2. Kesempatan Kedua

Fantasy Series 308

Di pagi yang cerah ini terlihat jelas gumpalan awan yang terbentang luas di atas langit. Alex memandangi awan-awan itu di rumput halaman depan rumahnya. Posisinya yang terlentang menghadap langit merupakan posisi yang tepat untuk menyaksikan langsung awan-awan yang bergerak secara perlahan itu. Sesekali dia melemparkan senyumannya tanpa memalingkan pandangannya. Dia terlihat begitu bahagia. Tanpa sadar olehnya, kalau ayahnya sedang memperhatikannya dari balik jendela rumah.

Terdengar suara langkah kaki yang sedang menuju kearah Alex. Mendengar hal itu, dia membalikkan setengah badannya segera ingin mencari tahu. Dia mendapati jikalau ayahnya sedang berjalan menuju kearahnya. Alex beranjak berdiri dan menepuk-nepuk kotoran tanah dan rumput yang menempel di celana dan bajunya dengan kedua tangannya.

"Alex," ucap ayahnya. "Iya, yah. Ada apa?" Sahut Alex.

"Ada apa?. Apa yang sedang kau sembunyikan dari ayah?" tanya ayahnya penasaran.

"Tidak ada yah. Alex tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari ayah."

"Bagaimana bisa senyuman itu muncul?. Ayah memperhatikanmu sejak tadi."

"Aku hanya sedang berkhayal yah. Ayah tidak perlu khawatir, aku sudah bersama dengan ayah mulai dari Alex kecil. Kita selalu terbuka untuk semuanya. Ayah harus mempercayaiku," ucap Alex berusaha menyakinkan.

"Ayah harap itu bukan suatu kebohongan," gumam ayahnya."Tidak akan yah," sambil menyilangkan dadanya dengan jari telunjuknya.

Ronald Frank Thompson adalah namanya. Dia adalah sosok yang selama ini merawat Alex sejak dari kecil hingga sekarang. Kekhawatirannya lah yang membuat Alex terkurung di dalam rumahnya selama bertahun-tahun. Dia membawa Alex ke dunia manusia karena satu alasan yang terjadi di masa lalunya. Dia berniat untuk menyelesaikan semua masalahnya itu di dunia manusia lalu membesarkan anaknya Alex hingga dewasa kelak. Dan akan mengembalikan Alex kembali ke dunia, dimana penyihir seperti mereka seharusnya berasal.

Ronald menyentuh bahu kanan Alex dan berkata bahwa suatu saat nanti ketika Alex tepat berusia 12 tahun. Dia akan membawa Alex kembali ke dunia penyihir dan disana Alex akan belajar di akademi penyihir. Pada saat itu juga Alex akan mendapatkan tongkat sihirnya. Dimana para penyihir berhak mendapatkan tongkat sihirnya setelah mereka sudah berusia genap 12 tahun. Karena hal itulah, anak-anak penyihir yang masih berusia dibawah 12 tahun harus dijaga ketat oleh penyihir lainnya. Mereka takut anak-anak itu akan dibunuh oleh pengendali tanpa diketahui.

Mendengar ucapan itu, Alex tertatih mundur. Seakan Alex tidak menginginkan jikalau ayahnya akan membawanya kembali ke dunia penyihir. Alex berpikir apabila dia kembali ke dunia asalnya. Dia akan kehilangan sahabatnya Jacob. Dia tidak kehilangan sahabatnya itu, seakan persahabatan mereka berdua baru saja dimulai. Alex sudah merasa nyaman hidup di dunia manusia meskipun tanpa tongkat sihir itu.

"Aku tidak mau yah. Aku ingin disini saja."

"Apa maksudmu?. Kau harus kembali meskipun kau tidak menginginkannya," ucap Ronald keras.

"Ini dunia ku yah. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Ayah tidak boleh memaksa ku, itu tidak adil yah!" teriak Alex sambil berlari masuk kedalam rumah.

"Alex!" teriakan Ronald semakin menjadi-jadi. "Ayah saja yang pergi. Aku akan tetap disini selamanya," teriak Alex terisak-isak dari kejauhan.

***

Sejak pertengkaran tadi pagi dengan ayahnya. Alex mengurung diri didalam kamarnya hingga petang. Terdengar suara mobil dari kejauhan yang menandakan bahwa ayahnya Alex telah pulang. Sejak tadi siang, ayahnya Alex telah pergi ke suatu tempat dimana Alex tidak pernah tahu kemana ayahnya selalu pergi tiap harinya.

Suara ketukan pintu. "Alex, kau masih didalam sana?" ucap ayahnya dari luar pintu kamar.

"Ayolah, kau tahu bahwa asalmu bukanlah dari dunia ini Alex. Bukankah kau ingin mempunyai seorang teman?. Disana kau akan mendapatkannya."

"Aku tidak ingin siapapun. Aku hanya ingin tetap disini," ucap Alex dari dalam kamar.

"Kau hanya belum siap Alex. Bukankah kau pernah bilang ke ayah kalau kau ingin menjadi seorang pemimpin bagi bangsa penyihir?. Kenapa kau mengurungkan niatmu itu," ucap ayahnya merayu.

Suara pintu terbuka."Hey sayang, kau tidak perlu melakukan ini. Kau hanya saja belum siap. Ayah tau akan hal itu, ayah juga pernah mengalaminya" ucap Ronald sambil memeluk Alex.

"Aku akan mengikuti apa yang ayah katakan. Jika itu yang ayah inginkan," ucap Alex pasrah.

Raut wajah begitu bahagia terlihat jelas di wajah Ronald ketika mendengar ucapan Alex tadi. Alex menatap wajah ayahnya dimana mata Alex terlihat begitu sayu akibat terlalu lama menangis. Melihat hal itu membuat Ronald merasa iba dan berusaha untuk menenangkan pikiran Alex kembali.

Ronald menggenggam erat tangan Alex dan menggiringnya menuju ke dapur. Dimana sesampainya di dapur, aroma itu tercium jelas oleh Alex. Aroma ini sangat dikenal betul oleh Alex. Dengan cekatan Alex langsung membuka bungkusan plastik yang terletak diatas meja yang dibawakan ayahnya. Alex langsung membuka melahap habis semua makanan favoritnya itu. Raut wajah cemberut dari wajah Alex tadi kini sudah berubah menjadi sebuah senyuman.

Pada hari itu juga, selepas Alex menghabiskan makanan favorit yang dibawakan ayahnya itu. Ronald mengajak Alex menonton film favorit Alex yang dibelinya diluar siang tadi. Mereka berdua menghabiskan waktu berdua bersama. Kini mood Alex kembali lagi seperti sediakala. Dan komunikasi antara ayah dan anak kini kembali membaik. Tawa lepas Alex saat menonton film favorit nya malam itu meyakinkan Ronald bahwa pikiran Alex sudah merasa baikan.

                                  ***

"Hey pemalas. Bangunlah, ada sesuatu yang ingin ayah tunjukkan padamu," teriak Ronald dari halaman depan rumah.

Mendengar teriakkan itu membuat Alex terbangun dari tidurnya. Dan memaksa Alex untuk segera bangkit dari ranjangnya. Alex mengusap pelan kedua matanya dan segera turun dari ranjangnya. Dengan kondisi setengah sadar, Alex mengintip ayahnya dari jendela kamarnya. Dimana Ronald dapat melihat Alex sedang memperhatikannya.

"Hey Alex, ayolah. Ada hal penting yang ingin ayah tunjukkan padamu. Ayah akan mengajarimu sesuatu yang belum pernah ayah berikan."

Alex segera turun dari kamarnya yang berada di lantai dua. Dia berjalan menuju kearah ayahnya yang sedang membelakanginya. Mendengar suara langkah kaki itu, menyadarkan Ronald membalikkan badannya. Kini Alex tepat berhadapan langsung didepan ayahnya.

"Hal penting apa yang ayah ingin tunjukkan padaku yah?. Kau mengganggu tidurku."

"Oh ayolah pemalas. Kau pasti akan sangat menyukainya. Kau masih ingin melihatnya?," tanya Ronald.

"Ayah, aku sudah disini. Aku pasti ingin melihatnya. Apa yang ingin kau tunjukkan?," ucap Alex.

"Baiklah Alex. Ini dia yang ingin ayah tunjukkan padamu," tegas Ronald sambil mengadahkan tongkat sihirnya ke arah Alex.

"Oh ayolah yah. Kau membangunkan ku sepagi ini hanya untuk menunjukkan tongkatmu?. Aku sudah sering melihatnya yah."

"Hey Alex. Ayah tidak hanya ingin menunjukkan tongkatku padamu. Tapi ayah akan mengajarimu bagaimana menjadi seorang penyihir."

Mendengar ucapan ayahnya tadi membuat Alex terkejut. Dimana selama ini ayahnya tidak pernah mengijinkan Alex untuk menyentuh dan menggunakan tongkat sihir itu. Tapi tidak tahu mengapa, kali ini ucapan ayahnya membuat Alex bingung. Dengan kata lain, Alex merasa gembira ketika dia akan memegang tongkat sihir untuk pertama kalinya.

"Ayolah ambil tongkatnya. Ayah akan mengajarimu. Sudah saatnya ayah mengajarimu bagaimana cara menggunakan tongkat ini sebelum kau masuk ke dalam akademi penyihir kelak kau sudah berumur 12 tahun nanti."

"Ayah yakin akan hal ini?. Aku sejak lama ingin menyentuh tongkat sihir ayah dan sangat ingin menggunakannya," tanya Alex meyakinkan.

"Tentu saja ayah yakin. Sudah saatnya bagimu untuk belajar."

Raut wajah kebahagiaan tercetak jelas di wajah Alex. Tangannya begitu gemetar saat mengambil tongkat sihir ayahnya itu dari tangannya. Ronald tahu bahwa apa yang dia lakukan ini adalah salah. Dimana hal ini menentang keras kebijakan yang telah ditetapkan oleh bangsa penyihir. Hanya anak-anak yang sudah masuk ke akademi penyihir lah yang dapat memegang tongkat sihir.

Namun, Ronald tetap bersikeras untuk mengajari Alex bagaimana caranya mengendalikan tongkat sihir. Ini semua dilakukannya hanya untuk melindungi Alex dari kejahatan semata yang berusaha menyakitinya. Ronald hanya ingin Alex menjadi seorang pemimpin bagi bangsa penyihir.

"Kau sudah siap Alex?. Ayah akan memberitahu mantra yang harus kau ucapkan."

"Aku sudah siap yah. Kapanpun aku siap," tegas Alex.

"Baiklah. Kau lihat botol kaca yang berada didepan mu itu?" tanya Ronald."Tentu saja yah. Aku bisa melihatnya dengan jelas."

"Bagus, itu adalah sasaran mu. Kau hanya perlu mengayunkan tongkatnya kearah sasaran itu sambil mengucapkan mantra yang harus diucapkan," jelas Ronald.

"Aku mengerti yah. Aku sudah sangat siap untuk ini," ucap Alex. "Itu adalah semangat penyihir sejati. Bersiap Alex, lihat sasarannya."

"Baik yah."

"Oke Alex. Ledakkan botol itu. Ayunkan tongkat sihirnya kearah sasaran lalu ucapkan mantra ini suspicio tombarda."

"Suspicio tombarda," teriak Alex lantang sambil mengayunkan tongkat sihirnya pelan.

Dahi Alex mengkerut. Tidak ada yang terjadi pada botol itu. Alex tertunduk lesu. Melihat hal itu Ronald segera merangkul Alex berusaha menyakinkan bahwa dia bisa melakukannya. Semua penyihir pada dasarnya bisa melakukan hal itu. Hanya saja Ronald tidak tahu pasti, kenapa hal ini bisa terjadi. Padahal mantra yang diucapkan Alex sudah benar.

"Hey Alex. Ada apa?, kau pasti bisa melakukan itu. Kau adalah seorang penyihir. Ayo, lakukan sekali lagi!" ucap Ronald berusaha meyakinkan Alex.

Alex kembali mengarahkan pandangannya kearah botol yang tepat berada didepannya itu. Dia mengangkat tongkatnya kearah sasaran. Dan bersiap untuk mencobanya sekali lagi. Dengan percaya diri dan penuh keyakinan.

"Suspicio tombarda," teriak Alex kembali sambil mengayunkan tongkatnya.

Dahi Alex mengkerut. Hal yang sama tetap terulang. Tidak ada yang terjadi pada botol itu. Alex kembali mengayunkan tongkat itu dan mengucapkan mantranya berulang-ulang kali namun tetap tidak ada yang terjadi. Melihat hal itu membuat Alex marah dan mencampakkan tongkat sihir itu lalu berlari menuju kedalam rumah.

"Alex...." ucap Ronald keras.

"Praaakk," bunyi pintu dibanting keras. Ronald tahu betul apa yang sedang dirasakan Alex. Dimana hal yang dia harapkan sama sekali tidak terjadi. Ronald menghampiri Alex kedalam kamarnya mencoba untuk membuat Alex merasa baikan lagi.

"Hey Alex. Dimana semangat penyihir yang ayah lihat diluar tadi?. Tidak apa-apa jika kali ini kau gagal melakukannya. Semua penyihir pasti bisa melakukannya."

"Jika semua penyihir bisa melakukan itu. Mengapa aku gagal melakukannya yah. Apakah aku bukan seorang penyihir?" ucap Alex dengan suara teredam dimana wajahnya menekan bantal.

"Tentu saja kau seorang penyihir. Ayahmu adalah seorang penyihir, bahkan ibumu juga seorang penyihir," jelas Ronald sambil mengelus punggung Alex.

"Ibu?. Apakah ibu mirip seperti ku yah?" tanya Alex penasaran dimana posisinya kini menatap wajah ayahnya.

"Kau sangat mirip dengannya. Hanya saja ayah sangat beruntung, kau tidak mempunyai sifat sepertinya," jawab Ronald.

"Apakah ibu orang jahat yah? Kenapa dia meninggalkan ku?" tanya Alex kembali.

"Dia meninggalkan kita karena dia mencintai seseorang dimana orang itu bukanlah ayah."

"Tapi yah..."

"Cukup Alex!. Ayah tidak ingin kau bertanya tentangnya lagi," tegas Ronald. "Baik yah. Alex mengerti."

"Kau ingin melakukannya lagi?. Ayah percaya akan kesempatan kedua. Semua orang menginginkan itu bukan?"

"Itu bukan lagi kesempatan kedua yah. Aku sudah melakukannya berkali-kali tapi tetap saja tidak ada yang terjadi," jawab Alex tersenyum.

"Kau benar. Ayah tidak peduli itu kesempatan ke berapa. Ayah percaya bahwa kau bisa melakukannya lagi."

"Kau ingin melakukannya lagi?" ajak Ronald sambil mengulurkan tangannya kearah Alex. "Baik yah, aku akan mencoba nya lagi," ucap Alex sambil menjabat tangan ayahnya.

Mereka berdua kembali turun ke halaman depan. Alex kini kembali mencoba keberuntungannya. Ronald mengambil tongkat sihir yang dibuang Alex tadi dan memberikannya kepada Alex. Kini Alex memegang erat tongkat itu dan menatap jelas sasaran itu.

"Hey Alex dengarkan ayah. Ayah ingin kau kali ini fokus akan sasaran itu. Kosongkan pikiran mu dan fokus hanya pada satu titik saja yaitu botol itu" tegas Ronald sambil memegang kedua pipi Alex.

"Aku akan mencobanya yah. Aku akan lakukan yang terbaik kali ini."

"Aku suka semangat itu. Kau sudah siap Alex?" tanya Ronald kembali."Tidak pernah lebih siap dari ini yah."

"Baiklah Alex lakukan! Ledakkan botol itu yang ada dihadapan mu.

"Suspicio tombarda" teriak Alex kembali lebih keras dari sebelumnya sambil mengayunkan tongkat itu.

"Duaaaarr" sasaran botol kaca itu meledak dimana pecahan kaca dari botol itu tersebar kemana-mana.

"Hahaha. Lihat Alex, apa yang ayah bilang. Kau pasti bisa melakukannya," ucap Ronald sambil mengelus rambut pirang Alex.

Alex tersenyum lebar."Aku melakukannya yah. Aku berhasil melakukannya," ucap Alex sambil memeluk ayahnya.

Bunyi alarm jam tangan Ronald."Hey Alex, cukup pelajaran untuk hari ini. Ayah harus pergi. Ayah akan segera kembali," ucap Ronald melepas pelukannya Alex.

"Baik yah. Aku akan menunggu pulang" jawab Alex."Ayah janji akan membawakan makanan favoritmu lagi saat ayah pulang."

Alex melihat ayahnya dari kejauhan yang sedang berjalan menuju garasi mobil. Sebenarnya Alex ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan ayahnya diluar sana. Suara klakson mobil dibunyikan oleh Ronald saat melewati Alex. Sesampainya di depan pagar, Ronald tidak lupa menutup rapat dan mengunci pagar rumah agar Alex tidak bisa keluar sama sekali.

Setelah mendapati bagian belakang mobil ayahnya tidak terlihat lagi. Alex segera lari masuk kedalam rumah menuju dapur. Dia mengambil beberapa makanan dari dalam kulkas dan membawa sebagian dari kue ulangtahun nya yang masih tersisa. Dan memasukkan semua itu kedalam tas ransel kecil. Dengan sigap Alex langsung berlari ke arah gudang. Dan menuju kedalam hutan melalui lubang kecil dari dalam gudang.

Setelah Alex berhasil masuk kedalam hutan. Dia mendapati Jacob yang sedang duduk di akar pohon besar yang menjulang tinggi. Dia tidak menyangka bahwa Jacob daritadi sedang menunggunya didalam hutan. Alex berjalan pelan secara diam-diam kearah Jacob mencoba untuk membuatnya terkejut. Sesampainya Alex tepat dibelakang Jacob. Alex menutup mata Jacob dengan kedua tangannya.

Jacob berusaha melepaskan genggaman tangan Alex. Dimana Jacob betul-betul tidak tahu bahwa Alex lah yang sedang mengerjainya. Mendapatkan perlakuan seperti itu membuat Jacob merasa terancam dimana gengaman tangan Alex begitu erat menutup matanya. Jacob menghentakkan kuat telapak tangannya ke tanah membuat Alex tercampak begitu jauh dan terjatuh begitu keras ke tanah. Jacob memalingkan pandangannya ke belakang dan mendapati Alex yang sedang merintih kesakitan.

"Alex?. Oh tidak, maafkan aku Alex. Aku tidak tahu bahwa itu tadi kau," ucap Jacob merasa bersalah.

"Ahh, punggungku sangat sakit. Kenapa kau harus mengeluarkan kekuatanmu," ucap Alex kesakitan.

"Aku harus melakukan itu jika aku sedang terancam. Maafkan aku Alex, aku tidak tahu kaulah orangnya."

"Sudahlah Jacob. Aku mengerti. Dan sekarang semua makanan yang ada di ranselku berjatuhan ke tanah."

"Maafkan aku. Aku sangat menyesal," ucap Jacob."Sudah cukup minta maaf nya. Padahal aku ingin berbagi kue ulangtahun ku padamu," tegas Alex.

"Benarkah?. Kalau begitu, aku akan mengambil bagian yang belum terkena tanah."

"Hey Jacob, kau tidak perlu memakannya lagi," ucap Alex."Tidak apa-apa, ini juga kelihatan masih bersih," jelas Jacob sambil mengambil kue ulangtahun Alex bagian atas yang belum terkena tanah.

"Ini kue terlezat yang pernah aku makan. Kau tahu kalau aku sangat menyukai blueberry."

"Benarkah?. Aku juga suka blueberry. Sejak kecil ayahku juga selalu membelikanku kue yang berbalur blueberry."

"Itu terdengar hebat. Darimana saja kau semalam?. Aku menunggumu disini tapi kau tidak datang," tanya Jacob penasaran.

"Aku sedang ada masalah dengan ayahku hari itu. Jadi aku memutuskan untuk diam di dalam kamarku saja," jawab Alex.

"Apakah kau dan ayahmu sekarang sudah baikan?" tanyanya kembali."Tentu, dia mengajariku bagaimana menjadi seorang penyihir hari ini."

"Kau akan menjadi seorang penyihir yg hebat Alex."

Alex tersenyum tanpa membalas perkataan Jacob. Dia mengajak Jacob untuk bermain didalam hutan dan menghabiskan waktu melihat senja yang terjadi diakibatkan oleh matahari terbenam. Semenjak Jacob mengajak Alex kesana. Hal itu membuat Alex merasa kecanduan. Seakan-akan dengan memandangi langit-langit yang berubah menjadi jingga itu dapat membuat pikiran Alex tenang. Hanya saja Alex tidak tahu kapan saat yang tepat untuk memberitahukan pada Jacob bahwa akan ada saaatnya mereka harus saling berpisah.

***

Hay...?? Hayy...?? Hayyy...??

??YUHUUUY??.. Kini kelanjutan ceritanya sudah di published. Ditunggu yah kelanjutan ceritanya dari kisah persahabatan Alex dan Jacob. Part III akan segera di publish... stay tune ??

Note : Author sangat membutuhkan kritikan, pujian, dan saran untuk memperbaiki kualitas cerita. Jangan lupa tumpahkan itu semua di kolom [ komentar ], dan [ Like ], dan [ Vote ] ceritanya ya??.

#Jangan lupa share ceritanya dan jadikan reading list kalian ya??

Salam hangat dari Author = Love U All

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience