Rate

BAB 1

Drama Completed 260

“Tak ada yang perlu ditangisi” Kata Tulus sambil menghapus air mataku. Aku tak mungkin semudah itu bisa melepaskan kepergiannya begitu saja. Sosok yang sudah kucintai selama dua tahun itu akan segera pergi ke luar negeri untuk meninggalkanku, meskipun aku tau dia disana untuk kepentingan orangtuanya namun aku tak mungkin melepaskannya begitu saja. Ini terlalu berat untukku, aku bukanlah wanita yang setegar batu karang yang mampu menerjang ombak sendirian. “Tapi aku tak mungkin bisa jika kamu tak di sampingku” jawabku sambil terus meneteskan air mata. “aku yakin kamu bisa melewati hari hari tanpa aku, aku tau kamu kuat” Ucap Tulus menyemangatiku. Kemudian aku menggenggam tangan Tulus dan menatap wajah yang akan meninggalkanku itu. “Aku kuat jika ada kamu”. Tapi Tulus hanya tersenyum menatapku seakan ingin membuatku merasa lebih tenang, tapi aku tak bisa menutupi semuanya bahwa aku tak menginginkannya pergi meski itu hanya sementara.
“Aku janji aku akan kembali untukmu”. Aku hanya bisa diam dan sejenak untuk membuat diriku merasa lebih lega atas perkataannya itu. “Janji” ucapku penuh harap namun dia hanya tersenyum namun aku juga melihat kesedihan di raut wajahnya seperti Ia tak mungkin menepati janjinya. Namun aku mencoba untuk berusaha melepasnya dan memegang perkataannya. “Mungkin ini saatnya aku akan pergi, simpan ini baik-baik ya” Ucap Tulus seraya memberiku sebuah bungkusan berpita ungu itu. “Ini apa?” tanyaku. “Kamu hanya boleh membukanya ketika aku pergi”. Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Sebelum Tulus pergi Ia memelukku sejenak aku menangis dalam pelukannya, aku tak menyukai perpisahan aku benci itu. Mengapa harus ada perpisahan di setiap pertemuan? bukankah itu meyakitkan? aku terus bertanya dalam hati, setelah memelukku Ia kembali ke rumahnya dan bersiap untuk berangkat besok.

Keesokan harinya aku mengantarkannya untuk ke bandara untuk melepaskan kepergiannya. “Hati hati disana sayang, jaga cintamu untukku” ucapku kepada pria yang sangat kucintai itu. “Jangan khawatir hati ini hanya untukmu” kata Tulus meyakinkanku. Kemudian dia pergi meninggalkanku sendiri. Dalam hati aku hanya bisa bersabar menunggunya kembali dan mencoba untuk percaya terhadapnya.

Sekembalinya aku di rumah aku segera meraih bungkusan berpita ungu dari sudut mejaku, aku membukanya perlahan lahan. Aku menemukan sebuah surat dan buku diary ungu. Kemudian aku membuka surat itu perlahan dan membacanya kata demi kata.

“Jika waktu dapat ku ubah, aku akan merubahnya disaat pertama bertemu denganmu karena disaat itulah aku merasakan bahwa aku tak akan menjauh darimu. Tapi aku percaya Tuhan selalu mempunyai rencana indah dis etiap cerita kehidupan. Jangan pernah menteskan air mata lagi karena itu hanya menghanyutkan kecantikanmu. Aku ingin suatu saat nanti aku bisa berjumpa denganmu meskipun aku tak tau itu kapan. Maafkan aku tidak bisa sepenuhnya berjanji padamu tapi aku akan melakukan semampu yang kubisa, aku memberimu buku diary itu agar kamu bisa mencurahkan perasaanmu padaku lewat diary itu. Anggaplah diary itu adalah aku, aku yang selalu mendengarkan segala keluh kesahmu. Lupakan kesedihanmu dan tersenyumlah untukku”

Aku hanya bisa terdiam dan terpaku pada deretan kata di atas selembar kertas putih itu. Mungkin aku harus berusaha tegar untuknya, aku tak boleh terlarut dalam kepergiannya karena aku yakin pasti itu hanya sementara. Mulai hari itu aku berusaha untuk menjadi wanita kuat meskipun tak ada yang menemani. Namun terkadang di sekolah aku sempat iri dengan teman temanku yang memiliki pasangan. “Huft, bahagianya mereka dapat selalu bersama” Gumamku. Sebisa mungkin aku menghindar dari pasangan pasangan yang membuatku merasa iri dan merindukan kekasihku.

Jam sudah menunjukan pukul 14.00 dan bel sekolah sudah berbunyi tiga kali yang menandakan pulan. Aku berjalan ke depan dan mengambil posisi duduk yang menurutku enak untuk menunggu jemputanku tiba. Tiba tiba sesosok cowok keren bertubuh tegap menghampiriku dan duduk di sebelahku, aku sempat merasa risih dengannya tapi aku berusaha untuk membuat suasana seperti biasa. “sendirian aja?” tanyanya padaku. Namanya Rendi, dia adalah cowok populer di sekolahku banyak cewek di sekolahku yang mengaguminya entah apa yang dikagumi tapi yang ku tahu dia adalah cowok play boy yang kubenci.
“Iya” jawabku singkat. “Mau aku anter?” katanya menawarkan diri. Dalam hati aku tak percaya cowok seperti dia mau mengantarku pulang, mungkin itu hanya akal akalannya saja untuk memperoleh simpati terhadapku karena banyak kabar yang aku dengar bahwa dia selalu ingin memperoleh simpati terhadap setiap wanita incarannya untuk meluluhkan hati mereka, tapi bagiku itu cara kuno. “enggak, makasih” jawabku cuek. “kok cuek banget sih jawabnya?” katanya memelas. Aku hanya diam dan terus terusan memperhatikan jam tanganku, aku mulai risih dengannya tapi aku rasa Tuhan baik terhadapku sehingga sopirku tak lama datang menjemputku. “Hmm, kapan kapan ngobrol lagi ya, jemputanku udah dateng tuh” sahutku seraya bergegas pergi meninggalkannya. “Huft, selamet deh dari cowok itu” gumamku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience