3. Pelarian di Malam Minggu

Romantic Comedy Completed 2485

3. Pelarian di Malam Minggu

Lupus ternyata punya musuh juga. Bukan, bukan si Boim. Playboy itu selama ini memang sering ngamuk-ngamuk kalau diledek Lupus, tapi itu tidak cukup untuk membuat mereka bermusuhan. Diem-diem kan si Boim emang naksir sama Lulu, adiknya Lupus yang kece itu. Jadi mana mungkin dong Boim musuhi Lupus. Dia lebih rela dijadikan bahan ledekan, daripada enggak boleh main ke rumah Lupus lagi.

Tentang naksirnya Boim sama adiknya itu, Lupus tak menanggapi,"Lebih baik kamu kesantet jin iprit deh, dari pada pacaran sama Boim!" nasihat Lupus kepada Lulu.

"Emangnya kenapa?"

"Doi jarang mandi!"

Tapi walau begitu, Lupus toh tak keberatan kalau Boim sering-sering main ke rumah. Setidaknya Lupus kan bisa pinjam motor Boim yang butut untuk jalan-jalan.

Di samping itu, Boim juga sering meminta nasihat Lupus kalau lagi naksir cewek atau ada problem lain, meski jawaban Lupus lebih sering membuat problem Boim jadi tambah complicated, ketimbang terpecahkan. Jadi tuduhan bahwa Boim musuhkan sama Lupus, jelas salah.

Lantas, siapa musuh Lupus?

Bapaknya Rina. Ya, bapaknya Rina memang amit-amit deh nyebelinnya. Galak banget. Pada hal si Rina-nya nggak gitu-gitu amat. Dan, kamu pasti paling tidak memaklumi kalau Lupus akhir-akhir ini jadi jarang ngapelin Rina. Padahalkan Rina itu ceweknya.

"Jadi malam minggu ini kamu nggak datang lagi ke rumahnya?" tanya Boim saat mereka berdua asyik ngegosip di kantin.

"Nggak tau, ya, saya masih keki berat sih sama bokapnya gara-gara pengalaman masa lalu!"

Ya, kenangan-kenangan indah masa lalu antara Lupus dengan bapaknya Rina, memang kelewat berkesan. Pertama kali Lupus datang, sudah diintrograsi macam-macam, dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Seperti,"Rambut anda kok gondrong sekali? Apa di sekolah anda tak ada peraturan agar seorang siswa itu harus berambut rapi?"

Dari cara bicara beliau yang ber-anda-anda dengan Lupus, cukup membuat Lupus merasa dimusuhi. Tapi toh Lupus selalu bisa menjawab dengan segala kepolosannya,"Ah, mungkin bapak ngiri ya, karena rambutnya nggak bisa panjang-panjang!"

Bapaknya Rina yang kepalanya memang rada botak, jelas melotot. Sejak itu, acara malam minggu Lupus pun selalu berantakan. Minggu depannya, ketika Lupus lagi asyik ngerayu Rina, tiba-tiba aja bapaknya Rina nongol dari dalam sambil sibuk mengotong-gotong disel. Saat itu memang lagi mati lampu, dan suasana agak remang-remang. Tanpa bicara ba bu lagi, sang bapak tercinta itu langsung menyalakan diselnya nggak jauh dari mereka berdua. Lupus pun langsung keki setengah mati. Sebab, gimana bisa ngobrol dengan mesra di tengah gemuruh suara disel yang menderum-derum itu?

"Wah, salam kompak aja deh buat bapakmu, Rin!" cetus Lupus jengkel. Tentunya ketika sang bokap itu menghilang ke dalam.

Tapi minggu depannya, Lupus belum kapok datang lagi. Kembali asyik ngobrol di teras depan. Sementara sang bokap asyik baca koran di ruang tamu. Sebelnya, ada aja yang dilakukan sang bokap itu. Sebentar-sebentar muncul sambil menyuruh Rina melakukan ini-itu yang rasanya nggak perlu," Riiin, kamu belum menyiapkan buku-buku pelajaran buat sekolah?"

Dengar saja! Padahal besoknya hari Minggu.

Atau,"Riiin, kamu belum nimba air untuk mandi nenekmu?"

Mana mungkin! Mana mungkin cewek secakep Rina disuruh nimba air, padahal begitu banyak pembantu Rina asyik pacaran dengan babu tetangga sebelah! Saat itu di rumah Rina memang mati lampu lagi, dan otomatis mesin airnya memang mati juga. Tapi itu tetap menyebalkan!

Dan yang paling menyebalkan waktu Lupus kebetulan datang agak lewat magrib, abis nyusun tugas praktekum biologi sama Meta. Begitu datang, ceritanya Lupus mau ikutan sembahyang di rumah Rina. (Sungguh mati deh, dia bukannya mau nyari muka. Pas kebetulan lagi alim aja.) Tapi bapaknya Rina yang lagi asyik baca koran di ruang depan, nyeletuk, "Anda mau sembahyang? Sembahyang apa? Waktu Isya belum lagi datang, sedang Magrib sudah berlalu!"

"Ah, enggak - Cuma mau numpang ‘assalamu’alaikum’-nya aja. Soalnya waktu sembahyang di rumah temen tadi nggak sempat, keburu mau ke sini!" jawab Lupus kesal.

Dan satu lagi yang bikin Lupus keki, adalah saban mau pulang mau nggak mau dia harus pamit sama bokap itu. Maka begitu sang bokap muncul dari ruang TV di ujung ruang tamu itu, Lupus dari jauh sudah harus pasang wajah diramahramahin, sambil cengengesan. Detik-detik itu adalah detik-detik yang paling menyiksa, karena sang bokap akan berjalan dengan langkah-langkah angkuh dan penuh kemenangan. Menjawab sapaan selamat malam dari Lupus dengan angkuh. Jawabannya kadang terdengar begitu menyentuh perasaan Lupus, "Alhamdulillah, akhirnya kau pulang juga,

Nak!"

Wah, betapa sopannya!

Maka malam Minggu selanjutnya, Lupus selalu mendahului ngomong yang tak kalah sopan dengan sang bokap, " Saya tau, Bapal pasti merasa sangat sedih dengan perpisahan ini. Saya mengerti perasaan Bapak. Tapi apa daya, hari telah larut malam, dan saya harus pulang. Tapi bapak tak usah khawatir, minggu depan saya toh datang lagi." Sang bokap pun akan kembali masuk ke ruang TV dengan wajah dongkol.

***

"Kamu juga sih,Pus, suka keterlaluan sama dia!" tuduh Boim.

"Lho, apanya yang keterlaluan? Saya bicara apa adanya kok!" bela Lupus.

"Ah, menurut saya kamu tetap keterlaluan. Kamu kayaknya mesti belajar banyak dari saya tentang hal-hal yang seperti itu. Tentang bagaimana kita bisa menarik simpati calon mertua kita, sehingga kita bisa menguasai anaknya. Saya rasa saya punya kelebihan-kelebihan tersebut sehingga saya selalu dicintai oleh calon mertua saya!" celoteh Boim begitu yakin.

Lupus memandang heran bercampur kesal kepada Boim, "Maksudmu, calon mertua kamu yang mana?" "Ya, nanti, kalau saya sudah berhasi ngegaet Svida!" sahut Boim kalem.

Lupus menjulingkan matanya.

Sementara bel berdering, pelajaran matematika segera dimulai. Boim segera mengajak Lupus masuk, tapi Lupus menolak, "Nggak ah, bosen belajar matematika melulu. Kamu aja duluan, ntar saya belakangan. Tapi nggak janji lho, ya!"

Lupus pun sendirian lagi. Anak-anak lain sudah pada berlarian ke kelas masing-masing.

Tapi belum lagi napas Lupus reda, tiba-tiba makhluk nyebelin lainnya sudah ngejogrok di sisi Lupus.

"Kau boleh pandai dalam banyak hal, Lupus, namun soal menaklukkan hati calon mertua - kupikir akulah orangnya. Pengalamanku merenggut simpati papi dan mami Fifi bisa engkau jadikan pengalaman. Meski..." "Meski akhirnya lo diusir. Ya, kan!" maki Lupus memotong ngocol-ngocol makhluk di sisinya.

Makhluk itu ternyata seniman sableng Gusur, langsung ngiyem dan ngacir meninggalkan Lupus.

Lupus sendiri lagi. Pura-pura tak mendengar ketika Meta, Ita, Utari mengajak masuk. Ya, dia harus tabah! Pikirnya, jangan sampai tergoda hasutan teman-temannya untuk masuk ke kelas, dan bermatematika-ria dengan Pak Sidahuruk!

Dan ternyata ketabahannya memang tak sia-sia. Karena tak lama kemudian dia melihat seseorang gadis kecil berjalan memasuki perpustakaan. Rina! Lupus segera bangkit hendak menyusul Rina.

"Eh, Nak Lupus, bayar dulu dong!" cetus ibu kantin.

"O iya, sori kelupaan. Berapa?"

"Eeng... tadi Nak Gusur ngambil tahu yang katanya Nak Lupus yang mau bayarin." Lupus kaget.

"Ngambil tahu berapa biji dia?"

"Tujuh biji."

"Tujuh?"

"Ya, jadi semuanya lima ratus rupiah."

Lupus memaki-maki sambil menyerahkan duit lima ratus dengan kesal. Lalu menyusul Rina.

Di perpustakaan, dia melihat Rina yang lagi asyik ngebaca. Lupus mendekat.

"Halo!"

Rina menoleh kaget.

"Eh, kamu ngebolos juga?"

"cuma sekali ini, kok. Saya lagi suntuk banget nih. Oya, nanti malam bapak kamu ada di rumah?" Rina diam. Kecerahan di wajahnya sirna. "Kok diam?"

"Memangnya kalau dia ada di rumah kenapa? Kamu ogah main ke rumah lagi seperti tiga minggu terakhir ini?

"Enggak, Rin, saya punya rencana bagus. Saya mau ngajak kamu nonton nanti malam. Saya tau, bokap kamu pasti nggak bolehin, tapi kita escape aja."

Dan siang itu, kala yang lain lagi pusing dengan pelajarannya. Lupus pun sibuk berembuk dengan Rina. Tentang rencana nanti malam.

***

Saat itu malam belum larut. Paling baru sekitar jam tujuh. Tapi suasana di kebun yang tak jauh dari rumah Rina amat sangat gelam sekali. Bunyi-bunyi jangkrik dan binatang malam lainnya kadang memecahkan kesunyian yang mencekam.

Tiba-tiba sesosok gadis dengan muka yang sangat pucat menyeruak, berjalan di atas ilalang yang tumbuh liar.

"Sssst, ke sini, Rin!" terdengar bisikan halus yang hampir membuat jantungnya copot.

"Aduh, Pus, jantung saya hampir copot. Kamu tega-teganya bikin rendez-vous di tempat jin buang anak kayak gini!" kata Rina sambil mengelus-elus dadanya.

"Akhirnya kamu datang juga Rin. Kamu lebih tega membiarkan saya nungguin setengah jam di sini. Sampai digigiti semut terus!"

"Abis Bokap sibuk mondar-mandir terus sih di ruang depan. Gimana saya bisa lari?"

"Itulah, radar bokap kamu kan ada di mana-mana, jadi tempat rendez-vous yang aman ya Cuma di kebun sini aja. Gimana? Kita pergi sekarang?"

"Yuk."

"Oya, kebetulan saya berhasil menculik secara paksa motornya Boim, ketika dia lagi ketiduran di rumah saya. Biar aja, di sana ada pembantu saya kok. Jadi paling tidak si Boim ada yang nemenin." Lupus menarik tangan Rina ke tempat motor terparkir.

"Jahat ih!"

Dan mereka pun asyik berboncengan ke bioskop. Udara dingin yang menerpa tak mengganggu keceriaan mereka. Sampai ketika di ujung jalan sekelompok polisi sedang melakukan razia.

"Polisi-polisi memang diciptakan untuk merusak kebahagiaan orang!" maki Lupus kesal, sambil mengurangi kecepatan motornya.

Rina melongokkan kepala dari balik kepala Lupus.

"Surat-surat kamu lengkap, Pus?" tanya Rina.

"Lengkap, kecuali SIM dan STNK."

"Busyet!"

"Dekap saya erat-erat, Rin, saya mau gila-gilaan sebentar!" "Mau ngapain kamu, Pus?" tanya Rina cemas.

Lupus tak menjawab, Cuma menyapa ‘selamat malam’ pada polisi yang sibuk merazia. Polisi menggangguk, menjawab sapaan Lupus, lalu motor Lupus pun melesat cepat sebelum polisi itu sadar apa yang terjadi.

"Priiiit, priiiit!" suara sempritan polisi tak mampu menghentikan motor Lupus yang menghilang di balik tikungan jalan.

"Gila kamu, Pus!" maki Rina.

Lupus cuma nyengir.

Tak lama, mereka pun terlihat di antara penonton lain yang mengantri karcis. Dan sempat membeli beberapa makanan kecil sebelum memasuki gedung bioskop.

***

Lampu-lampu sudah dimatikan, ketika Lupus dan Rina sibuk mencari-cari tempat duduk yang enak.

Film-film iklan pun segera ditayangkan.

"Uh, rasanya lega banget deh akhirnya kita bisa berhasil duduk dalam gedung bioskop ini. Terlepas dari tangan bokap kamu yang galak dan jelek itu!" kata Lupus sambil menghela napas panjang.

Namun orang di sebelah Lupus tiba-tiba mencolek-colek pundak Lupus sambil berkata berat, "Boleh minta apinya,

Dik?"

Lupus segera mencari-cari korek api yang tergantung pada kunci motor Boim dalam kegelapan, lalu dengan sopan dinyalakannya buat tetangga sebelah yang meminta. Dan alangkah kagetnya Lupus ketika nyala api itu menerangi wajah jelek yang sangat dimusuhinya. Wajah galak bapaknya Rina.

"Bapak! Bapak ke sini sama siapa?" jerit Rina kaget.

Sementara Lupus langsung pingsan dengan sukses.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience