Rate

BAB 1

Drama Completed 376

Hari ini semuanya berbeda dari hari-hari sebelumnya. Aku seperti biasa bangun ketika orang-orang sudah di perjalanan untuk berangkat sekolah, tapi mama tidak meneriakiku, tidak menggebu-gebu membangunkanku dan tidak mengomel panjang lebar saat aku baru sarapan jam 7 kurang 10 minit, padahal bel sekolah berbunyi jam 7. Di meja makan, suasana dikuasai oleh sepi. Bila mulut mama yang tidak dapat diam itu kini menjadi diam, tandanya pasti semalam mama dan papa sudah bertengkar hebat. Tapi anehnya, aku tidak mendengar suara peperangan sedikit pun tadi malam. Aku menghela nafas, lalu memasukkan suapan terakhir nasi goreng. Saatnya berangkat sekolah dengan harapan tipis bahwa pagi ini aku akan selamat dari amukan Pak Bowo, sang guru BP.

“Ma, aku berangkat dulu.” Pamitku, langsung ngacir berangkat, tanpa menunggu jawaban dari mama kerana aku hanya mendengar mama hanya bergumam, tidak tertarik dengan keterlambatanku pagi ini.

Sepertinya keberuntungan sedang menyelimutiku pagi ini. Pak Hery, satpam berkepala plontos yang kini sedang berpidato tentang kedisiplinan di depan para murid yang terlambat, tidak memergokiku sedikit pun. Padahal matanya selalu berhasil menangkap para murid yang berani menyelinap masuk bila terlambat. Aku melangkah lebar dengan harap-harap cemas bila tiba-tiba satpam itu berteriak dari belakang dan aku harus mendengar pidato kedisiplinannya kemudian dilanjut dengan pidato kedisiplinan dari Pak Bowo. Upss… Pak Bowo, baru saja aku memikirkan pidatonya itu, kini dia sudah berjalan mendekat. Aku dapat melihat dengan jelas bahwa dia melihatku yang masih berdiri di tempat dan kini dengan secepat kilat aku berbalik, berlari lalu bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di halaman sekolah. Aku sudah pasrah bila akhirnya Pak Bowo menemukanku di sini. Kalau begitu kenapa aku bersembunyi ya? Ya setidaknya bersembunyi sejenak di sini dapat menyiapkan diri agar dapat bernafas dengan lancar ketika Pak Bowo berpidato.

Aku muncul perlahan dari balik mobil, tidak ada tanda-tanda kalau Pak Bowo akan mencariku. Dia malah sedang berpidato, dan saat itu juga dia menyuruh para murid terlambat itu mengikutinya, mungkin ke ruangannya seperti biasa. Aku melirik Pak Hery yang kini sudah kembali ke pos satpamnya. Oh, alangkah indahnya hari ini.

Aku pergi dari balik mobil itu, melangkah dengan lebar, menaiki anak tangga dengan cepat menuju lantai 2 tempatnya anak-anak kelas XI. Dari kejauhan, kelasku, kelas XI IPA 4 masih ramai kerana Bondan si anak jahil dan sohib-sohibnya masih berkeliaran di depan kelas. Aku menghela nafas, menyiapkan telinga dan hati bila si Bondan itu mulai bertingkah sok alim menasihatiku tentang keterlambatan dilanjutkan ejekan-ejekan. Sekarang aku yakin, pasti dia akan melayangkan ancaman untuk melapor ke Pak Bowo bahwa aku terlambat dan telah diam-diam masuk. Aku melangkah dengan cepat masuk kelas, tapi tak terdengar suara Bondan yang biasanya langsung meneriaki “cewek siang bolong”. Arti dari julukan itu adalah kerana aku selalu bangun kesiangan, katanya waktu itu, saat aku tanyakan alasannya memanggilku dengan julukan yang membuatku terkenal di sekolah ini, setelah Kartika yang lebih dulu terkenal kerana kecantikannya. Kartika , teman sebangkuku sekaligus sohibku di sekolah ini.

Aku menoleh ke belakang, heran kerana Bondan tidak membuka mulut comelnya. Cowok itu hanya diam merenung, pandangannya entah ke mana sambil melipat tangannya di dada dan bersender ke pilar koridor. Sedang insaf kali, fikir ku, lalu aku melangkah menuju bangku di barisan terakhir. Tahun ini aku kurang beruntung kerana mendapatkan bangku paling bontot dan sangat dihindari anak-anak cewek.

“Hai, Na. Beruntungnya aku pagi ini. Dapat selamat dari cekalan Pak Bowo, tadi aku-.” Aku terhenti saat melihat setangkai mawar merah nangkring di mejaku. Aku meraih mawar merah itu, lalu kutatap Kartika yang sedang termenung.

“Kamu tahu siapa yang menyimpannya di meja aku?” tanyaku sambil melambai-lambaikan mawar merah itu. Kartika menoleh, wajahnya langsung pucat. Aku dapat melihat dia perlahan menggeser kursinya, lalu melihat ke sekeliling kelas. Aku duduk, dan dia tambah menjauhkan dirinya.

“Ada apa Na?” Tanyaku heran, kerana Kartika menatapku seperti seorang hantu.

“Nggak ada. Nggak ada apa-apa.” Katanya sambil menggeleng dan kembali menggeserkan kursinya ke posisi semula.

“Ini buat aku? Tapi dari siapa ya?” Tanyaku berharap Kartika tahu sesuatu.

“Iya itu buat kamu sepertinya. Aku nggak tahu dari siapa, tapi bunga itu udah ada saat aku sampai di kelas.”

“Wah, apakah ini namanya secret admirer? Seperti yang dilakukan para cowok kepadamu. Kamu setiap hari dibanjiri coklat dan surat, dan aku jadi ompong kerana malah aku yang makan coklat itu.” Kartika terkikik mendengar itu. Aneh, padahal biasanya dia langsung protes bila aku mengungkit coklatnya yang malah masuk ke lambungku. Kartika adalah penyuka coklat, jadi dia selalu menerima dengan senang hati coklat dari para cowok yang mengejarnya tapi menolak dengan halus pernyataan cinta dari mereka. Tapi, sayangnya coklat itu lebih sering mampir ke mulutku.

Kartika tersenyum lalu mengusap lembut punggung tanganku. Telapak tangannya yang mungil itu menggenggam punggung tanganku. Raut kesedihan terlukis di wajahnya, sedetik kemudian raut itu tergantikan dengan senyuman yang menampilkan lesung pipitnya. “Kenapa kamu, Na? Suasananya jadi melow gini.”

“Nggak kok. Thanks ya Sa.” Katanya bernada rendah. Dia menggigit bibirnya menahan air matanya kerana aku melihat matanya yang indah itu berkaca-kaca.

“Terima kasih buat apa? Kamu kenapa Na?”

Pertanyaanku tidak terjawab, kerana Bu Hanin sudah tiba di kelas dan para murid harus siap bertempur dengan pelajaran kimia.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience