Rate

BAB 3

Drama Completed 222

Tiba-tiba, pandanganku jatuh pada sebuah topi merah yang pucat, tergeletak di tepi jalan. Aku pun mengambilnya.

Perlahan-lahan air mataku menitis dari kedua mataku. Bayang-bayang wanita itu terus mengusikku. Simpang itu begitu lekat dengannya. Dia selalu muncul di sana. Setia menanti pengguna jalan raya, demi secercah harapan. Dapat mengalas perut. Hidupnya ada di tangan para pengguna jalan raya itu. Dari belas kasihannyalah ia dapat mendapatkan wang dan dapat makan untuk demi kelangsungan hidupnya. Tapi, di tangan mereka pula lah, nyawanya melayang.

Aku meletakkan kembali topi merah itu di atas tanah. ‘Wanita itu telah tiada, tak ada lagi sosok wanita bertopi merah ’ kataku dalam hati. Dari arah sampingku terdengar lantunan syair dari anak kecil (laki-laki). Ia berjalan melenggang di depanku, menghampiri para pengendara sepeda motor yang sedang menanti pergantian lampu lalu lintas. ‘Inikah sosok pengganti wanita itu?’ tanyaku dalam hati.

Setelah lampu merah itu berganti warna menjadi hijau, anak kecil itu lantas menepi di pinggir jalan. Kemudian ia duduk di sampingku. “Ini topi merah ibuku” kata anak itu. Pandanganku yang semula tertuju ke depan, langsung menoleh ke arah anak itu. “Ibu?! Wanita buta yang sering berdiri di simpang ini?” tanyaku. Anak itu hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. Ia menangis.

Aku pun menenangkan anak itu agar tidak menangis. “Kamu tidak boleh menangis. Apa kamu pernah melihat ibu menangis untukmu?” tanyaku. Ia pun membalasnya dengan menggelengkan kepalanya. “Lantas, kenapa kamu menangis untuk ibumu yang sedang bahagia di tempat peristirahatnnya?” tanyaku yang menahan tangis, sakit dan mengganjal di tenggorokan. Miris melihat anak itu.
Wajahnya polos, rambutnya tipis, memerah terkena sengatan matahari. Kulitnya hitam dan kering, mengharuskan ia menapaki panasnya aspal jalan tanpa sebuah sandal. Aku pun memakaikan topi merah itu (topi merah ibunya) di atas kepalanya. Aku pun tak kuasa menahan tangisku yang tiba-tiba pecah. Aku memeluknya erat dalam dekapanku.
“Jangan pernah menangis untuk ibumu. Tersenyumlah, dan Gapailah cita-citamu. Buatlah ibumu tersenyum melihatmu bahagia.” Kataku, menyemangatinya. Aku tak ingin ia seperti ibunya. “Kamu sudah makan?” tanyaku. Ia membalasnya dengan menggelengkan kepalanya, dengan topi merah yang kebesaran, sedikit longgar dipakainya. “Makanlah..!, ini untuk kamu” aku pun tersenyum padanya, dan meninggalkan ia.

‘Semoga hidupnya tak seperti apa yang dialami oleh ibunya. Ia harus bahagia. Ia harus dapat membuat ibunya tersenyum. Kini, wanita bertopi merah itu telah tiada, yang ada hanya kanak-kanak lelaki kecil yang sentiasa berdiri di tepi jalan. Menggantikan kehadiran ibunya’.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience