4. Leukemia Kemping

Humor Completed 2701

WINA lagi asyik baca komik Si Gully sambil menggerogoti buah pir di kursi malas, ketika telepon berdering keras di atas bufet.

"Ya, halo, siapa di situ?" Wina menjawab tanpa beranjak dari kursi malasnya.

Kringggg! Telepon tetap berdering.

"Winaaa, kok ada telepon gak diangkat?" Mamanya yang lagi asyik membersihkan karpet pake alat pengisap debu, melongokkan kepalanya dari lantai atas. .

Wina buruburu bangkit dari kursi malas, dan menyambar gagang telepon.
"Halo?"

"Halo, ini Nak Wina, ya?" terdengar suara ibuibu dari ujung sana.

"Iya, ini siapa?"

"Ayo, Nak Wina bisa nebak siapa?"

"Wah, kalo soal tebaktebakan saya memang agak kurang, Tante. Tapi ini pasti maminya Olga, ya?"

"Kok tau?"

Tentu saja Wina tau. Suara ibuibu mana yang centilnya gak kalah sama anaknya itu? Dalam soal usia, maminya Olga emang termasuk uzur. Tapi soal centil, dia sungguh gak kalah dengan anaknya. Seperti kata pepatah, air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga, yang artinya, kalo kamu naik ke atas atap, jatuhnya ya ke selokan juga.

"Ada apa, Tante? Olga ngabur lagi?"

"Ada berita gawat, Win," tibatiba suara maminya Olga jadi terdengar tegang.

"Ada sangkutpautnya dengan Olga?"

"Ya."

Mami gak langsung menjawab. Suasana jadi hening.

Wina jadi ngerasa tegang.

"Tante tadinya gak mau cerita ke siapasiapa, tapi Tante percaya Wina gak bakal membocorkan rahasia ini pada Olga. Tante butuh teman untuk berbagi cerita," ujar Mami lirih.

Wina makin tegang. Ada apa ini?

Cicit burung di halaman belakang pun berhenti bernyanyi.

Sesaat maminya Olga mengatur napasnya, kemudian dia mulai membuka mulut lagi, "Gini, Win. Kamu kan tau, belakangan ini kondisi badan Olga agak melemah.
Gak tau kenapa. Apalagi sejak Tante tinggal sendirian ke Bandung itu. Matanya suka berkunangkunang, mukanya pucat, lekas capek, dan sakitsakitan. Tante cemas, maka Tante paksa Olga untuk periksa ke dokter. Dan... dan kamu tau, Win, apa kata dokter?"

"Hasilnya positif? Olga hamil?" tebak Wina mantap.

"Kamu ini, kok pikirannya gak jauh dari begituan. Bukan, Win. Bukan hamil. Tapi lebih gawat lagi...."

"Lebih gawat dari hamil? Apa ada yang lebih gawat dari hamil? Olga keguguran?"

"Bukan. Olga... Olga...," maminya Olga sengaja menggantung. kalimatnya biar Wina tegang.

"Kenapa Olga?"

"Kena penyakit Mamamia," lirih suara Mami.

"Mamamia?"

"Eh, bbukan. Mamalia, eh, apa itu, semacam penyakit darah yang kebanyakan sel darah putihnya?"

"Leukemia?"

"Yak, betu!! Les kimia!"

"Ha???" Wina kaget setengah mati. Teleponnya tergantung di tangannya.

"Halo? Halo? Kamu masih di situ, Win?" seru suara di ujung sana.

"Eyya,. Tante. Tterus gimana...?" Wina buruburu mendekatkan telinganya ke gagang telepon.

"Iya, Win. Dan kata dokter umurnya tinggal sebulan lagi...," suara Mami makin lirih.

"Ha? Sebulan lagi? Yang bener, Tante?"

Mami udah mulai sesenggrukan di ujung telepon sana. Wina merasa matanya panas.

"Iiya, Win. Dokter itu sendiri yang memberi tahu hasil laboratoriumnya tadi pagi.
Tante sungguh tak mengira bakal kehilangan Olga...."

"Tidak, Tante! Tidaaak!" Wina mulai ikutan menangis.

"Biarpun Olga bandel, gak bisa dikasih tau, tapi Tiinte sayang sekali sama anak semata wayang Tante itu. Tante tak bisa membayangkan hidup tanpa Olga.
Kenapa umur anak itu seumur jagung...."

"Huuu... Wina juga sayang, Tante," Wina mulai keras tangisnya.
"Dan sekarang umur Olga tinggal satu bulan lagi. Begitu cepat. Tak ada yang bisa kita lakukan kecuali membahagiakannya, Win. Tante sedih...."

Wina kini nangis sesenggrukan. Mamanya yang sibuk di atas, melongok ke bawah dari balkon lantai atas. Ia heran mendengar ada suara tangis di bawah.

"Lbo, kenapa, Win?" Mamanya buruburu menuruni tangga, demi melihat anaknya sudah berurai air mata.

"Olga, Maaaa..." Wina pun berlari menubruk mamanya. .

***

Mata Wina masih sembap ketika malam itu berbaring di kamar sambil memandangi foto Olga dan Wina yang lagi dengan centilnya bergaya di kaki Gunung Gede. Itu saat paling bahagia, ketika Wina pertama masuk SMA, ikut pelantikan siswa baru, dan berkenalan dengan Olga. Dan sejak itu, dia dan Olga seperti tak bisa dipisahkan. Ibarat kentut dengan baunya, Olga dan Wina ke manamana selalu berdua. Walau gosip melanda, walau karang terjal menghadang. Dia. sungguh tak bisa membayangkan bakal kehilangan Olga. Tapi, tibatiba maminya nelepon kalo anak itu usianya tinggal sebulan lagi! Astaga! Begitu cepat.

Wina menangis lagi.

Dia inget, dia pernah jahat juga sama Olga. Nuduh Olga yang enggakenggak. Nuduh Olga mau morotin duitnya. Juga Wina pernah menghasut tementemen sekelasnya untuk membenci Olga waktu Olga jadi ketua kelas. Ngatain Olga kena post powersyndrome. Wina nyesel banget.

Apalagi waktu maminya Olga sore di nelepon lagi, ngebilangin kalo, "Olga sendiri belum tau, Win, soal penyakit ini. Sengaja, biar dia gak tertekan. Mungkin tugas kita harus membuat dia bahagia, hingga dia punya kesan yang baik setelah meninggalkan kita."

Wina mencoretcoret buku hariannya. Ya, gue harus ngebahagiain Olga. Dan Wina inget rencana liburan panjang anakanak yang kali ini mau bikin bumi perkemahan lagi di daerah Puncak. Olga katanya juga mau ikut. Berangkatnya dua hari lagi. Dan Wina harus ngompakin tementemennya agar berbaikbaik dengan Olga selama kemping itu. Biar Olga bahagia.

Dan besoknya, Olga emang udah sibuk banget nyiapin segala keperluan. Indomie, Chiki, sardencis, kornet, biskuit, abon, semua masuk dalam ranselnya. Sementara jins, kemeja, kaos, jaket, sweter, syal tebal, kaos kaki, sepatu roda pun turut berdesakan di dalamnya. Belum lagi alatalat mandi, dan krem pembersih. Mami, tumbentumbenan, ikut sibuk menyiapkan. Sampaisampai dibelabelain gak senam.

"Biasanya rajin senam, Mi?" tegur Olga kalem.

"Ah, lagi segen," jawab Mami pendek sambil sibuk menggotong peralatan P3K seperti salep, perban, balsem, obat merah, Betadine, garam, Tensoplast, Oralit, dan obatobatan lainnya. Terus terang, Mami cemas banget kalo anak ini nantinya kenapanapa pas kemping. Untuk melarang kemping, Mami jelas gak tega. Karena kan gak boleh bikin Olga sedih. Tadi pagi aja, pas Olga membuat peta buta lagi di kasur, Mami gak marah. Tenang aja melipat seprei, dan mencucinya di belakang.

"Ih, Mami, kok bawa obatobatan banyak banget? Emangnya dokter masuk desa?" Olga sebel ngeliat Mami memasukkan peralatan sakit itu ke ransel Olga yang gede.

"Mami takut kamu kenapanapa di sana," ujar Mami tanpa berani menatap Olga.

"Ah, kan banyak anakanak!" Olga berusaha mengeluarkan obatobatan yang tadi Mami masukin.

"Jangan, Ol."

"Biar! Berat kan bawanya."

Mami sedih ngeliat Olga melemparlempar obat dari dalam ranselnya.

"Tatapi, Ol..."

"Gak ada tapitapian. Olga cukup sehat, kok. Masa Mami gak percaya kalo Olga ini sehat?"

Mami sedih ngedengernya.

"Tatapi, ssalepnya ini biar kamu bawa aja, Ol."

"Buat apa?"

"Kan lumayan buat makan roti, kalo kebetulan keabisan mentega."

Olga mencibir. Kemudian berdiri sambil meluruskan ototototnya yang pegal. "Ah, beres sudah semuanya. Tinggal berangkat."

Pas saat itu Wina datang. Mami melihat mata Wina agak bengkak, seperti abis menangis. Mami memeluk Wina. Olga jadi heran.

"Ada apa ini? Kok main pelukpelukan, kayak sandiwara tipi?" .

"Ah, enggak, Mami kangen aja sama Wina," ujar Mami berusaha tersenyum. Lalu buruburu pergi dengan raut wajah muram, seperti hendak menghadiri upacara pemakaman dirinya sendiri.

Olga bengong. Dan Wina menatap wajah sahabatnya itu lekatlekat. Hampir tak bisa dibendungnya air matanya, ketika Olga balas memandangnya. Ingin Wina memeluk sahabatnya ini, tapi tentu saja itu akan bikin Olga sebel.

"Kenapa sih, lo?" Olga bertanya.

"Ah, enggak. Eng, llo jadi berangkat besok?"

"Jadi, dong. Gimana, sih?"

"Gue juga jadi. Eeh, sekarang kita ke McDonald's, yuk? Gue yang traktir." "Tumben lo baek. Ayo, deh. Kebetulan, gue laper."

Wina dan Olga kemudian pamit ke Mami.

"Atiati di jalan ya, Win. Pake lampu sen kalo mo belok ke kiri atau ke kanan," ujar maminya Olga linglung.

Wina cuma mengangguk. Sementara Olga gak abis pikir ngeliat keajaiban yang terjadi sepanjang pagi di awal libur panjang ini.

"Eh, lo pernah minum es coret, gak?" ujar Olga iseng ketika Wonder kuning Wina mulai meluncur di jalan raya.

"Belon. Es apaan, tuh?" Wina bertanya antusias.

"Lo mau nyoba?"

"Mau."

"Tuh, minum aja rambu lalu lintas," ujar Olga sambil menunjuk rambu dilarang stop yang ada di pinggir jalan raya.

"Sialan." Wina meninju lengan Olga.

Beberapa saat mereka pun udah pesan hamburger di sudut kedai. Sambil ngobrol, sambil ngeceng ke arah jalan raya.

"Eh, Ol. Lo kan dari dulu pengen nyetir mobil gue, ya?" Wina tibatiba nyeletuk.

"Iya. Dan selalu gak boleh sama elo."

"Sekarang boleh. Pulangnya lo aja yang bawa." Wina menyerahkan kuncinya.

"Ah, yang benr?" Olga terbelalak girang. Ya, terus terang aja dari dulu dia pengen banget bawa mobilnya Wina. Tapi selalu ditolak, karena kemampuan nyetir Olga emang masih kurang banget. Tapi kali ini?

Mereka pun buruburu berlarian ke Wonder Wina. Olga duduk di belakang setir. Sementara Wina yang cemas tapi berusaha nyante, duduk di sampingnya. Baru start, jempol tukang parkir nyaris diinjek. Dan pas meluncur ke jalur lambat, langsung disambut makian dari 3 sedan yang dipotong jalannya. Olga cekikikan. Wina juga cekikikan, meski dengan ekspresi yang tegang.

Seorang polisi melihat mangsa, ketika Wonder kuning itu jalan tersendatsendat. Dia mulai mengeluarkan pulpen dan notesnya. Dan "Priiiiit!", peluitnya berbunyi nyaring ketika Olga salah belok ke daerah dilarang masuk.

"Wah, kena, Ol." Wina sedih memandang dari kaca jendela yang dilapisi kacafilm gelap.

Olga menurunkan kaca jendela, dan wajah polisi yang berkumis mirip celurit itu tersenyum ngakrab sambil menyapa, "Selamat siang, Nona. Tolong perlihatkan SIM dan STNKnya."

Olga garukgaruk kepala. "Wah, kesalahan saya apa, Pak?"

"Nona tak melihat tanda dilarang masuk di muka jalan tadi?"

"Eng... liat, sih." Olga masih garukgaruk kepala. "Tapi ssaya raguragu, abis tanda larangannya cuma satu, Pak. Jadi saya kurang yakin, apa benar itu dilarang, atau tidak."

Wajah polisi itu mulai tampak kurang ramah. "Raguragu bagaimana?
Memangnya harus berapa tanda larangannya?"

"Coba Bapak bikin tiga biji. Kan mantep banget, tuh. Kitakita jadi yakin," ujar Olga jadi bergairah.

"Anda jangan mainmain, ya!!!" Pak polisi itu membentak. Dan kini wajah pak polisi mulai memerah. Wina buruburu melompat turun, lalu menarik tangan polisi yang kekar itu ke sudut dekat semaksemak. "Sst, Pak,. maaf deh. Kami memang salah. Tapi jangan bentak teman saya itu. Umurnya anak itu tinggal sebulan lagi."

"Sebulan lagi?"

"Ya." Lalu Wina bercerita panjanglebar. Pake ekspresi yang meyakinkan, sampai pak polisi itu terharu. Menangis di pundak Wina, dan memperbolehkan Wina dan Olga melanjutkan perjalanan.

"Lo kasih duit berapa?" tanya Olga heran, ketika mereka mulai jalan lagi.

"Tak sepeser pun. Gue cuma ngarang cerita sedih aja, dan dia terharu."

Olga bengong. "Cerita sedih?"

Tapi bengongnya gak lama, karena kemudian tautau Wonder Wina naik ke trotoar, dan menabrak pohon di pinggir jalan.

"Olgaaaa, awas!" Wina menjeritjerit. Olga tak kalah panik. Ya, rupanya ketika mengobrol, Olga jadi gak konsentrasi ke jalanan.

Olga dan Wina buruburu turun dan melihat keadaan mobil. Ternyata bempernya penyok dan lampu depannya pecah! Wina terpekik. Ya, Wina emang sayang banget sama tu mobil. Olga nampak nyesel.

"Ssori, Win. Ggue gak lagilagi deh bawa mobil elo," ujar Olga lirih menghampiri Wina yang sedih memandangi mobilnya.

Tapi tibatiba air muka Wina berubah cerah,

"Ah, gak apaapa, Ol. Gak apaapa, kok. Mobil gue diasuransi. Dapat ganti. Gak apaapa, kok. Meski gue juga harus keluar uang lima puluh ribu lagi buat tanggungannya, tapi gak apaapa kok. Meski gue bakal kena tilang karena ngerusak trotoar, tapi gak apaapa, kok. Gak apaapa, Ol," Wina berusaha bersuara riang, dan berusaha tersenyum. Tapi gagal.

"Bener, Win, gak apaapa? Gue jadi gak enak," Olga berkata bingung.

"Enggak. Gak. Huuu... mobilku!"

***

Udara Puncak yang dingin, menyambut datangnya dua bis turis besar yang disewa sekolah Olga untuk keperluan acara kemping sekolah. Suasana senja di kaki gunung itu amat dingin, dengan kabut tipis yang menyelimuti. Tapi kesibukan anakanak yang segera mendirikan tenda, membuat suasana jadi hangat. Meriah. Apalagi beberapa panitia kemping, yang udah duluan berangkat pake mobil pribadi, udah mendirikan banner bertuliskan nama sekolah Olga, udah bikin api unggun dan patokpatok buat kemping. Olga turun dari bisnya, dengan mengenakan pullover yang berwarna cerah, serta jins ketal. Ia nyante aja menuruni tangga, karenaoleh sebab yang tak diketahui OlgaWina, Gaby, Rudi dan Boni pada berebut mau membawakan tas ranselnya yang berat, tape, sepatu roda, dan lainlainnya.

"Eh, Ol, kalo lo kedinginan, istirahat aja dulu di tenda panitia," ujar Rudi sambil bersusah payah menggotong dua ransel. Miliknya dan milik Olga.

Sementara Henny yang dulu paling benci Olga, kini bersibuksibukria ngurusin dan ngebawain sepatu rodanya Olga.

"0, gitu. Jadi gue gak usah ngebantuin ngediriin tenda grup gue?" Olga heran.

"Enggak. Gak usah. Biar Gaby sama Wina aja yang kerja. Kalo perlu, Henny juga rela ngebantuin."

Olga langsung diantar ke tenda. Tak cuma itu, Boni kemudian datang mengantarkan coklat hangat dan jagung bakar.

"Bon, gue udah laper, nih." Olga memegang perutnya.

"Oh, tunggu bentar, ya? Wina lagi masak Indomie pake telur buat kamu!" Boni menjawab. "Kalo masih kedinginan, bilangbilang, ya? Gue punya air jahe. Bisa diseduh. Dan ini ada bacaan ringan buat nunggu Indomienya masak. "Silakan, lho!"

Boni lalu pergi. Olga cuma mengangkat bahu. Rada heran juga ngeliat kebaikan yang mencurigakan dari tementemennya. Tapi ia nyante aja. Cuek Toh gak rugi. Untung malah.

Besok paginya juga, Olga yang setenda kecil bertiga sama Gaby dan Wina, langsung heran waktu dibangunin untuk sarapan. Kornet sama nasi putih, plus Indomie.

"Lho, kapan masaknya, nih?"

"Tadi, Ol. Gue gak tega ngebangunin elo. Kayaknya tidurnya nyenyak banget," ujar Gaby tersenyum manis. Wina juga ikutikut senyum, meski wajahnya nampak kurang tidur.

Tak lama kemudian, Erwin yang jadi ketua panitia datang mengunjungi tenda. "Halo, Ol. Gimana keadaanmu pagi ini?"

Olga tersenyum. "Baikbaik aja, kok."

"Oya, kalo mo mandi, di kali aja, Ol. Udah disediain kok airnya, hihihi. Trus jam sepuluh nanti ada kerja bakti sedikit untuk nyiapin acara jalanjalan ke gunung. Tapi kalo lo capek, istirahat aja. Gak usah ikut. Gaby dan Wina harus ikut, ya?"

Anakanak itu mengangguk. Kemudian Boni dan Rudi datang. Nanyain keadaan Olga sambil membawa penganan ringan. Tapi pagi itu Olga malah lagi pengen ngebom. Pengen buang air. Lantaran semalem kebanyakan makan jagung bakar. Tapi ngebom di tempat kemping gitu tentu gak nyaman. Harus nyari tempat yang private banget. Olga jadi ribut minta ditemenin Wina.

Wina jelas sebel. Siapa sih yang mau nemenin orang beol?

"Saya sebetulnya mau banget, Ol," Rudi berujar.

Tentu Olga menolak. "Enak aja." "Ayo, dong, temenin, Win," bujuk Olga.

"Tuh, Win, temenin Olga." ujar Gaby.

"Iya, Win. Gimana Olga gak baek, tuh. Mau ngebom aja pake ntraktir segala," ledek Boni.

Wina sewot. Tapi teringat sumpahnya, ia lantas mau. Apalagi pas mo berangkat, maminya Olga pesan ke Wina supaya menjaga Olga baikbaik. Olga jadi seperti barang porselen yang berharga.

"Hiyaaaaaa!!!" Tibatiba Boni menjerit.

Anakanak pada kaget. "Kenapa, Bon?"

Boni ogah cerita. Tapi anakanak pada tau, dan tertawa terpingkalpingkal. Ya, saking pelitnya, Boni itu punya kebiasaan menyembunyikan sebatang rokok di kaos kaki, biar gak diminta tementemennya. Tapi kali ini Boni lupa, kalo tu rokok udah disulut, dan diisep. Pas Rudi mendekat, langsung aja puntung itu dia selipkan di kaos kaki. Jadi terjadi kebakaran di kakinya si Boni. Hihihi...

***

Sore hari, udara pegunungan dingin menggigit. Olga yang meski mengenakan jaket tebal, tetap merasa kedinginan. Akibatnya dia cegukan. Anakanak jadi pada panik. Padahal cuma cegukan biasa, karena kedinginan. Minum air hangat aja bisa sembuh. Tapi anakanak panik. Wina yang paling panik. Berteriakteriak ke sana kemari kayak ada kompor meledak. Olga tentu aja keki. Dia ngejarngejar Wina, menangkap kakinya, hingga dua anak itu jatuh tergulingguling.

"Lo apaapaan sih, Win? Gak pernah tau orang cegukan, ya?" Olga ngotot setelah berhasil menaklukkan Wina.

Mereka berdua terengahengah sambil jatuh terduduk di rumput lembut.

"Ol,lo bener gak apaapa?" Wajah Wina nampak ketakutan.

"Enggak! Gueceguk!cuma cegukan, kok!"

"Bukan gejala apaapa?" Wina gak yakin.

"Ya enggak, dong."

"Trus obatnya apa?" tanya Wina khawatir.

"Kagetin aja gue. Pasti sembuh cegukannya. Ayo, kagetin."

"Cara ngagetinnya gimana?" tanya Wina. Sementara anakanak lain yang ratarata udah tau penyakit Olga, menonton dengan harapharap cemas.

"Ya, kagetin aja. Gue itung sampe tiga, trus lo kagetin, ya?"

"Iya. Kamu siap, Ol?"

"Yap_ Satu... dua... ti..."

"Hiya!!!" Wina menepuk pundak Olga keraskeras. Dan tentu saja Olga gak kaget. Malah pundaknya sakit.

"Udah kaget, Ol?" tanya Wina bego.

"Gundulmu kaget!!!" Olga berteriak kesal.

***

Tapi hari kedua, anakanak gempar betulan. Olga demam! Dan terkapar di tenda seharian. Wina udah nangis sesenggrukan. Gaby menenangkan. Hari itu juga, Wina yang cemas minta diantar Rudi ke rumah Olga buat mengabarkan berita duka. Olga sendiri yang merasa cuma demam biasa, berkeras menolak untuk pulang. Tapi Wina cemas betul. Takut ajal Olga hampir tiba, Wina memaksa mau mengabarkan maminya Olga. Maka ditemani Boni, Rudi, Henny, dan Gaby, Wina balik ke Jakarta pake mobil Steven.

Di jalan Wina udah nangis melulu.

"Huu... mungkin sudah waktunya, ya? Kok cepat betul. Katanya sebulan. Huuuu..."

Gaby sendiri sedih ngebayangin reaksi maminya Olga yang pasti shock dikabari keadaan Olga. Dan di jalan mereka gak banyak bicara.

Sampai di rumah Olga, ternyata suasananya tenangtenang aja. Mami masih senam seperti biasa, dan Papi baca koran sambil makan singkong rebus.
Kedatangan anakanak tak disambut dengan wajah cemas.

Wina jadi curiga.

Apalagi kabar yang dibawa anakanak tentang keadaan Olga, ternyata gak bikin Mami panik.

Setelah Wina, Gaby, Boni, Henny, dan Rudi disuruh duduk, Papi ikut menemani.

"Hasil laboratorium itu ternyata keliru kok, Nak," ujar Mami gak enak, ketika anak anak itu dengan cemas menunggu reaksi Mami yang biasabiasa aja tentang keadaan Olga di gunung.

"Keliru?"

Mami tak enak menjawab. Papi yang ambil suara. "Ya, abis Mami ini suka adaada saja. Mengabarkan berita yang belum tentu benar. Pake ditambahtambahi, bikin panik saja," Papi buka suara.

"Ditambahtambahi bagaimana?" Wina bertanya.

"Ya, Oom kan juga gak percaya sama dokter yang dikunjungi Mami itu. Akhirnya tanpa setau Mami, Olga Oom bawa ke rumah sakit umum yang lebih bonafid, buat diperiksa. Ternyata Olga hanya kurang darah saja, bukan kena leukemia. Gak berbahaya, cuma butuh banyak vitamin aja. Mami ini salah, bawabawa Olga ke dokter sembarangan," jelas Papi.

"Kan biar ngirit, Pi. Ongkosnya murah!" kelit Mami.

"Iya, ngirit, tapi bikin panik."

Wina masih bingung. "Jadi Olga enggak kena leukemia ?"

"Enggak," Papi menjawab tegas.

"Olga gak jadi mati sebulan lagi?"

"Enggak."

"Kok gak jadi?"

Papi dan Mami menatap Wina heran.

Gaby menjitak Wina.

Wina langsung sadar. "Eh, makmaksudnya... Olga tetap bisa idup terus, kan?"

"Ya, dia gak mengidap penyakit yang gawat, kok!"

"Cihuiiiii!!!" Wina melonjaklonjak kegirangan.

Wina memeluk Mami dan Papi. Anakanak yang lain juga berseriseri. Kecemasan sirna seketika. Dengan riang, mereka pun kembali ke Puncak. Meneruskan sisa liburannya. Tapi di perjalanan, Wina jadi inget Wondernya yang ringsek, inget harus kerja keras sama Gaby ngediriin tenda, sedang Olga enakenak aja tidur. Padahal tu anak sebetulnya sehat walafiat.

"Padahal asuransi mobil gue udah abis. Gue harus bayar sendiri!" Wina gemas.

"Ya, dan gue kan harusnya gak usah bangun pagi, repotrepot nyediain sarapan buat si Olga itu!" timpal Gaby.

"Gue apalagi, harus repotrepot ngurusin sepatu rodanya si jelek itu!" ujar Henny geram.

Boni dan Rudi tertawa.

"Awas kamu, Ol!!!"

***

Keesokan paginya, pas Olga udah sehat lagi, ia gak menemukan sarapan seperti biasanya di tenda. Nyarinyari sabun ama sikat gigi buat mandi juga gak ada. Malah ada pesan gedegede yang ditulis penuh dendam oleh Wina dan Gaby:

"Eh, lo. Kalo abis bangun tolong bersihin wajan sama panci di sungai. Trus, cuci bajubaju lo sendiri. Trus ada pesen dari Erwin, hari ini lo giliran piket nyiapin buat acara teawalk!

Tertanda Wina & Gaby."

Olga bengong. Lho, kok jadi pada berubah, nih? Ia pun melongok ke luar tenda. Memanggil Boni yang lagi lewat bawa panci.

"Eh, Bon, anakanak mana?"

"Tau! Pada main, kali!"

"Bon, tolong cariin anduk, dong. Gue mo mandi, nih!"

"Enak aja. Cari sendiri, dong! Manja amat! Kalo mo manjamanjaan, jangan kemping. Kemping tuh ngelatih lo supaya gak bermanjamanja!" ketus jawaban Boni.

Olga bengong.

Dan Wina dan Gaby yang lagi asyik memetik arbei pun tak mau menoleh ketika dipanggil Olga minta dicariin sendal jepitnya.

Busyet, kenapa bisa jadi begini?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience