Rate

Chapter 2

Romance Series 1371

Ruangan yang luas dengan lampu yang cukup terang dan besar, berkesan mewah memang namun gaya lampu simple dengan dekorasi klasik membuat ruang keluarga ini elegan. Sofa yang berjajar panjang besar dan nyaman. Karpet

Suasana malam terasa sepi dirumah Delia yang besar ini. Tapi, tidak untuk malam ini. Karena sepupunya yang tertua yaitu Jason Jedrik sedang berlibur di Bandung

“Del…”

“Hmm…”

“Bagi nomor cewek yang tadi sore, lah.”

Delia menggeleng. “Gak bisa, dia udah punya cowok.”

“Dua-duanya punya cowok?”

Delia tampak berpikir. “Hmm… Kalo Kak Adara… Denger-denger baru putus.”

“Wah, berarti bisa dong.”

“Kak Dara, mana mau sama cowok kaya lu.”

“Emang cowoknya seganteng apa? Lu, tau sendiri, kan. Banyak cewek yang ngejar-ngejar Gw disini.”

Delia mendengus. “Baru gitu aja, belagu.”

“Eh, justru itu kebanggaan yang hakiki. Gw lahir sebagai pangeran tertampan dan emang udah ditakdirin begini.”

Delia menggeliat, beranjak dari sofa menuju kamar. “Hoam… Ngantuk, awas. Gw mau tidur.”

Sepupunya menahan ujung baju tidur Delia yang bergambar beruang kecil. “Del… Gw minta nomornya dong.”

“Gak punya.”

“Bohong, lu.”

“Kalo suka kejar, usaha sendiri.”

“Yah elah… Pelit amat. Awas aja, kalo lu butuh Gw.”

Delia acuh pergi begitu saja.

“Ah… rese lu, gendut.” Geram sepupunya menatap kesal.

Tiba-tiba terdengar, “Kak Jason…” bisik suara lembut dari belakang telinganya.

“Hmm…” Sahut Jason tanpa menoleh.

“Tasha kenal sama Kak Adara.”

Mendengar itu, Jason langsung menatap Jelinda Tasha dengan mata yang berbinar penuh harap.

“Kak Adara itu lawan badminton Tasha di gor, setiap hari minggu mereka sering di gor badminton komplek sebelah.” Lanjut Tasha.

“Kalau begitu, berarti kamu punya nomornya Adara?”

Tasha menggeleng polos. “Tidak...”

“Hah… Kau ini, memberi harapan palsu.”

“Tapikan, Kakak bisa minta langsung.”

“Mana bisa, Sha.”

“Katanya ‘Pangeran’ tapi malah gak percaya diri minta nomornya. Gimana, sih.” Ejek Tasha kembali membaca komik.

“Hari minggu Gw ikut olahraga, deh.”

“Minggu ini, Tasha gak bisa. Ada agenda lain. Kakak pergi sendiri aja.”

Jason menghela nafas. “Baiklah, Gw pergi sendiri.”

***

Galena, Berly, Andrea dan Adara memasuki kelas satu per satu.

Terlihat ransel marun yang menggantung disamping meja belajar sedikit berbeda, Berly mengerutkan alis. “Apa itu?” Tunjuk Berly pada ransel milik sahabatnya.

Mereka semua melihat ransel marun yang sebelumnya tipis, sekarang menjadi penuh dan padat akibatnya perlahan resleting ransel tersebut pun terbuka sendiri.

Adara sedikit telat melihat ransel yang ditunjuk Berly. Resleting ransel semakin terbuka lebar. Adara bergegas meraih ranselnya. “Apa ini?”

Adara membuka ransel dan mengeluarkan benda besar yang terbungkus paper bag yang bertuliskan HamsTer, brand yang bergengsi.

Galena dan Berly terbelalak bersamaan.

“Apa maksudnya ini?” Ujar Adara.

“Apa lagi kalau bukan hadiah.” Timpal Galena.

“Coba buka!” Pinta Berly penasaran.

“Paling paperbag-nya doang, isinya bukan produk mereka.” Ketus Andrea.

Galena dan Berly semangat membuka bingkisan, sementara Adara membenarkan resleting ranselnya yang rusak dengan rasa jengkelnya. “Hadiah apaan, ini merusak namanya!”

“Udah, kita lihat dulu isinya.” Sahut Galena.

Berly melanjutkan. “Siapa tahu setimpal sama kerusakan ranselmu.”

“Kak Adara!” Teriak seseorang didepan pintu kelas.

Semua orang menoleh pada sumber suara, termasuk Galena dan Berly yang terhenti membuka pita.

“Itu… punya seseorang. Jangan dibuka!” Lanjutnya.

Galena dan Berly melirik bersamaan pada kotak merah yang mereka genggam.

“Ini?” Tanya Galena mengangkat benda itu.

“itu hadiah milik seseorang… Jangan dibuka, aku susah payah membawanya kemari demi seseorang.” Jelas Anes, menghampiri.

Adara berdiri, membelalak. “Maksudmu? Ini hadiah yang kau buat untuk seseorang, sampai kau tega membuat ranselku rusak.”

Aneska tertunduk. “Maaf, Kak. Tadi ku pikir tak akan merusak ranselmu.”

Galena melipat kedua tangannya didepan dada. “Woah, Anes sedang jatuh cinta. Siapa dia?” Ujarnya menggoda agar tidak menarik perhatian teman kelas memerhatikan mereka.

Andrea duduk dikursi depan dan mengambil ransel Adara, mencoba memperbaiki.

Adara menghela nafas kembali duduk. “Kenapa harus disimpan disini. Pergilah… dan bawa itu jauh-jauh dariku.”

Aneska berlari tanpa membawa kotak berpita emas yang membuat Kakaknya harus memarahinya.

Didepan pintu, “Anes…” seseorang mengkhawatirkan dia.

Aneska hanya menoleh, berlari dengan wajah merah yang terlihat jelas diwajah putihnya.

“Anes…” Teriak seorang teman Aneska.

“Apa-apaan dia, harusnya simpan sendiri. Kenapa harus diranselku.”

“Kayanya temen sekelas deh, yang dia suka.” Kata Galena berpendapat.

Berly berjalan meraih kursinya. “Yup, kalau nggak? Gak akan simpan disini.”

Andrea yang masih memperbaiki resleting menyodorkan ransel. “Ranselmu memang sudah tua, jadi wajar saja rusak.” ujarnya.

Adara mendengus.

“Penasaran gak sih, liat kotaknya aja mewah. Paperbagnya aja brand ternama.” Tutur Galena.

“Habis berapa duit, tuh. Niat banget beli buat cowok. Cowoknya matre, nih.” Ketus Berly.

***

Dilapang sekolah banyak murid yang berjalan bersama teman-temannya, suara tawa dan perbincangan saling beradu terdengar olehnya. Selama dua pekan ini, Adara menjauhi orang-orang yang mungkin berusaha untuk mendapatkan dirinya. Dengan perasaan yang dia keluhkan selama ini, dia berniat untuk tidak memerdulikan orang lain lagi.

“Widih… Delia kecengannya keren ya?” Puji Galena melihat Delia tengah berbincang dengan sosok laki-laki yang tinggi membawa motor merah.

“Apaan, modal motor doang, paling wajahnya biasa aja.” Ketus Berly.

“Adara, Galen, Berly…” Teriak Andrea didepan gerbang yang tak jauh dengan Delia.

“Kita nanti nonton konser, yuk.” Lanjut Andrea.

Galena mengambil tiket dari tangan Andrea. “Konser apaan?”

“Kak Adara, Delia duluan.” Ujar Delia dari atas motor ninja merah.

Adara menoleh bersamaan dengan sahabatnya.
Wajah jutek Adara memang tidak merubah kecantikannya. Dia mengangguk dan tersenyum pada Delia yang melambaikan tangan.

“Jadi… gimana, Ra? Ikutkan?” Tanya Andrea.

“Ah… Gimana ntar aja. Gak, janji.” Sahut Adara masih memerhatikan Delia.

“Bukannya itu, cowok yang kemarin?” Batin Adara.

Bus datang bergantian dengan masing-masing jurusan, mereka pun berpisah dengan
Galena dan Berly. Tak lama, bus jurusan Andrea datang, menyisakan beberapa orang lagi dihalte bus. Adara sadar, bahwa Andrea tidak naik busnya.

“Kenapa kau tak naik?” Tengok Adara.

Andrea menoleh sebentar kemudian tersenyum sambil menarik nafas. “Aku mau pastikan kamu ikut nanti malam.”

Adara sedikit terkejut dan berkata. “Apa? Kenapa? Nanti aku akan…”

Andrea langsung melanjutkan perkataan Adara. “Mengabari ketidak pastian…”

Adara terdiam mendengar Andrea berkata demikian.

“Itu membuatku terlalu jenuh menunggu.” Lanjut Andrea sembari tersenyum lebar menatap Adara.

“Maksdumu?” Tanya Adara.

Bus jurusan Adara pun tiba didepan halte.

“Tidak… Ayo, Aku temani sampai tujuan.” Sahut Andrea mendorong punggung Adara untuk naik bus.

Sampai Adara duduk, dia hanya terdiam memikirkan sesuatu.

“Aku hanya pergi ke suatu tempat saja, tak usah pikir yang aneh-aneh.” Kata Andrea seolah memahami apa yang dipikirkan Adara.

“A-apa? Tidak.” Sahut Adara merunduk malu, “kenapa dia tahu apa yang aku pikir? Ah… memalukan.” Jerit batinya.

CHU BERSAMBUNG (^.^)/

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience