Rate

BAB 1

Drama Completed 1128

Usai Magrib, wanita itu beranjak dari tempatnya bersujud. Tenaganya berkurangan dimamah usia. Ia melangkah, kemudian sentuh sisi jendela. Tubuhnya bersandar di pojok dinding lapuk. Bingkainya terapung di udara. Tatapannya kosong penuh resah.

Sering ia melakukan itu. Tiap malam. Selepas sholat. Sejak ditinggal suami, justru itu yang ia kerjakan. Kisah masa lalu tumpah di bibir jendela. Perasaan luka berbanding lurus dengan penantian. Kesabaran menunggu adalah rangkai kecewa. Suami menghilang tak pernah kembali. Kesendirian dipenuhi oleh persoalan. Ia tak mengerti arti hidup. Selain, gelisah tiap detik dalam tarikan napas singkat.

Ia bingung. Melihat bulan sekarat di langit gelap. Di sudut hati, tersimpan rindu yang kuat. Perasaan tak terhapus, lalu bakar jiwa.

Sesekali, matanya melirik jam dinding atas kepala. Jarum pendek belum tunjukkan angka dua belas. Ia ingin waktu lagi. sedikit. Mencari ketenangan dalam kelam. Kemudian baru layangkan angan pada sekelumit kisah indah bersama suami. Penuh harap dalam sunyi…

Tubuhnya kurus. Ia tak peduli makan minum. Tetangganya tak rela biar ia lapar sendiri. Setiap kesempatan, mereka sering berkunjung. Bukan hanya menjenguk, tapi memperhatikan secara detil. Mereka tak segan beri nasihat padanya. Bahkan, mereka ingin membawanya pergi dari rumah itu. Mengajak hidup bersama. Agar kesepian berembus hilang. Hanya ini yang mampu dilakukan. Tapi, sungguh sayang! ia bersikeras menolak semua tawaran tetangganya itu. Ia yakin, bahwa dirinya masih sanggup. Masih mampu bekerja. Walau luka hati kian mengangga.

Akhirnya, jiran tetangga terpaksa pasrah. Mereka mengamini ucapannya. Kini, mereka tak tahu sampai bila ia bertahan.

Sudah beberapa jam ia membisu. Angin berembus kencang. Menusuk badan dan rambut yang tergerai putih dan kasar. Ia merasa dingin. Mukena yang dipakai sejak tadi, diketatkannya kembali. Agar terasa hangat di bagian muka. Bulan penuh cahaya. Kilauannya menerobos celah dinding menghujam jiwa. Merayap pelan bawah lantai. Sementara, suara binatang, sayup terdengar. Daun palma terlihat seperti sosok yang berdiri tegap waktu malam. Hitam terlindung daun lain. Penglihatan ini tak bikin ia beranjak dari tempatnya berdiri.

Peristiwa tiga puluh lima tahun atau lebih mengganggu fikiran. Momen yang menghancurkan impian seumur hidup. Ikatan batin bersama suami, hilang begitu saja. Kebahagiaan di awal pernikahan lenyap. Semua terkikis oleh satu peristiwa historis. Kini, ia ingin mengingat kenangan itu kembali.

Kala itu, awal kemerdekaan. Mereka baru selesai laksanakan pesta. Kebahagiaan mengitari hati sepanjang malam. Keindahan di raih bersama suami. Selepas pesta, mereka lalu bergegas menuju rumah baru. Letaknya jauh. Seperti berada di pojok desa. Rumah yang dibangun oleh suami untuknya. Mereka tak mau berlama-lama numpang di rumah orang tua. Ia tak sabar ingin hidup mandiri kala itu.

Masa penjajahan, ketergantungan pasangan yang baru menikah sangat kuat pada orang tua. Tak ada jaminan mereka bisa secepatnya mandiri. Kecurigaan pihak Belanda terhadap pasangan baru adalah satu ancaman. Bagi penjajah kala itu, sebuah pesta, apa pun bentuk adalah upaya pengorganisasian kekuatan dari dalam. Itu harus dibasmi. Ini bisa timbulkan ancaman. Makanya ia memaksa suaminya segera pindah. Menempati rumah baru yang jauh dari pantauan pihak Belanda.

Tapi, apa mau dikata! Satu kejadian mendadak hanguskan impian. Tiga orang tentera Belanda, secara tiba-tiba menjemput suaminya. Dengan seragam lengkap dan senjata laras panjang, tentera itu mendobrak pintu masuk. Tanpa basa-basi, mencurigai apa saja yang ada. Kejadian berlangsung cepat, secara refleks suaminya selamatkan diri. Meloncati jendela yang terbuka. Lalu sembunyi di bawah kolong rumah.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience