Rate

BAB 1

Drama Completed 339

Mentari merangkak naik perlahan saat seorang gadis mengintipnya dari balik jendela. Matanya yang sayu menyimpan setangkup kerinduan akan cerita yang memang telah lama tak diperankannya bersama sahabat-sahabatnya. Berhari-hari terbaring di ranjang dengan seonggok rasa sakit yang digelutinya membuat gadis itu tak sabar menanti kedatangan seorang kakak yang berjanji akan menjemputnya pagi ini. Rensara ra, ialah nama gadis itu. Gadis yang terlahir dengan rupa ayu dan pendiam ini amat menyayangi sahabat-sahabtnya, terlebih sahabat yang menemaninya menganyam ilmu di bangku SMP dulu.

Rensara tersentak kaget saat mendapati sebuah tangan yang dingin menepuk pundaknya.
“Kakak, membuat kaget saja.” Ia memalingkan wajah ke arah kakaknya sembari tersenyum.
“Udah siap kan?” Tanya sang kakak. Rensara mengangguk tanpa melepas senyumnya. Senyum yang telah sekian lama bermain dari bibir mungilnya. Senyum yang amat dirindukan kakaknya. Seolah ternaung keteduhan, Vincent terdiam melihat senyum sejuk Rensara membasuh kerinduannya. Jika saja boleh ia ingin melihat senyum itu lebih lama. Kalau saja mampu ia ingin senyum itu terjerat di wajah Rensara untuk selamanya. Itulah hal yang paling Vincent inginkan untuk waktu kemarin, sekarang, sampai seterusnya.

Usai memakaikan sweater biru muda adiknya, Vincent mengajak Rensara berpamitan pada ibu. Ibu terdiam saat Rensara mencium tangannya dan berkata,
“Kami pamit, Bu…” Ada rasa tak tenang saat kalimat itu singgah di telinganya. Ibu menggeleng pelan mencoba menepis netthinknya dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Tangan kiri ibu terulur membelai lembut rambut panjang Rensara . Tak sampai hati ia mengizinkan puteri nya pergi, tapi ia jauh lebih tidak boleh jika harus merenggut senyum itu dari wajah puteri nya. Senyum yang telah sekian lama raib. Lagi, ibu menghela nafas dalam menahan air mata yang memaksa keluar dari balik kantung matanya. Dengan berat ia berkata,
“Hati-hati, Nak. Turuti nasihat kakakmu…”
“Iya Bu, Ibu jangan risau … Rensara akan baik-baik saja.” Terang Rensara menggenggam tangan ibu. Ibu memeluk Rensara erat.
“Kami pergi dulu, Bu…” ucap Vincent menggandeng tangan Rensara meninggalkan ibu yang berdiri lemas di muka rumah. Tatapan hangat mata ibu berubah menjadi kegusaran mengantar kepergian puteri nya yang samar terhalang tirai-tirai kabut lalu hilang di balik rerimbunan pohon. Tak ada yang dapat ia lakukan selain terus memohon pada Tuhan agar menjaga dan menuntun puteri nya kembali dengan selamat. Hanya itu.

Sapa dan senyum manis yang sahabatnya berikan menjadi sambutan pertama yang Rensara terima selagi jarak masih beberapa meter memisahkan mereka. Pelukan hangat dari sahabat yang sangat dirindukannya terasa begitu dalam di wajah Rensara . Satu tahun tak bertemu membuat mereka harus memendam rasa rindu yang teramat akan tibanya masa-masa seperti saat ini. Mereka, Rensara dan sahabat-sahabatnya memang sangat menyenangi tempat-tempat yang menyuguhkan panorama alam yang elok. Mereka sering bepergian bersama saat libur dulu, ketika mereka semua masih satu sekolah. Vincent tertegun melihat Rensara dan semua sahabatnya. Ia baru mengerti alasan Rensara segan menolak ajakan kawannya. Kerana hal itu pula ia mengerti arti ikhlas dalam persahabatan. Ia berkata dalam hati, “Tuhan… semoga Engkau tak enggan menjaga senyum itu agar tetap hadir menghias kesejukkan wajahnya.”

“Kami sangat merindukanmu Rensara , bagaimana keadaanmu?”
“Aku juga… baik. Kalian bagaimana?”
“Seperti yang kau lihat, dua mata, dua telinga, satu hidung dan satu mulut, tangan dan kaki yang tetap dua, masih utuh tanpa bagian dari tubuh kami yang hilang.” Mendengar jawaban Duwi sontak mereka semua tertawa.

“Emmm, ini siapa Rensara ?” Tanya Fatikha mengedip-ngedipkan matanya lucu. Pertanyaan yang memang ingin mereka tanyakan sedari awal Rensara datang bersamanya.
“Perkenalkan, ini Vincent . Dia kakakku. Tak apakan jika dia ikut bersama kita pagi ini?” Tanya Rensara ragu.
“Kakak?” tanggap Fatikha, Duwi dan Nia bersamaan. Mereka saling menatap sambil menaikan sebelah alisnya.
“Ehemm…” Rensara mengangguk, tersenyum.
“Salam kenal, senang bertemu denganmu Kak…”
“Salam kenal kembali, terima kasih. Aku juga.” Jawab Vincent dengan air muka yang ramah.

Iyaahh, Rensara adalah puteri tunggal Ibu Fatimah. Itu yang mereka tahu selama ini. Wajar mereka merasa hairan . Namun mereka mengenal Rensara anak yang jujur, setiap yang dia katakan pasti ada alasan untuk mempertanggung jawabkan kebenarannya. Jadi mereka segera melupakan masalah itu.
Memeng benar, Vincent bukanlah kakak kandung Rensara . Mereka tinggal di bawah atap yang berbeza . Sebenarnya, Vincent adalah sahabat Rensara saat masih sekolah. Dia yang menjaga Rensara di perjalanan, juga di sekolah. Setiap kegiatan ekstra dan kembali pulang, dia yang selalu memastikan Rensara sampai di rumah dengan baik. Kerana rasa sayangnya, kemudian ia menganggap Rensara sebagai adiknya sendiri. Kerana memang ia ingin mempunyai adik perempuan. Begitulah kemudian rasa persaudaraan mereka terjalin semakin kuat hingga hari ini.

“Bagaimana, udah siap semua? Ayo kita berangkat!!” ajak Duwi memulai perjalanan.
“Tentu, ayo berangkat!!” jawab yang lain serentak.

Sesungguhnya alam semulajadi adalah sahabat sejati yang tidak pernah berdusta. Mereka selalu memberi banyak cerita lewat jutaan keindahan. Panorama alam, bukit bukau yang menghijau seperti sebuah nyanyian yang mengalun. Berjalan di antara pematang sawah, menerabas celah-celah pohon dan melewati jalan setapak yang kadang memerlukan sebuah kekompakkan membuat kebersamaan di antara mereka terikat semakin erat. Kebersamaan, berbagi. Itu yang mereka suka dari banyak perjalanan yang mereka harungi. Bersama terpanggang terik matahari serta menggigil ditelan dingin hujan yang menusuk tulang, adalah bagian dari perjalanan yang mengantar mereka sampai tujuan. Menyapa ilalang, melambaikan tangan pada daun terbang, dan menitipkan pesan pada pesawat kertas untuk disampaikan pada Tuhan, selayak sebuah ritual dalam setiap perjalanan mereka. Alasan klasik mengapa kelompok sahabat itu gemar bepergian bersama. Sederhana bukan? Tapi di dalam kesederhanaan itulah terselip sebuah keistimewaan, kebahagiaan yang hakiki.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience