Rate

Chapter 01

Romance Series 1371

“Adara Peoni… Adara?” Ibu Guru celegak-celinguk cari Adara.

“Psst… Adara, kau dipanggil.” Bisik sahabatnya.

“Hadir, Bu…” Jawab Adara lemas.

“Apa dia sakit?” Tanya Berly pada Galena yang duduk disamping kursi Adara.

“Aku rasa begitu, apa sebaiknya kita antar dia ke UKS?” Usul Galena.

“Berly Kayla…” Panggil Ibu Guru yang sedang mengabsen muridnya.

“Hadir…” Berly mengacungkan tangannya, “coba tanya dulu.” Lanjutnya pada Galena.

“Adara, apa kau sakit?” Tanya Galena.

Adara masih membungkam wajahnya.

“Pegang keningnya!” Ujar Berly.

Galena memegang kening Adara perlahan. Namun, Adara memalingkan wajahnya ke jendela.

“Apa kau baik-baik saja?”

“Aku tak sakit… jangan khawatir.” Sahut Adara.

“Hmm… baiklah, kalau ada apa-apa cerita saja. Kami siap mendengar.” Ucap Galena.

Adara hanya terdiam sampai kelas selesai.
Dihalaman sekolah, Galena dan Berly berjalan dibelakang Adara.

“Ada apa denganya, apa dia sakit?” Tanya Andrea yang berjalan bersama kedua sahabat Adara.

“Dia bilang tidak. Dan dia minta kita jangan mengkhawatirkannya.” Sahut Galena.

“Mungkin lagi ada masalah keluarga.” Duga Berly.

“Hmm, benar. Kalau masalah cinta pasti dia curhat langsung sama kalian.” Ujar Andrea.

“Iya benar, nangis-nangis di gudang sekolah.” Ketus Berly.

“Nanti pasti dia cerita sendiri, asal kita terus berada disampingnya.” Kata Galena.

“Ok, kita tunggu saja. Galena, Andrea… Aku mau mampir ke toko dulu, kalian duluan saja ya.”

“Siapa juga yang mau bareng sama cewek tomboy kaya lo.” Ketus Andrea.

Berly memelototi Andrea si Ketua kelas yang menyebalkan dengan tangan mengepal.

Andrea menghindar dan bersembunyi dibelakang Galena dengan lidah mengejek. “Ble…”

“Hati-hati Berly, jangan sampai kena hujan. Cuaca sedang tidak mendukung.” Pesan Galena.

“Um… benar juga. Mendung sekali,” Sahut Berly menatap langit kelabu, “kalau begitu aku harus cepat pergi. Kau juga Galen, cepat pulang.”

Galena mengangguk.

“Kau tak mengatakan selamat tinggal padaku?” Tanya Andrea.

“Tak sudi, aku. Dasar cemen…” Ejek Berly lalu pergi.

“Kau ini laki-laki, kenapa tak lawan dia?”

“Hah, yang benar saja? Lawanku perempuan seperti dia.” Elak Andrea.

“Bilang saja, kau takut pada Berly. Atau jangan-jangan…”

“Jangan-jangan apa?”

“Sepertinya kau menyukai Berly?”

“Otakmu sepertinya tidak sehat hari ini, Galena. Apa perlu ku pijat kepalamu?” Tanya Andrea yang mengacak rambut Galena kemudian melarikan diri.

“Andreaaa…” Teriak Galena.

Sampai di halte Andrea berhenti.

“Kau ini sungguh menyebalkan.” Ucap Galena setelah menyusul Andrea.

“Disana…” Tunjuk Andrea ke seberang jalan.

“Apa?”

“Aku rasa itu yang menyebabkan Adara diam hari ini.”

Alis Galena mengerut. “Siapa itu?”

“Kanya dibonceng…”

“Johan?” Teriak Galena murka bersamaan dengan petir hujan. “Benar-benar, pria tak tahu diuntung!”

Hujan pun turun dengan deras sekaligus yang membuat suara Andrea tidak terdengar Galena.

“Galen, sepertinya kita harus mencari Adara sekarang juga.” Teriak Andrea ditelinga Galena.

“Tak perlu kau suruh, aku akan mencarinya. Kau, carilah ditoko buku. Aku cari dia di Taman.” Seru Galena mengarahkan.

“Baiklah, kita berpencar sekarang.”

Mereka berlari menembus hujan lebat walau tak tahu pasti keberadaan Adara saat ini. Yang pasti, mereka mengkhawatirkan Adara yang untuk kesekian kali sahabatnya disakiti. Adara tak pernah menjalani kisah cinta yang bahagia, dia selalu dikhianati, dimanfaatkan dan diperas. Sungguh Adara yang malang.

***

Dijendela kamar. “Kenapa hari ini harus hujan? Padahal aku ada janji.”

“Itu tandanya Tuhan mengetahui isi hatiku…” Sahut suara yang lemah dari atas kasur.

“Memangnya kenapa? Apa kakak putus dengan Johan?”

“Um… permintaanmu didengar oleh Tuhan.”

“Sudah ku bilang, dia itu pembohong. Kakak sih…”

“Bodoh dan bodoh…” Sahut Adara, menyalahi diri sendiri.

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Dia gak pantas buat kakak. Makanya Tuhan membuka kebohongan Si Johan tengil itu.”

Adara mengalihkan pembicaraan. “Anes… Kau bilang, ada janji?”

“Heem… kenapa? Kakak mau antar?”

Adara mengikat rambutnya. “Iya, sana ambil kunci mobilnya. Aku ganti baju dulu.”

“Wah… kenapa tak sering-sering saja…”

Adara melanjutkan perkataan Adiknya, Aneska. “Sering-sering patah hati, begitu maksudmu?”

“Ah, itukan sudah biasa.”

“Kau ini, memang tak tahu terimakasih. Cepat ambil kuncinya, sana!”

“Baiklah…” Sahut Aneska, pergi keluar kamar.

“Siapa bilang, aku akan berlarut-larut dalam kesedihan? Buktinya, aku sama sekali tidak menangis.” Gumamnya didepan cermin.

Tak lama kemudian Aneska kembali. “Kakak, Ibu bilang tunggu hujan reda dulu... Kak, kakak nangis?”

“Mustahil…tadi aku kuat melihat mereka, tapi kenapa begini?” Batin Adara kemudian menjawab Aneska. “Aku terlalu lama bercermin…” Elaknya menghapus air mata.

“Oh, aku kira kelilipan…” Ketus Aneska.

“Anes...selagi tunggu hujan reda, suruh kakakmu makan dulu. Dari kemarin gak makan-makan. Diet buat apa? Badan kurus juga.” Omel ibunya dari bawah tangga.

“Iya, bu… Ayo kak, kita makan.” Ajak Aneska.

Mereka berdua turun dari kamar dan duduk berhadapan dimeja makan.

“Nih, ibu masakan makanan kesukaanmu semua. Tak usah diet-diet dimasa pertumbuhan. Jadi tak sehat nantinya, cepat makan.”

“Iya, kak… jangan kalah sama aku. Semua masakan ibu, aku suka.”

“Jangan terlalu banyak juga, nanti kau terlalu gemuk. Kaya temanmu itu, si… siapa, lupa ibu namanya.”

“Delia?”

“Nah, Delia… Ibu lupa terus namanya. Itu kemarin dia cerita, kesusahan beli baju. Sampai harus ngejait sendiri baju-bajunya. Ribet juga urusanya kalau kamu gemuk begitu, Nes.”

“Iya, bu…” Jawab Aneska sedikit bosan mendengar ibunya.

Ibunya masih terus mengoceh. “Belum beli bahan baju, ngukur, belum bayar tukang jahitnya, hasil jahitnya bagus apa nggak, belum desainnya, belum tentu kecocokan bajunya… Ribet juga, kan?”

Adara menarik menghela nafas panjang. “Iya, bu. Sekarang kita makan dulu. Hujannya udah agak reda, tuh.”

“Nih, belut gorengnya. Itu tuh, bebek bakarnya. Ibu sengaja bakar bebek, biar kamu mau makan.”

Adara merasa matanya sedikit perih karena merasa haru. “Iya, terimakasih bu. Adara, pasti habiskan makanannya.”

“Kenapa? Pahit, ya? Apa kecapnya kurang?” Tanya Ibu, melihat Adara menangis melahap cepat dan penuh.

“Biar Anes bawakan kecap manis lagi kalau bebeknya kurang kecap, kak.”

Adara menggelengkan kepalanya.

“Ambilkan saja Nes… Kau ini, kalau mau makan bebek bilang saja, tak usah mogok makan atau diet segala. Ibu pasti buatkan, kalau kau minta. Sudah, jangan nangis.”

“Iya, kak. Aku tadi minta semur jengkol aja gak dimasakin. Demi bebek bakar kakak, nih.” Aneska menyodorkan kecap.

Ibu Adara mengingatkan.“Pelan-pelan saja makannya. Nanti tersendak.”

Ibu tersenyum melihat Adara makan dengan lahap. “Nih, seladanya. Ibu jadi ingat sama Kakekmu. Kau suka selada seperti Kakekmu.” Kata Ibu menaruh selada diatas piring Adara yang sudah setengah habis.

“Gimana, kalau minggu depan kita kesana?” Usul Aneska, antusias.

Ibu tersenyum. “Tentu, nanti Ibu ijin dulu sama Ayah, ya.”

Aneska mengangguk, senang. “Um…”

“Cepat, makan. Nanti aku tak mau antar kalau hujan sudah reda.” Kata Adara.

Aneska menghabiskan semua nasi dan lauk yang ada dipiringnya.

Setelah selesai makan dan hujan sedikit mereda, Adara menyalakan mobil brio hitam milik Ibunya untuk mengantar Aneska ke rumah Delia.

“Adara, kau bawa ponsel tidak?” Tanya Ibu dari depan pintu rumah.

“Tidak, bu… Sebentar kok, cuman nganter Anes aja. Udah itu, aku pulang.”

“Oh, ya sudah… Hati-hati! Jangan ngebut bawanya, jalanan licin habis hujan.” Pesan Ibu.

***

Dihalte yang sama, Andrea dan Galena kembali bertemu.

“Aku sudah mencarinya disekitar taman. Tapi, tak ada siapapun disana.” Kata Galena yang sudah menggigil, kedinginan.

“Sama… dan sudah ku coba hubungi teleponya, masih tidak ada jawaban.”

“Apa, kita kerumahnya saja? Untuk memastikan dia, baik-baik saja?”

“Biar aku saja yang kerumahnya. Kau pulang saja, Galen.”

Galen menolak. “Tidak, kita pergi sama-sama saja.”

“Tapi, kamu bisa masuk angin dan demam. Biar ku antar kau pulang saja, dulu.”

Galena menggigil. “Sshh… baiklah. Tapi, cari dia setelah mengantarku.”

Andrea mengangguk. “tunggu disini, sebentar. Aku belikan minum hangat dulu.”

Lampu merah didekat halte bis sekolah. “Kak, bukannya itu kak Galena?”

“Ah, iya benar. Itu Galena sama Andrea. Kenapa mereka basah kuyup begitu?”

Setelah lampu hijau menyala, Adara bermaksud untuk menghampiri mereka namun bis datang. Andrea dan Galena sudah menaiki bis sebelum lampu hijau menyala.

“Yah, pahlawan kesiangan…” Ejek Aneska.

“Tak apalah, biar mereka cepat sampai rumah. Dari pada ikut denganku, yang ada mereka malah semakin kedinginan dan masuk angin.”

Chuuu bersambung

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience