Rate

BAB 1

Fantasy Completed 137

“Reimy , Kita tinggal di dunia dimensi tiga, Aku, kamu, binatang, tumbuhan dan masih banyak lagi. Alam semesta kita terdiri dari berbagai macam dimensi. Empat, lima atau enam, entahlah..” Aku sejenak merebahkan badan di atas rumput, lalu menarik ranselku untuk dijadikan bantal. Suasana di taman belakang rumahku menjadi hening. Hanya sepoi angin malam yang berlalu lalang di depan kami berdua. Sepi tapi tenang.

Reimy diam saja, dirinya lebih memilih untuk berpikir dahulu, daripada mengucapkan pendapat asal.” Hmm.. Jangan kau cerita padaku soal begituan. Aku bukan dukun atau ahli agama, lagian itu kan urusan sang pencipta, gak usahlah diperdebatkan. Gak akan nyampe logika kita.”
“Bukan maksudku untuk lancang membahas hal yang tidak pantas kita ketahui, tapi..” Air mataku mulai beranjak bangun dari matras kecilnya.
“Tapi kenapa?”
“Aku merindukan pria itu.”
“Atok kau ke?” Reimy memandangku.
Aku mengangguk,” Baru setahun atok pergi, dunia terasa berbeda. Aku rindu ketika dia bercerita tentang banyak hal, impian, juga harapan. Aku memang paling dekat dengannya, bahkan boleh dikatakan, kami berdua seperti ayah dan anak saja.” Aku menyeka air mataku.
“Sudahlah Jean, manusia tidak ada yang abadi, semua pasti mati. Sekarang, tinggal usaha kita untuk mempersiapkan amalan yang cukup sebelum menghadap-NYA.”
“Aku tahu itu.”. Senyumku mengembang.
“Kalau kamu mau, besok akan kuantar kau ke Bogor, ke rumah atok mu, kita ziarah membawa oleh-oleh untuknya”
“Maksudmu?”
“Atok mu tidak ingin dilupakan Jean. Kita oleh-olehnya”. Reimy tersenyum memandangku, sekilas mataku dan matanya berpandangan. Dapat kulihat bola matanya yang coklat terang, memancarkan rasa kemisteriusan yang amat dalam. Tetapi melegakan bagiku.

Subuh ini, sebelum si jago keluar dari tempat tidurnya, kami berdua berangkat. Membawa perasaan Rindu yang tidak biasa, antara dimensi ketiga dan dimensi kelima. Sudah kubilang tadi bahwa aku dan atok dulu dekat sekali. Atok adalah seorang guru yang baru pensiun. Ia mengajar di sebuah sekolah dasar di kampungnya. Atok u terkenal ramah dan selalu menebar senyum kepada setiap orang yang ditemuinya. Tetapi sikap atok yang pendiam, membuatnya kurang bergaul dengan orang-orang desa. Atok lebih memilih menghabiskan waktunya untuk mengurung diri membaca buku di depan perapian yang hangat. Yang aku suka adalah koleksi buku yang banyak sekali. Aku menerka-nerka kalau jumlahnya sampai 3000 buku. Sastra, seni, cerita, novel, semua jenis buku telah tinggal di rak bukunya yang sudah mulai rapuh itu. Atok pernah bilang padaku, kalau ia sangat mencintai buku-bukunya. Bahkan sempat menjadi istri keduanya setelah nenek meninggal.

Rumah atok sekarang dijaga oleh mang Aidil , yang dulu bekerja sebagai tukang kebun di rumahnya. Mang Aidil berbadan besar, berambut gondrong, kedipan matanya yang menantang, menyurutkan nyali setiap orang yang berbicara dengannya. Aku agak kurang suka dengannya. Sebagai pencinta keramahan, aku sangat anti kemarahan, kebengisan dan sejawatnya. Aku juga tidak sepenuhnya benar. Prinsipku meyakinkan untuk tidak menilai orang dari penampilannya.

Akhirnya kami sampai juga di rumah Atok . Rumah berlantai kayu itu sangat kurindukan, imajinasiku memutar balik ke masa lampau ketika atok dan nenek masih hidup di sini. Ketika mereka berdua duduk-duduk di teras setiap sore. Sangat tentram suasananya. Namun seiring waktu mereka menjadi semakin tua dan mulai lemah. Akhirnya berpulang di panggil Tuhan. Sungguh aku tak sempat menemani atok di malam terakhirnya. Yang kurasakan hanya kegelisahan yang tak berujung hari itu. Seperti ada gelombang yang menerjang segala keresahan di dadaku.

Aku dan Reimy bergegas keluar dari mobil menuju teras untuk sekedar duduk-duduk santai menunggu si penjaga rumah membukakan pintu. Matahari sebentar lagi turun ke pangkuannya. Senja semakin dekat. Angin gunung begitu dingin merasuk ke baju, badan kemudian tulang.

“Neng Jean sudah dari kapan disini?”. Tiba-tiba mang Aidil muncul dari belakang rumah. Suaranya terdengar tidak seperti biasanya, ada sedikit kegugupan yang aku lihat darinya. Matanya yang nampak merah, dengan nafas yang tersengal-sengal. Keringatnya bercucuran, seraya berjalan gontai menuju kami.
“Baru saja. Oh iya, tolong bukakan pintunya mang”
“Baik neng” Mang Aidil mengambil kunci dari sakunya, kemudian membuka pintu rumah atok yang sudah rusak terkelupas lebar.

Aku dan Reimy masuk ke dalam secara bersamaan. Mang Aidil pergi ke arah dapur untuk membuatkan minuman. Kami berdua duduk di kursi tamu yang terbuat dari rotan. Mata kami saling mengawasi keadaan rumah ini. Sangat kotor, seperti gudang yang tidak terurus. Aku mendengus kesal, kerana mang Aidil tidak becus menjaga rumah atok . Padahal uang bulanan selalu ku kirim dengan rutin. Kalau di suruh memilih, aku ingin tinggal di rumah ini, untuk merawatnya. Siapa yang tidak mau tinggal di kawasan daerah pegunungan yang masih asri ini. Masih terikat dengan dunia perkuliahan. itulah alasanku untuk tidak tinggal disini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience