Rate

BAB 2

Drama Completed 339

Namun tidak seperti biasanya, sahabat-sahabat Rensara menemukan sesuatu yang aneh di dalam perjalanan kali ini. Rensara tidak lagi seperti dulu. Langkahnya semakin perlahan, bahkan beberapa kali terjatuh seakan gagal mengimbang tubuhnya. Wajah Rensara pucat dan terlihat amat lelah. Sudah tiada lukisan cerian di wajahnya yang pasti menceriakan suasana.

“Hati-hati Rensara !” pekik Febi yang berjalan di belakang Rensara .
“Aku tidak papa…”
“Apa kau kelelahan? sebaiknya kita istirahat dulu.”
“Iya… mungkin aku butuh istirahat sebentar.”

Vincent yang sejak awal berjalan di samping Rensara memapah Rensara menepi dan membantunya duduk di bawah sebuah pohon maoni yang cukup besar. Ia mengeluarkan sebotol air minum dari dalam tasnya dan memberikannya pada Rensara .
Sahabat-sahabat Rensara duduk di kanan kiri mengelilinginya. Mereka semua panik namun juga hairan . Rensara yang dulu paling bersemangat dalam urusan berjalan sekarang tak berdaya. Masih teringat jelas dalam memory mereka bagaimana Rensara yang kalem dan pendiam berubah menjadi periang dan tidak boleh diam jika sudah berjalan bersama seperti sekarang. Kebiasaannya jail di jalan, mendorong atau menarik tangan sahabatnya jika ada yang tidak semangat atau mulai lelah sambil meneriakkan kata-kata iseng yang berujung membuat ia dikejar-kejar sambil dipukul buku. Atau hobi absurdnya memakan tumbuhan atau buah aneh yang ditemukannya di jalan, lalu memaksa anak lain memakannya. Awalnya itu menjengkelkan, tapi lama-kelamaan membuat yang lain ketagihan. Sehingga mereka menjuluki Rensara ‘GADIS HUTAN’. Pula dengan mottonya ‘JAIL ITU ASIK’ yang selalu membuat sahabat-sahabatnya hipertensi dadakan. Itulah hal-hal yang mereka rindukan dari diri Rensara . Tapi sekarang, ada apa sebenarnya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak mereka masing-masing. Akhirnya Nia mencoba bertanya,
“Rensara , apa kau sedang sakit?”
Rensara menjawab dengan tersenyum, namun air mukanya tidak dapat berbohong jika ia menyembunyikan sesuatu. Teman-temannya tahu itu.
“Aku tidak papa teman-teman. Maaf membuat kalian risau .”
“Apa tidak lebih baik kita kembali saja? Perjalanannya belum terlalu jauh.”
“Tidak. Aku ingin sampai di sana sebelum siang, boleh , kan?”
“Kau yakin akan melanjutkan perjalanan ini?”
“Tentu. Bukankah dulu kita selalu sampai?” ia tersenyum dan melihat kakaknya. Vincent yang telah mengerti dengan baik keadaan diri Rensara tersenyum menyambut pandangan Rensara jatuh ke arahnya. Namun Rensara jelas melihat mata Vincent yang memancarkan nada risau yang amat. Ia mengangguk memberikan isyarat pada kakaknya bahwa ia akan baik-baik saja.

Desah nafas yang sesak dan pegal yang menggigit kaki mereka seolah terbang bersama angin ketika matahari memuncak bedug doa berkumandang. Alam yang tersenyum membayar lelah mereka berjalan setapak demi setapak merangkul kebersamaan yang hangat.
“Inilah persahabatan!! Inilah kebahagiaan!!”
“Wonderfull!!”
“Amazing!!!”
“Marvelous!!!” sorak sorai anak remaja yang merasa menang menemukan tujuan perjalanan panjangnya terdengar begitu riuh di telinga Rensara . Ia tersenyum dalam rengkuhan rasa sakit yang memeluknya begitu erat. Wajahnya pias, nafasnya tersengal. Pucuk-pucuk pinus yang menari dengan lincahnya, teriring senandung merdu alunan daun-daun pohon tertiup angin. Gemuruh air-air jernih yang berkejaran jatuh dari atas tebing di bukit seberang terlihat di kanan kiri dari bukit ini. Di bawah sana, jalan-jalan desa yang nampak seperti garis-garis kaligrafi berlatarkan sawah yang tersiram tumpahnya padi yang mulai menguning menjadi lukisan alam yang begitu asri sepanjang mata memandang.

Rensara duduk di bawah sebuah pohon pinus di bibir jurang. Vincent mengikutinya duduk di samping kanan. Sementara sahabat-sahabat Rensara yang lain sibuk dengan gaya dan kameranya sendiri-sendiri. Rensara menatap jauh ke arah hamparan hijau yang menyelimuti pertiwi. Ia tersenyum dan mengucap,
“Kakak… di sinilah aku menemukan kebahagiaanku. Karna semua ini, aku berjalan ke sini. Bukan tempatnya, tapi seluruh pelajaran yang terselip dalam setiap perjalanannya.” Vincent hanya tersenyum, ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun kerana ia tak ingin membuat kristal-kristal lembut yang tengah bermain di bola mata Rensara jatuh kerana ia mengucapkan kata yang salah.

Udara pegunungan yang sejuk menyeka kulit. Di saat yang sama Vincent merasa, kata-kata yang keluar dari bibir mungil adiknya lebih sejuk dari angin yang menyapu dirinya. Ketika Rensara berucap:
“Setiap ingin tercipta dari sebuah ke-tidakmiliki-an yang menjelma menjadi satu motif yang mendorong manusia berbuat agar ke-tidakmiliki-an itu dapat ia miliki. Namun Tuhan menciptakan manusia dengan ke-tidaksama-an yang abadi. Satu manusia tidak akan boleh menjadi manusia lain. Dengan se-sama-nya, tetap kesamaan itu akan berbeza . Kerana setiap manusia terlahir dengan semua yang tidak dimiliki manusia lain. Satu yang harus kita tahu, Tuhan menitipkan kekuatan di setiap kelemahan. Menitipkan kelebihan di setiap kekurangan. Menjanjikan harapan dalam setiap keputus asaan. Pergunakan kelebihan itu untuk menutup kekurangan kita, dan jika kau berhasil, mungkin kau akan merasa… betapa sempurnanya dirimu”

Rensara tertunduk selepas mengucapkan kata-kata itu. Matanya melihat sekumpulan bunga pinus berserakan di lereng jurang. Ia bangkit dan berjalan tertatih ke arah bunga itu. Merangkak menuruni lereng. Dengan susah payah diraihnya kemudian berjalan kembali pada kakaknya membawa segenggam bunga pinus. Ia duduk dan mengulurkan sebuah bunga pada kakaknya.

“Ini bunga abadi, Kak… satu bunga yang takkan pernah layu sampai kapan pun. InsyaAllah… aku mengambilnya dengan tanganku sendiri, dan memberikannya pada kakak juga dengan tangan ku sendiri. Aku ingin masa-masa ini, persahabatan ini, dan juga kasih sayang ini, abadi seperti bunga ini … ?”
Vincent terdiam mendengar kata-kata yang begitu dalam lepas dari bibir Rensara . Ia memeluk adiknya dan berkata, “Pasti Rensara …”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience