikan dariku, yang jelas Hazel lebih dan lebih perhatian kepada Fany. Semoga itu bukan kerana hal yang aku takutkan, dan hal yang aku takutkan adalah mereka berpacaran. Tapi ku lihat hari ini Hazel tidak pulang dengan Fany, lalu seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku tersenyum.

“Ada apa Fan?”
“Han, boleh ngomong sebentar?” Untuk sedetik aku berfikir .
“Boleh,” Fany menyeretku ke bilik mandi perempuan.
“Apa serahasia itu sampai-sampai harus di sini?” Sebelah alisku naik.
“Ya,” Bibirnya melengkung membentuk seringaian.
“Kau tahu? Aku tahu sebuah rahasia.” Dia melanjutkan.

“Rahasia?” Aku memincingkan sebelah mataku. Mungkin ini rahasia yang disembunyikan Hazel dan Fany.
“Ya, sebuah rahasia yang, yah boleh dikatakan menjijikkan,”
“Hah?” Aku terperangah.
“Aku tahu rahasia tentang seorang sahabatku dan seorang hama pengganggu yang rupanya saling mencintai,” Apa maksudnya dengan hama pangganggu?
“Tapi sayangnya dia tidak beruntung hari ini. Mungkin sahabatku atau lebih tepatnya calon pacarku akan sedikit kehilangan dia,” Dia menarik tangan kiriku. Mencengkeramnya dengan sangat kuat hingga kukunya terasa menancap di kulitku.

“Ah… apa yang kau lakukan Fan?” Aku menatapnya di balik genangan air di mataku.
“Kau hanya pengganggu hubunganku dengan Hazel!! Dan sebaiknya kau pergi!!” Seringaiannya semakin mengerikan dan tangannya yang bebas merogoh tasnya, beberapa detik kemudian dia mengeluarkan sebuah pisau dapur yang tidak terlalu besar tapi sangat mengkilap dan rupanya sangat tajam. Dengan gerakkan yang sangat cepat dia menggores-goreskan pisau itu ke wajahku dan merobek pergelangan tanganku sehingga memutuskan urat nadiku.

“Ah….” Aku berteriak lemah dan pasrah.

Sangat perih. Aku sama sekali tidak boleh mengelak. Lalu tubuhku ambruk ke depan. Rasanya jiwaku melayang meninggalkan tubuhku. Anehnya aku masih boleh melihat jasadku tergeletak di lantai bilik mandi dan sekarang perih yang di ada di tangan dan wajahku berpindah dengan cepat ke hatiku. Lalu Fany memegangkan pisau dapur itu ke tangan kananku. Dan ku lihat dia mengelap gagang bekas tangannya dengan tisu. Sangat cerdik. Patut diacungi 10 jempol ku rasa. Pertanyaanku sekarang hanya satu, apakah Fany sering membunuh orang? Kerana pekerjaannya sangat rapi saat membunuhku.

Sangat miris melihat orang yang ku anggap sahabat ternyata tega membunuhku hanya kerana ‘cemburu’. Seminggu aku terjebak di dunia dengan wajah mengerikan berlumuran darah. Dan hanya boleh menangis. Fany masih memainkan perannya di dalam drama yang didalanginya sendiri, sementara semua orang mengira aku depresi dan bunuh diri. Aku melamun di dalam kelas, tanpa ada yang boleh melihatku tentunya. Sebenarnya aku boleh saja membuat Hazel boleh melihatku, tapi aku tidak tega. “Aku harus balas dendam,” Mulut hantuku berbicara.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience