Rate

BAB 3

Drama Completed 339

“Sudah foto-fotonya?”
“Emmm, pemandangannya luar biasa indah!”
“Kemarilah teman-teman, aku ingin memberi kalian sesuatu.”
“Iyakah? Apa itu?”
Rensara tak menjawab. Ia hanya menyodorkan segenggam bunga pinus yang diambilnya tadi. Memberikannya satu demi satu pada ke tujuh sahabatnya dan menyisakan satu untuknya.
“Aku ingin persahabatan kita abadi seperti bunga ini. Tidak pernah layu, sampai kapan pun”

Rensara tersenyum dan menatap wajah sahabat-sahabatnya. Sahabat Rensara tak berkata apapun, hanya tetesan air mata yang mereka biarkan bicara betapa mereka beruntung punya sahabat seorang Rensara , dan hati mereka menjawab, “itu pasti Rensara .”
Selayak telletubbies mereka semua berpelukan. Dalam pelukan sahabat-sahabatnya Rensara merasakan kedamaian, ia tersenyum.

Betapa terkejut semua ketika melepas pelukannya dan mendapati darah segar keluar dari hidung Rensara . Ia telah tak sadarkan diri. Sontak mereka semua berteriak dan mencoba membangunkan Rensara , namun mata Rensara tak jua mau terbuka. Beruntung rumah Andi tak terlalu jauh dari tempat itu, dia teman Nia. Segera Vincent meminjam sepeda motor Andi. Dengan bantuan Nia menjaga Rensara di belakang, Vincent segera melesat ke rumah sakit. Warga setempat sempat panik akan kejadian tersebut, kemudian sahabat-sahabat Rensara meminta tolong pada warga untuk mengantar mereka menyusul. Dengan senang hati warga menolong.

Ibu, Vincent dan sahabat-sahabat Rensara tak kuasa menahan tangis saat dokter yang memeriksa Rensara mengatakan bahwa Rensara tak boleh diselamatkan karna kanker otak yang dideritanya sudah menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang jantungnya. Sontak semua sahabat Rensara menangis sejadi-jadinya. Mereka tak percaya Rensara akan pergi secepat ini. Mereka tak percaya bahwa perjalanan kali ini adalah perjalanan terakhir mereka bersama Rensara . Terlebih mereka sama sekali tidak tahu jika Rensara sakit.

Ibu terdiam, ia tak mampu menahan kesedihannya yang mendalam. Seketika wajah ibu pias, pundaknya lemas. Ia baru mengerti arti perasaannya yang tidak nyaman sejak pagi adalah alamat kepergian Rensara untuk selamanya.
Vincent menundukkan kepala saat kalimat itu sampai di telinganya. Ia beranjak dari ruang itu. Keseimbangannya hancur, jalannya limbung. Kepergian adiknya merupakan suatu pukulan yang teramat berat baginya. Detik-detik nestapa, kepedihan merengkuh erat jiwanya. Biru langit yang tersenyum telah berlalu. Panas tropika tak kuasa mengeringkan air sungai yang mengalir di pipinya. Bermalam-malam ia mencoba membuat dirinya mengerti akan saat ini. Namun ia tak pernah mampu membuat dirinya siap untuk mengahadapi tibanya saat ini.

“Jadi, sampai disinilah aku mengantarmu Rensara …
Tidurlah dengan tenang…
Jadilah Rensara ra kami yang abadi. Kami menyayangimu.
Selamat jalan Rensara …
Selamat tinggal adikku sayang…”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience