4. GANG SENGGOL

Humor Completed 2322

KELAS sudah sepi. Semua murid sudah pulang. Tinggal guru bahasa Indonesia yang centil tapi galak dan berkacamata menunggui di meja guru, sambi1 memeriksa hasil karangan murid-muridnya.

Sedang di papan tulis, Boim lagi sibuk menulis, bunyinya, Saya berjanji tak akan lagi menggoda teman wanita selama jam pelajaran. Sampai satu papan tulis penuh. Ia kena setrap. Dan ia hampir selesai menulis kalimat itu seratus kali.

Bukan Boim namanya kalo nggak kena setrap karena ngegodain Nyit-Nyit pas pelajaran bahasa. Dan bukan Nyit-Nyit kalo nggak nangis karena digodain Boim. Untuk kesekian kalinya, Boim terpaksa berpegel-pegel ria nulis kalimat hukuman seusai pelajaran. Bukannya kapok, Boim malah mikir kalo gurunya itu sebenarnya naksir dia dan minta ditemani. Makanya dia nggak boleh buru-buru pulang!

Boim selesai menulis. Tangannya penuh kapur. Lalu ia menghadap ke Bu Hera, guru bahasa. "Udah the end, Bu.

Boleh pulang sekarang?"

Bu Hera melihat ke papan tulis. Ia tersenyum puas. "Ya. Kamu boleh pulang. Tapi kalo ketauan menggoda gadis lagi, kamu Ibu hukum menulis seribu kali. Paham?"

"Paham, Bu."

Boim mengambil tasnya dan keluar. Ketika Bu Hera sibuk dengan kertas-kertasnya, Boim sempet menjulurkan lidah ke Bu Hera. Untung Bu Hera nggak tau.

Boim berjalan sendirian di tepi jalan sambil bersiul-siul, dengan tas dekil disampirkan di bahu. Udara panas terik. Tiba-tiba Boim melihat seorang cewek manis berseragam sedang menunggu bus. Boim melotot. Gile, pulen banget tu cewek! Lumayan, dapet rezeki! Boim menepuk-nepuk tangan bak pedagang yang mau dapet untung.

Dengan gaya playboy, Boim langsung menghampiri gadis itu. Dan tanpa malu-malu, langsung menggoda, "Halo, Neng... baru pulang? Samaan dong. Boleh Abang temenin?"

Gadis manis itu menoleh, lalu bergeser menjauh, menghindar dari Boim.

''Jangan takut, Neng. Abang baek kok. Pulangnya ke mana? Bang Boim anter yuk." Boim makin nekat.

Gadis itu melirik sambil takut-takut "Nggak usah... masih terang kok. Bisa pulang sendiri."

Melihat cewek manis itu takut-takut dengan gaya Don Juan De Marco, Boim langsung beringsut ke depannya. Dan dengan noraknya pake colak-colek segala. "Neng, namanya siapa sih? Boleh dong kenalan? Sekalian deh minta alamat, nomor telepon, hobi, kata-kata mutiara, sama uang jajan seharinya berapa..."

Tanpa Boim sadari, lima cowok berseragam sekolah tapi bertampang kayak anak terminal, sedang duduk-duduk di warung rokok dekat halte itu. Salah satu dari mereka melihat Boim menggoda teman sekolahnya.

"Eh, lia t! Tuh si Lila digodain anak sekolah lain!" ujar salah seorang dari mereka.

"Eh, busyet! Nekat juga tu anak. Nyari ribut sama sekolah kita apa? Cewek gacoan kita dilabain!" yang lain jadi panas.

"Yuk, kita samperin!"

Serta-merta kelima anak itu nyamperin Boim dan si cewek manis. Mereka langsung menyerbu ke arah Boim. Boim yang lagi asyik ngerayu, mukanya langsung pucet ngeliat ada lima cowok dengan tampang sangar tiba-tiba nyamperin dia.

"Heh, anak mana lo, berani ngegodain cewek sekolah gue?" Boim gugup setengah mati.

Anak-anak itu langsung mengerubungi Boim. Badan Boim didorong-dorong hingga terimpit ke tiang halte.

Boim pucat pasi. "T-tenang, Sodara-sodara! Te-nang! Gue Boim, orang baik-baik. Gue nggak..." -Belum selesai Boim ngomong, tiba-tiba, "Buk!" Seorang anak menghajar perutnya.

Boim kesakitan, memegang perutnya. "Ugh! G-gue Boim..."

Anak yang lain menghajar mukanya. "Plak!" Idung Boim berdarah.

Boim kesakitan tapi masih berusaha ngejelasin duduk persoalan, "G-gue..." Anak yang lain menendang "anu"-nya Boim.
"Yaiiiiiii!" Boim menjerit, melotot kesakitan.

Lalu dengan sisa tenaganya, ia langsung ngibrit sambil terkencing-kencing dan berteriak-teriak minta tolong. Kelima anak itu mengejar. Tapi Boim lari seperti kesetanan. Tak terkejar.

***

Besok .paginya, Boim yang mukanya babak belur dan bibirnya somplak, cerita ke teman- temannya.

Lupus, Gusur, Gito, Anto, dan teman-teman yang lain agak marah setelah mendengar cerita Boim. Terutama Gusur.

"Demi langit dan bumi, dan topan di lautan! Sebagai sahabat, kita musti memberi pelajaran pada orang-orang yang telah menjamahkan kepalan ke teman kita Boim! Kita hajar mereka, Pus! Dengan semangat baja dan dada terbuka! Kita tiadalah bisa membiarkan teman kita diperlakukan seperti bukan manusia, walau dia memang sejenis kera!"

Boim yang tadi agak terharu mendengar pembelaan Gusur, jadi jengkel juga mendengar kalimat terakhirnya. Sementara Gusur memicingkan matanya dengan serius, perutnya yang gendut kembang kempis.

"Jadi rencana kita gimana?" Lupus meminta pendapat temen-temennya. Serentak semua anak pura-pura mikir. Gusur keliatan paling serius, tangannya sesekali mencabuti jenggotnya yang jarang-jarang. Begitulah ulah Gusur kalo menghadapi masalah serius. Suka sok tua, padahal sih bangkotan.

"Kita serang aja sekolah mereka Gimana?" Gito tiba-tiba buka suara.

Gusur langsung cemas. "Apa? Serang?"

Tapi anak-anak lain pada setuju. "Ya! Ya! Kita serang!"

"Wah, kalo begitu saya tiada ikut saja, ya? Bukan apa-apa. Habis daku sudah telanjur benci sih kalo harus ngebelabelain datang ke sekolah mereka!" Nyali Gusur langsung ciut. Meringkuk di pojok kelas, kayak kerupuk kebanjur aer.

Anak-anak jelas keki ngeliat sikap Gusur. Boim apalagi. "Bilang aja lo takut, Sur! Pake alasan segala!. Yang lain gimana? Setuju kita serang?"

Anto mulai garuk-garuk rambutnya yang dicukur cepak ala Keanu Reeves. "Kalo gue sih setuju aja. Gue siap berantem di mana aja, kapan aja, siapa aja, selama gue pengen. Tapi itu jelas bukan sekarang! Lagi nggak mood!" .

Boim kontan ngamuk-ngamuk. Ia keluar dan kerumunan anak-anak. Ia jelas kecewa dengan sikap teman-teman sekelasnya. Akhirnya ia pun merajuk di pojok kelas. Tampangnya dibikin sememelas mungkin. Lupus segera mengambil sikap, "Oke, temen-temen. Kita memang nggak bisa tinggal diem ngeliat temen kita dibeginikan. Kita harus solitaire... eh, itu sih mainan komputer, ya? Maksud gue, solider. Kita harus bantu Boim. Kita harus mengadakan pembalasan. Gue bener-bener nggak rela. Masa Boim digebukin sampai babak belur begini? Maksud gue, kenapa nggak dibunuh sekalian? Kan beres...."

Boim kaget, lalu menjerit, "Lupuuuuuuuus!!!"

Lupus membalas menjerit nggak kalah kerasnya, "Boiiiiiiiim!!!"

Anak-anak pada ketawa. Boim ngomel-ngomel lagi, sambil berdiri, "Kalian memang cuma bisa ngeledek gue! Nggak mau tau penderitaan gue!"

Boim menjerit, "GUE MO MARAH NIH!!!"

Dan Boim bener-bener marah. Ia langsung berlari keluar kelas. Anak-anak kaget, dan langsung pada mengejar dan memanggil, "Eh, Boiiiim, mo ke mana lo? Boiiiiiiim!!!"

Boim lari keluar kelas. Anak-anak mengejar, termasuk Gusur, Gito, Anto, dan Lupus. Ketika anak-anak bergerombol keluar kelas, mereka berpapasan. dengan Bu Hera yang hendak masuk kelas. Bu Hera kaget, karena diterjang serombongan anak.

"Lho! Lho! Apa-apaan nih? Hei, mau pada ke mana?" ujar Bu Hera.

"Ng... itu Bu. Ada bebek lepas! Ayo kejar, Bu!" sahut Lupus asal.

"Bebek? Mana bebeknya?" Bu Hera heran.

Lupus menunjuk ke kerumunan orang yang sedang mengejar Boim di koridor sekolah. "Itu, Bu. Yang item, keriting!"
Bu Hera memperhatikan Boim yang dikejar, sambil memakai kacamatanya. "Ah, itu kan bukan bebek!" "Abis apa, Bu?" Lupus menyambar.

"Setau ibu, itu kan sejenis kera...."

Lupus tertawa terpingkal-pingkal. Lalu ikut kabur mengejar Boim.

Suasana jadi heboh.

***

Siang harinya, Boim, Lupus, Gusur, Anto, Gito, dan empat teman mereka berkumpul di mulut Gang Senggol. Mereka sedang berembuk.

Gang Senggol adalah sebuah gang sempit di belakang sekolah Lupus. Tempatnya kotor dan jorok. Dindingnya penuh grafiti coretan anak-anak. Beberapa tulisannya berbunyi begini: "Anto, Pria Anti Dosa."

"Oh, Nyit-Nyit, di sini kita pernah bersatu, dalam deru napas yang memburu. ttd. Boim."

"Gito Top 95."

"Lupus juga Top 95."

"Aji nggak mau ketinggalan Top 95."

"Daku pun demikian-Gusur."

Gang ini biasa dipakai buat melarikan diri dari sekolah. Gang Senggol adalah jalan paling aman tempat anak-anak yang suka bolos pelajaran.

Satu-satunya anak yang nggak bisa masuk ke Gang Senggol adalah Gusur, karena doi kan kelewat gendut. Di Gang Senggol ini, semua anak SMA Merah Putih punya kenangan seru.

Dan saat itu Lupus bak jenderal perang membrifing strategi penyerangan. "Oke, semua jelas, kan? Jadi besok kita serbu anak SMA Tanah Merdeka. Ingat posisi masing-masing. Boim kita jadikan umpan, Anto dan Gusur menghadang di got. Boleh juga kalo mo ngumpet di tong sampah. Sementara yang lain mem-back up dari jauh. Inget, jangan kabur sebelum gue kabur duluan!"

Gito mengangguk-angguk. "Oke, Pus, gue setuju soal kabur-kaburan itu tadi. Kita sama-sama kabur. Yang penting sakit hati Boim harus dibalas dulu. Soalnya ini menyangkut nama sekolah. Gue bener-bener nggak rela Boim dijadiin bulan-bulanan. Itu kan kebagusan. Kenapa nggak jadi ember-emberan aja!" Boim cemberut. Anak-anak lalu toast.

"Oke, sampe besok!"

"Oke!"

***

Esokya Boim sedang menunggu teman-temannya dengan tidak sabar di pintu gerbang sekolah. Rencananya hari itu mereka bakal nyerang SMA Tanah Merdeka. Tapi tak seorang pun keliatan batang idungnya. "Mana nih anak-anak? Katanya mo nyerang...," keluh Boim sambil terus celingukan.

Dari kejauhan muncul Gusur. Boim langsung berbinar. "Nah, itu si gendut."

Begitu menemui Boim, Gusur langsung aja pasang muka pucet, lalu memberi alasan,

"Aduh, Im. Perutku tiba-tiba tiada beres. Daku mo ngebom dulu, ya. Kau sajalah yang pergi, jangan tunggu daku lagi."

Boim jelas jengkel, dan menarik kerah baju Gusur. "Nggak bisa! Lo harus ikut, Obelix!"

Gusur nggak berkutik. Dari jauh kemudian muncul Lupus, Anto, Gito, dan empat teman mereka.

"Hei, ngapain kalian malah berantem? Ayo berangkat!" ujar Lupus buru-buru melerai Boim yang menarik kerah baju Gusur.

Boim melepaskan kerah Gusur. "Abis si gendut ini mau minggat!"

Lupus pun mengajak mereka pergi. Gusur masih marah sama Boim. Mereka berdua berjalan berjauhan kayak orang musuhan.

Akhirnya mereka sampai di SMA Tanah Merdeka. Mereka mengintai dari seberang jalan, sambil bersembunyi di balik semak-semak. SMA Tanah Merdeka itu dijaga satpam. Tapi suasananya sepi. Tak ada seorang murid pun. Kesannya jadi angker. Mereka jadi rada keder juga.

"Walah, ada satpamnya. Apa sebaiknya kita batalin aja?" Anto yang pertama bersuara.

"Iya, Im. Gue kok mendadak pusing-pusing?" yang lain menimpali.

Gusur, merasa dapat banyak pendukung, langsung punya ide, "Iya. Kita berbakso ria saja lah! Biar daku yang traktir."

Boim berujar sinis, "Tumben lo, Sur. Biasanya pedit minta ampun! Ya udah! Kalian emang pengecut semua. Sana pada minggat. Biar gue serbu sendirian!" Boim hendak beranjak.

Lupus langsung menahan Boim. "Tenang, Im... tahan dulu. Kita bantuin deh. Tapi harus pake strategi. SMA itu kayaknya sepi. Anak-anak udah bubaran. Sana atur posisi masing-masing. Kita intai. Jangan-jangan mereka ngumpet."

Anak-anak bubar, mengatur posisi. Anto nyemplung ke got besar. Gusur yang ragu-ragu, akhirnya dijorokin Boim, dan ikutan nyemplung pula.

Tiba-tiba seorang berandal yang berbadan kekar keluar dari sekolah. Sendirian. Boim langsung menghampiri Lupus.

"Eh, Pus! Pus! Itu anak yang mukulin gue tempo hari," ujar Boim.

Lupus kaget. "Wah, gede amat!"

"Ah, masa lo takut, Pus? Gue aja digebukin!" sahut Boim.

"Bukannya takut, tapi gue kan orangnya nggak tegaan. Tapi okelah, kita sergap aja. Siap-siap. Moga-moga aja Tuhan melindungi kita. Amin!" Lupus komat-kamit berdoa, lalu mengusap mukanya pakai tangan.

Gito, Anto, Gusur, dan keempat anak lainnya udah siap-siap di posisi masing-masing. Nunggu perintah Lupus. Lupus lalu memberi aba-aba menyerang. Gusur langsung pucat pasi begitu melihat orang yang dimaksud. Gito yang memulai serangan. Langsung mencegat orang yang dimaksud. Berandal itu kaget. Lebih kaget lagi begitu Anto, Lupus, Boim, dan empat teman mereka muncul, meski agak takut-takut. Terjadi perkelahian tak seimbang. Berandal itu dikeroyok. Bak-bik-buk!

Ternyata berandal itu cukup tangguh. Ia melawan dengan gaya silatnya, hingga susah ditaklukkan. Tapi akhirnya berandal itu terhuyung-huyung, dan langsung didekap di ketiak Gusur.

Berandal itu kejang-kejang, kemudian pingsan. Anak-anak pun bersorak girang.

"Hidup Gusur! Hidup Gusur!" teriak mereka. Gusur memegang ketiaknya. "Kalo begitu, tiada sia-sia daku tiada mandi selama seminggu...."

"Huuuu pantesan!"

"Eh, ayo kita buru-buru minggat, sebelum temen-temennya datang!" cetus Lupus.

Anak-anak pun berlarian.

***

Esok siangnya Boim dan teman-temannya merayakan kemenangan di Kantin Pemadam Kelaparan. Boim mengangkat es cendol dan berujar, "Nah, ini sebagai tanda terima kasih gue! Kita minum cendol sampai kembung! Gue yang bayar!

Ayo! Ayo!"

"Boleh nambah tahu isi barang sepuluh biji, Bo?" pinta Gusur seraya mencomot tahu sekaligus tiga, dan memasukkannya ke mulut.

"Boleh! Pokoknya asal nggak lebih dari lima ratus perak seorang," tandas Boim.

Anak-anak sebel. "Wuuuuuu... pelit!" Boim tertawa-tawa puas.

"Eh, ngomong-ngomong, si Lupus mana? Kok nggak muncul-muncul?" ujar Boim kemudian.

"Lupus lagi nganterin si Poppi nyari bajaj. Ntar juga ke sini," Anto menyahut sambil mencomot pisang goreng.

Tapi tanpa setahu Boim cs, jiwa mereka sebenarnya sedang terancam. Siang ini anak yang kemaren dikeroyok langsung mengumpulkan empat temennya untuk bikin serangan balasan ke sekolah Lupus. Lupus yang sedang menemani Poppi berdiri di depan sekolah menunggu bajaj, secara kebetulan menengok ke arah jalanan, dan melihat kelima berandal yang datang itu. Lupus kaget. Ia buru-buru menyeret Poppi ke tempat yang tersembunyi. Poppi jelas belingsatan.

"Pop! Gawat! Anak sekolah yang kita keroyok kemaren, dateng sama temen-temennya. Pasti mo bales dendam. Cepet kamu cari bala bantuan di sekolah, saya mo ngabarin anak-anak di kantin!" bisik Lupus.

"Apa?" Poppi kaget setengah mati.

Lupus dan Poppi buru-buru lari ke dalam sekolah.

Sementara di kantin Boim masih bercanda-canda dengan teman-temannya. Gito giliran ngelawak. "Eh, iya, Im. Lo kemaren dapet salam dari Ana. Salam sayang, katanya."

"Ana? Ana yang mana ya? Cem-ceman gue banyak yang bemama Ana sih," Boim menjawab sombong.

"Itu Iho... Ananto Widodo... hahahaha...!" Gito terbahak puas.

"Ah, sial!"

Tiba-tiba Lupus menyerbu masuk dengan terengah-engah. "Gawat! Gawat! Anak SMA Tanah Merdeka menyerbu kemari!"

Anak-anak kaget, langsung pada berdiri. "APA???" .

Serta-merta anak-anak berlarian keluar kantin. Lupus langsung punya ide. "Ayo kita ngumpet di Gang Senggol!
Buruan!"

Lupus dan teman-temannya berlarian melintasi lapangan sekolah. Tiba-tiba dari ujung lapangan, kelima berandal itu muncul. Begitu melihat Lupus cs, mereka langsung saja mengejar.

"Hei, jangan lari lo! Pengecut!" teriak mereka.

Gusur pucat pasi dan berteriak, "Waduh, gawat! Oh, Tuhan, lindungi hamba-Muuuuuu!!!"

Mereka pun main kejar-kejaran.

"Aduh, kita dikejar-kejar kayak artis aja!" Lupus sempet-sempetnya ngelawak.

"Apa kita lawan aja mereka?" Gito timbul jiwa Rambo-nya.

''Jangan! Lo inget, satu orang aja kita kelabakan ngalahin, gimana kalo lima? Ayo, kita lari!!!" ujar Anto.

"Ya jangan lupa ke Gang Senggol!!!"

Lupus cs menghilang di balik tikungan. Dan langsung menuju Gang Senggol. Di depan Gang Senggol, mereka lantas berebut masuk. Semua terburu-buru hingga berdesakan. Saling nggak mau kalah. Beberapa saat kemudian, semua sudah berhasil masuk, kecuali Gusur, karena tubuh gendutnya. Tapi ia nekat masuk, dan tubuhnya pun terimpit. Nggak bisa masuk, nggak bisa keluar. Gusur berteriak-teriak panik, "Kawan-kawan, tolonglah daku! Jangan tinggalkan daku!

Oh, jangan biarkan deritaku. Ohhhh..."

Tapi masing-masing anak memikirkan dirinya sendiri. Semua menghilang di ujung gang. Sementara kelima berandal itu muncul di mulut gang. Melihat Gusur terjepit di situ, mereka tertawa menyeramkan. Gusur menoleh, ketakutan setengah mati.

"Nah, ni dia anaknya yang bikin gue pingsan nyium bau keteknya. Ayo kita abisin!" ujar si berandal.

Gusur ketakutan setengah mati. "Toloooong! Toloooong! Ampuuuuun! Ampooouuuuuuuun!"

Kelima berandal itu siap-siap mau menghajar Gusur, .ketika tiba-tiba Poppi datang bersama dua polisi dan kepala sekolah.

"Hei! Hentikan!" teriak Pak Kepsek.

Kelima berandal itu kaget. Mereka menoleh. Dua polisi langsung menyergap mereka Mereka tak berkutik. Kepsek lalu memerintahkan polisi, "Bawa ke kantor saya, Pak! Kita selesaikan masalah ini di kantor. Panggil Lupus!"

Di kantor Kepsek, Lupus, Boim, Gito, Anto, dan keempat teman mereka serta kelima berandal itu duduk sambil menundukkan kepala.

Kepsek sedang menghakimi mereka.

"Yunita? Nyit-Nyit? Wah, itu kan incerannya si Boim," kata Poppi.

Berandal itu kaget. "Hah? Lo ngincer adek gue?" "Eh, oh..." Boim langsung gelagapan.

Anto buru-buru mengingatkan, "Udah! Udah, jangan ribut! Ngomong-ngomong gimana nasib si Gusur? Kan tu anak masih kejepit di Gang Senggol."

"Astagfirullah! Bener juga! Ayo kita liat!"

Anak-anak pun buru-buru ke Gang Senggol.

***

Gusur masih kejepit di Gang Senggol. Anak itu udah nangis sesenggrukan. Tak berdaya. Anak-anak tertawa ngeliatnya. Mereka berusaha mengeluarkan Gusur, tapi nggak bisa-bisa. Padahal udah pake galah, linggis, dan perkakas lainnya. Semua putus asa. Lupus lalu buka suara, "Udah, deh, Sur. Lo bertahan aja selama beberapa hari. Jangan makan, jangan minum. Nanti kan kurus sendiri. Nah, pada saat itu lo bisa keluar dari gang!" Gusur merengek, "Lupus gilaaaaaa!" Anak-anak pada tertawa semua.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience