Rate

BAB 2

Drama Completed 186

Aku memikirkan bagaimana orang-orang homeless di luar sana. Bagaimana beratnya hari yang mereka lalui tanpa atap untuk berteduh, tanpa baju untuk berganti, tanpa nasi untuk mengisi perut. Tanpa apa pun.

Tapi, bukankah lebih baik homeless daripada hopeless?

Kurasa tidak ada yang baik dari kedua itu. Lalu, apa mati adalah yang terbaik?

Aku masih menangis teresak-esak, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan kasar menatap derasnya aliran sungai di bawah. Aku sudah memikirkan bagaimana sejuknya air dan kerasnya batu di bawah lewat ‘seakan’ di hidupku. Beberapa detik lagi aku akan merasakan bagaimana rasa yang sebetulnya di bawah. Pergi meninggalkan dunia dengan pakaian kegemaranku dan perhiasa indah yang terletak kemas di tubuhku.

Jantungku berdegup sangat kencang, aku mengendurkan pegangan, bersiap …. namun, tiba-tiba seseorang memahut erat lenganku. Aku terhenyak, kembali berpegangan pada jambatan sambil melihat seseorang.

“Kau pernah melihat film Titanic? Namaku Yohanes , tapi anggap aku Jack sekarang, kerana kalau kau melompat, aku ikut melompat.”

Aku sesenggukan, merapalkan keras-keras kalimat sumpah serapah padanya untuk melepaskanku.

“Apa aku perlu berbicara seperti Jack bahawa di bawah sana sangat dingin? Dingin yang bisa menusuk tulangmu, mencekikmu, menyesakkanmu hingga air memenuhi rongga dadamu. Atau aku perlu berbicara hal yang lebih mengerikan dari itu semua jika kau melompat?”

“I don’t care, the f—“

Dia memotong, “just think what makes you held on this far!”

Aku menyumpah serapahinya lagi, lalu menjerit, “I have nothing to hold, just let me go!”

“You don’t have dreams or hopes in your life?” Dia memelukku tiba-tiba saat aku mulai meronta.

“What if I don’t?!”

“So, just find them!” Dia memelukku erat. “I’ll help you!”

Aku berhenti meronta mendengarnya. Detik berikutnya, aku merasa hidupku begitu menyedihkan tanpa mimpi atau harapan. Aku menyerah meronta, membiarkan diriku dibawa olehnya ke sebuah kedai kopi.

Di depanku, dia menyeruput kopi. Di bahuku, tersampir jaketnya. Di tanganku, memegang secangkir kopi panas. Di mataku, air mata masih menumpuk di pelupuk.

“Kau tahu, kau harus lebih bersyukur,” ujarnya pelan.

Aku diam sesenggukan.

“Tapi, aku pun tahu. Orang-orang di luar sana punya hati yang berbeza satu sama lain, tidak akan ada yang sama. Aku tidak akan pernah terpuruk dengan penolakan cinta berlainan jantina. Lima kali ditolak, aku tetap teguh berdiri, kerana itu bukan hal besar, dunia belum berakhir.”

Tapi di luar sana, ada ribuan, bahkan jutaan orang yang begitu terpuruk hanya kerana masalah cinta. Kupikir kau salah satu dari jutaan orang itu. Aku ingin tahu, apa yang membuatmu berdiri di tepi jambatan .”

Tangisku mengalun lagi. “Kau tahu rasanya sendirian di dunia ini?”

Ezki menggeleng.

“Pikirkan bagaimana rasanya jadi anak buangan yang tidak pernah tahu siapa orang tuanya! Pikirkan kenyataan bahawa ternyata kau ditemukan di tong sampah dan hampir mati kedinginan! Pikirkan kau putus sekolah di usia sebelas tahun kerana keluarga yang mengadopsimu dari panti asuhan bangkrut dan meninggalkanmu begitu saja di jalanan!”

Dia memegang tanganku hati-hati, cepat kutepis.

“Pikirkan apa yang bisa kau perbuat di usia sebelas tahun, luntang-lantung tanpa punya apa pun, selain menjual apa yang ada padamu,” aku menekan kata, menangis kian keras, “tubuhmu!”

Dia meraih tanganku berulang kali, kutepis juga berulang kali ketika aku terus menekankan kata padanya selama hampir satu jam penuh. Memberi tahu bahawa memang baiknya aku mengakhiri hidup kerana sudah tidak ada fungsinya hidupku yang urakan dan menyedihkan ini.

“Life’s suck. It’s heavy!” lalu aku menambahkan kata kasar padanya.

Tapi yang kudapati, dia malah tersenyum padaku.

“Tuhan.” Dia menunjuk ke atas. “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience