BAB 4

Drama Completed 301

Selepas itu, saat para santri sudah bubar, hanya tinggal beberapa saja yang masih duduk bersila menghadap qiblat sambil menggerak-gerakkan bibirnya, Si penjaga Jama’ah mendekatiku. Di bajunya putih garis-garis hitam yang ia kenakan tertera nama, “Emang Muliadi ”. Aku menenggelamkan kepalaku. Dasar, Emang!! Celetukku dalam hati.

“Siapa namamu?”. Tanyanya dengan tangan tersingkap ke belakang.

“Saya Hasbul bang”. Jawabku.

Aku masih merundukkan kepala. Dan yang pasti, aku tak tahu seperti apa gurat wajahnya saat ini. Entah seperti saat ia membentakku tadi? Atau lebih dari itu? Aku tak tahu.

“Kenapa Seman tidak patuh pada peraturan? teman-teman Seman segitu banyaknya ituloh tidak ada yang melanggar”. Ungkapnya. Aku sedikit mendongakkan kepala.

“Peraturan yang mana bang, perasaan aku tadi ndak rame kan?”. Jawabku dengan nada merendah.

“Ini, baju mu!? Seman pakek hem kan? Tidak punya baju muslim?”. Ungkapnya sambil memegangi lengan hem abu-abu yang aku kenakan.

Aku hanya diam. Bungkam, bak tak punya suara. Kembali kutundukkan kepala.

Beberapa lama kemudian, tamparan keras menghantam pipiku lagi. PLAKKK!

Aku semakin geram. Tapi entah, geramku kali ini hadir bersama air mata. Kucuba menahan sedaya upaya untuk menahannya. Ah, sesak sekali dada ini. Aku semakin hiba. Terus tenggelam. Hingga spontan tanganku menyeka manik Kristal itu. Sempurna air mataku bergenang deras.

“malah nangis? Kenapa? Bajunya hilang? Atau tidak punya? Heh! Jawaben!”. Bentaknya sambil memegangi pundakku, menggoyang-goyangkannya. Aku menghela nafas dalam-dalam.

“Saya memang ndak punya bang”. Jawabku sesenggukan.

“Ndak punya? Ya minta orang tua to leee… le!”.

Ah, entah kenapa jawaban Bang Emang kali ini makin membuatku menghela nafas berkali-kali lagi. Menyesakkan dada melunturkan air mata. Aku merayap menuruni tembok yang ku sandari. Duduk termangu berusaha menghaluskan desiran nafas.

Siratan cahaya lampu yang menerangi seisi masjid bercat putih ini terasa mengerahkan. Beberapa kitab yang tertata rapi dipojok belakang sepertinya turut menyaksikan. Juga beberapa santri yang celingukan dari pagar samping dan depan masjid. Ah, aku kembali merunduk. Berusaha membendung air mata.

“Omahmu ngendi to le?”. Tanya Bang Emang setelah sebelumnya nggremeng.

Aku menyeka air mata, “Kediri bang”.

“Kediri Mana?”. Sahutnya dengan nada rendah. Lalu duduk di sampingku.

“Semen bang”.

“Emmmmh,” Sambil mengangguk-angguk ia melanjutkan pertanyaannya.

“Kenapa kamu kok malah nangis?”. Tanyanya. Aku hanya diam.

“Nanti telfon orang tuanya, bilang kalau belum punya baju muslim”. Tuturnya. Aku menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya.

“Orang tua saya ndak ada bang”. Ungkapku. Bang Emang sedikit tersentak, menelan ludah. Lantas diam beberapa saat. Aku menghela nafas lagi, memperbaiki posisi duduk.

“Sebentar”. Ucapnya, lantas pergi menuju sebuah bilik yang terletak di sebelah kanan Masjid. Aku kembali merunduk, menekukkan kedua lutut, merangkulnya dengan kedua tangan dan menyandarkan kepalaku di atasnya.

Entah kenapa aku ini. Tiba-tiba teringat kedua orang tuaku yang sudah meninggal saat aku masih kecil. Ah, untungnya nenek sangat sayang padaku. Untungnya juga nenek mengirimku kesini, pondok pesantren. Setidaknya membuatku semakin bisa memanfaatkan hidup ini, memberikan yang terbaik untuk almarhum kedua orang tuaku. Memberi mereka mahkota terindah kelak disurga.

“Ini le…. Aku punya baju buat Samian. Meski ndak banyak semoga saja bermanfaat”. Ungkap Bang Emang sambil menyodorkan dua buah baju muslim putih yang terlipat rapi kepadaku.

Aku mengangkat kepala, menatapnya, lantas meraihnya. Kudapati raut wajahnya yang sembab. Lelaki bersarung merah tua itu kembali duduk disebelahku. Diantara lentera penerang masjid yang tertata begitu indah. Bersandarkan tiang penyangga masjid yang menjulang menapaki langit-langitnya. Bang Emang perlahan meraih pundakku, menyandarkanku pada bahunya.

Sebenarnya aku sedikit risih. Tapi entah, aku merasakan ketenangan. Degup jantungku yang sebelumnya berantakan lamat-lamat mulai beraturan. Seakan percakapan singkat kami tak ubahnya tali perekat, merekatkan kedua sisi yang sebelumnya berjarak. Benar dawuh Mbah Yai pada pengajian ba’da subuh tadi ”Ojo alok mundak melok, Ojo gething mundak nyanding”.

“Aku minta maaf soal tadi Le…”. Tutur lelaki dengan suara berat itu. Aku hanya diam.

“Ya sudah, Seman kembali ke bilik , sebentar lagi kegiatan dimulai..”.

Aku bangkit, begitu pun bang Emang. Dengan membawa busana pemberiannya aku kembali dengan sedikit senyuman, hati yang lega. Tapi keesokan harinya, batang hidung mancung pria itu tak terlihat lagi. Pun saat jamaah berlangsung, tak terlihat menjaga. Begitu pula dengan hari-hari selanjutnya. Nihil.

Entahlah. Setidaknya untuk hari-hari berikutnya kejadian seperti ini tak akan terulang lagi. Ah, aku belum mengucapkan terima kasih padanya. Aku menghela nafas dalam-dalam. Sambil duduk termangu menapaki lantai masjid dan menatap tatanan lentera indah, aku terpejam dan berkata lirih; “Terima kasih bang Emang”.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience