Visitor

Romance Series 539

Anastasia—

Menjadi terkenal tak selamanya baik-baik saja, itu menurutku, aku tak tahu bagaimana pendapat orang lain. Beberapa orang yang kukenal sangat ingin berada di posisiku, dan mereka sangat iri dengan apa yang kucapai selama ini. Mereka hanya melihat apa yang terlihat di luar, tanpa tahu bagaimana perjuanganku hingga sampai di atas puncak karier seperti ini.

Ya, aku tahu itu resiko ketika sudah terjun dalam dunia ini, aku sangat tahu sejak awal apa yang akan aku terima. Hanya saja, ketika semua hal tak berjalan dengan semula, hal lain juga akan terpengaruh. Saat ini yang sangat tak berjalan dengan baik adalah kesehatanku, manajer bahkan sudah membuatkan jadwal yang lebih teratur serta jadwal untuk mengonsumsi vitamin. Semuanya sudah di jadwalkan dengan baik, jika saja aku mengikuti peraturan yang ada.

Sepertinya sifat keras kepala Tamara sudah meracuni kepalaku dengan baik, kemudian meresap hingga ke akar kepalaku dengan baik juga. Mungkin ini juga pengaruh persahabatan kami yang sudah sangat lama, hingga sifatnya juga akan menular pada kita.

“Kamu gak minum vitamin, kan? Kamu liat botol ini? Jumlahnya kapsulnya sama sekali gak berkurang sejak dua hari yang lalu.” Nimas—manajerku—mengasungkan botol obat di hadapan wajahku, ia sangat marah dan juga kesal. Aku bisa membaca air mukanya yang tegang. Siapa yang akan berani membantahnya jika Nimas sudah seperti ini?

“Bahkan Mbak sampai ngitungin kapsul yang ada di dalamnya. Mbak lagi gabut atau gimana?” tanyaku sarkas.

Kalian harus tahu jika Nimas ini sangat keras kepala dan sangat suka memaksakan kehendak orang lain pada apa yang ia inginkan. Aku mengerti kenapa ia melakukan hal itu, karena tanggung jawab tentu saja dan tugas yang ia miliki. Kadang memang semua itu tak masalah untukku, tapi di saat seperti ini rasanya aku tak bisa menerima apapun.

Sejak pagi tadi, mood ku sangat berantakan dan aku sama sekali tak mengetahui penyebabnya. Aku tak sedang mengalami pms atau yang lainnya, hanya saja perasaanku buruk sejak tadi.

“Kamu kenal sama Wira, kan?” tanya Nimas.

Aku yang sedang fokus dengan ponselku, langsung menegakkan tubuh dan menatap Nimas yang juga sedang sibuk sendiri dengan tablet di tangannya. Mungkin sedang mengatur jadwalku selanjutnya, entahlah, aku tak peduli, yang aku pedulikan adalah ucapan Nimas tentang Wira tadi.

“Kenapa memangnya?” Wajahku yang kegirangan, seketika berubah menjadi wajah yang sangat cuek. Nimas tak boleh tahu tentang rasa sukaku pada Wira, hanya tak ingin ada masalah lebih lanjut saja.

“Dia ngajuin proyek kerjasama, proposalnya udah masuk, nanti kita ke kantor buat baca surat kontraknya.”

Nimas seperti biasa, hanya menunjukkan wajah tak acuhnya. Aku bahkan heran, apa yang ada di kepalanya saat ini, dan juga saat-saat yang lainnya? Selama menjadi manajerku, aku tak pernah melihatnya absen dari pekerjaan ini. Maksudku, itu bagus, tapi di satu sisi untukku yang melihat hal itu, aku tak menyukainya.

Ia harus sering-sering keluar untuk berkencan, mungkin, atau sekadar berkumpul dengan teman-temannya. Hal-hal yang biasanya di lakukan anak muda seumuran dia dan juga aku. Usia Mbak Nimas ini hanya berbeda dua tahun denganku.

“Proyek apa?” tanyaku.

“Aku belum tahu pasti, yang aku denger itu proyek pribadi dia. Enam bulan lagi dia bakal ngadain eksibisi untuk perayaan kelima tahun ia ada di industri ini.”

Bukankah ini bisa di bilang sebagai kehormatan yang sangat besar untukku. Pria ini adalah pria yang kusukai, dan ia memintaku untuk menjadi model yang akan di pajang untuk perayaan lima tahunnya. Untukku yang sudah menyimpan rasa untuknya, rasa ini sangat indah. Jika tanpa campur tangan agensi, mungkin aku akan langsung menerimanya begitu saja.

“Kalau ini buat kepentingan yang bagus, aku bakal langsung nerima, Mbak,” ucapku.

“Well, tetep aja keputusan tertinggi ada di Mbak Bintang. Kamu tahu sendiri gimana mata duitannya dia. Kalau proyek ini gak nguntungin, gak mungkin di terima.”

Mbak Bintang, atasanku dan juga Mbak Nimas yang juga pemilik agensi yang kunaungi. Dia adalah wanita karier yang sangat tegas dan berorientasi uang, karena memang seperti itu. Pebisnis mana yang tak memikirkan keuntungan. Nanti ketika aku sudah mandiri dan mampu membangun agensi sendiri, aku tentu akan keluar dari sini.

Jika memang Mbak Bintang akan menolak proposal ini, maka aku sendiri yang akan turun tangan untuk meyakinkan Mbak Bintang. Aku sedikit ahli dalam hal membujuk orang lain.

**

Sebenarnya, aku tak memiliki hari libur tetap, semuanya tergantung pada banyak atau tidaknya tawaran kerja yang datang. Karena ini adalah puncak karierku, maka aku cukup banyak memiliki jadwal pemotretan, baik itu majalah ataupun iklan komersil.

Dengan nyali yang sangat besar, aku memutuskan untuk keluar seorang diri menuju mall, di sela-sela hari liburku yang hanya satu hari. Bukan sepenuhnya hari libur, karena ini adalah hari dimana aku hanya memiliki satu jadwal, dan itu juga di tunda karena maslaah teknis.

Jadi, di sinilah aku. Dengan topi dan juga masker, serta kacamata bening agar tak di kenali oleh banyak orang. Aku tak sepercaya diri itu, tapi ini hanya untuk berjaga-jaga, sekiranya ada yang mengenaliku. Aku belum ingin di telpon Mbak Nimas atau siapapun dari agensi untuk di larang keluar rumah.

Sebelum merintis karier sebagai model, aku selalu berkeinginan untuk bisa berjalan-jalan di mal hanya seorang diri. Lalu, baru hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan hal ini.

Percayalah, aku hanya ingin mengelilingi mal ini, makan, lalu pulang ke rumah. Hanya itu saja yang ingin kulakukan. Sederhana tapi juga sangat bermanfaat untukku, untuk sekedar melawan stres mungkin.

Proposal yang sudah di kirimkan oleh pihak Wira belum selesai di pelajari oleh pihak agensi, mungkin besok akan menjadi acara rapat kami untuk membahas masalah ini. Jika saja aku memiliki kuasa untuk langsung mengatakan ‘ya’ tanpa perlu berbagai macam rapat.

“Maaf, Mbak. Tapi siang ini meja kami sudah penuh, mungkin Mbak bisa menunggu terlebih dahulu jika memang ingin makan siang di sini,” ucap seorang pelayan salah satu restoran yang aku kunjungi.

Wajar saja jika restoran penuh, karena ini jam makan siang dan yang aku kunjungi adalah salah satu gerai makan yang cukup terkenal. Jadi, bisa di bayangkan betapa ramainya restoran ini.

Hanya helaan nafas yang mampu kuberikan sebagai jawaban. Apa aku harus berkeliling seluruh mal hanya untuk mencari makanan? Yang benar saja.
“Dia bersama saya.”

Aku sedikit kaget mendengar suara itu, juga ketika ia membawaku ke mejanya. Aku belum tahu siapa yang mengatakan hal itu, karena tadi itu begitu tiba-tiba.

“Maafkan aku, apa aku mengejutkanmu?” tanyanya begitu kami duduk di meja miliknya.

Tebak siapa orang itu? Well, itu Wira. Aku juga sangat terkejut ketika melihat wajah itu, aku tak pernah menyangka jika akan bertemu dengannya di tempat ini. Aku sedikit bersyukur karena keluar pada saat ini, percayalah jika aku sangat merindukan wajah ini, padahal baru beberapa waktu yang lalu bertemu dengannya.

“Ah, ya, aku sedikit terkejut. Mas Wira kok bisa ada di sini?” tanyaku sedikit terbata.

“Kebetulan lagi di sekitaran sini, kamu sendirian aja?”

“Ya, makanya dandanannya kayak gini.” Aku tertawa canggung menanggapi pertanyaannya.

Kami memang sudah saling kenal selama beberapa tahun, tapi kami tak sedekat itu, karena hanya aku yang mengaguminya secara diam-diam. Aku belum berani untuk mengatakan perasaan ini secara jelas pada siapapun kecuali Tamara.

“Kamu udah dengar soal proposal yang aku ajukan?”

Aku menganggukkan kepala sembari mengaduk jus tomat yang baru saja di antar oleh pelayan tadi. Dimana pun, aku tetap selalu ingat untuk mengonsumsi makanan sehat, atau aku akan mendapatkan ceramah panjang lebar dari Mbak Nimas.

“Rencananya besok kami akan mengadakan rapat tentang proposal itu. Atau jangan-jangan ini pertemuan yang di sengaja?”

“Pertemuan ini benar-benar gak di sengaja, aku gak mau kamu berpikiran buruk dengan kehadiranku di sini.”

Mau tak mau, aku tertawa kecil dengan kalimat yang baru saja di lontarkan Mas Wira. Aku bahkan tak peduli jika kami bertemu secara sengaja ataupun tidak, poin utamanya di sini adalah aku yang dapat melihat wajahnya di luar area pemotretan. Hanya dengan kaos serta celana jins yang robek di kedua lututnya, tak akan ada yang menyangka jika usianya tiga puluh dua.

“Siapa yang tahu, Mas? Bisa aja itu memang sudah di atur, kan?”

“Well, kalau gitu aku bisa sekalian presentasiin proposal yang aku kirim, kan? Mumpung ada modelnya secara langsung di sini,” goda Mas Wira.

Ah, jika saja aku sedang sendirian di kamar, mungkin aku akan berteriak kegirangan dan berlari mengelilingi kamarku yang cukup luas hanya dengan senyum manis yang ia tampilkan itu. Aku sudah benar-benar tergila-gila dengan seorang Adipati Wiryatama.

“Dan aku bakal minta bayaran lebih, selain yang kamu sebutkan di proposal.”

Mas Wira tertawa kecil menanggapi ucapanku. Entah apa yang kulakukan tadi malam hingga siang ini aku mendapatkan hadiah terindah seperti ini. Ini pertama kalinya aku mengobrol santai dengan Mas Wira, tolong jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku. Aku benar-benar bisa membelikan Tamara seluruh tas mewah yang ia inginkan jika seperti ini, karena kebahagiaan yang kurasakan ini.

**

“Aku belum bisa berpikir kalau proyek Adipati Wiryatama ini bisa membuat popularitas Anastasia semakin meningkat. Ini hanya pameran yang akan ia adakan untuk merayakan lima tahun kariernya di dunia fotografi, menurutku tak ada hal spesial dari proyek ini,” ucap Mbak Bintang lantang.

Di meja rapat yang hanya terdiri dari lima orang, termasuk aku dan juga Mbak Nimas ini, suasananya cukup santai karena baru saja di mulai lima belas menit yang lalu. Aku sudah tahu apa yang akan di katakan Mbak Bintang, dia sulit menyetujui suatu proyek begitu saja.

“Tapi, hasil dari seluruh tiket penjualan foto akan masuk ke yayasan kanker Indonesia, kupikir itu akan memberikan dampak positif terhadap imej Anastasia.”

Itu adalah staf bagian pemasaran. Aku hanya menganggukkan kepala untuk mengikuti alur rapat ini, karena biasanya aku hanya hadir saja untuk mendengar hasil rapat itu sendiri, sesekali mungkin aku akan di mintai pendapat. Hanya itu saja yang kulakukan di sini.

“Secara keseluruhan setelah aku membaca isi proposal, tak ada hal yang merugikan kita. Selama ini juga hubungan Anastasia dan Adipati Wiryawan cukup baik, gak ada salahnya juga kalau kita terima proyek ini. Aku yakin hasilnya akan baik untuk kedua belah pihak.” Kali ini Mbak Nimas yang memberi pendapat.

Ingin tahu sesuatu yang sangat mengejutkan? Mbak Nimas dan juga Mbak Bintang adalah saudara kandung, sifat mereka hampir sama dan juga Mbak Bintang sangat menghormati semua keputusan sang adik. Well, jadi aku cukup berterima kasih kepada Mbak Nimas yang sudah mengatakan kalimat itu. Ingatkan aku untuk makan bersama dengannya nanti.

“Bagaimana denganmu, Nas?” tanya Mbak Bintang.

“Aku pribadi menyukai apa yang dia masukkan dalam proposal itu. Tapi semuanya kembali pada kalian lagi, aku hanya akan mengikuti apa yang kalian pilih.”

Percayalah, jika di dalam hati aku tersenyum sangat lebar, lebar sekali hingga rasanya dadaku akan meledak karena rasa senang berlebihan yang kurasakan. Aku tak perlu takut lagi, karena sudah di pastikan jika proyek ini akan berjalan lancar.

“Gimana hasilnya? Sesuai yanhg kamu inginkan, kan?” tanya Mbak Nimas. Setelah rapat singkat tadi, kami langsung berangkat menuju jadwal selanjutnya.

“Maksudnya, Mbak?”

Mbak Nimas melirikku penuh arti sebelum tersenyum kecil, yang juga mengandung sesuatu yang tak kuketahui. Tak mungkin jika ia tahu tentang perasaanku, kan? Karena selama ini ia terlihat sama sekali tak memedulikannya.

“Kamu pikir aku gak tahu kalau selama ini kamu suka sama si Wira-Wira ini?”

Jika biasanya aku bisa mengontrol ekspresi wajahku, kali ini aku tak bisa melakukannya. Aku menatap horor Mbak Nimas, wanita ini benar-benar sesuatu, aku merasa terbodohi selama ini. Entah sejak kapan ia mengetahui semua ini, aku sangat takut untuk tahu hal-hal seperti itu.

“Kenapa kamu diem aja?” tanya Mbak Nimas lagi.

Lalu aku harus apa setelah ia mengatakan itu semua? Aku lebih nyaman jika tak ada yang tahu perasaanku, tapi ini sudah sangat berbeda. Rasanya pasti akan canggung, walaupun hanya aku yang akan merasakannya.

“Well, dia baik dan juga ramah, siapa yang tak menyukainya? Aku yakin Mbak juga gitu.” Aku mengalihkan tatapanku ke jendela mobil, kemanapun asal itu bukan menatap Mbak Nimas. Aku sama sekali tak memiliki muka untuk menatap wajah Mbak Nimas.

“Aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku tak terlalu menyukainya.”

Sialan sekali Mbak Nimas. Ingin sekali rasanya menghilang saat ini juga. “Yah, mungkin selera kita beda, Mbak.”

Kali ini aku mendengar tawa Mbak Nimas, yang entah kenapa jadi terdengar menyebalkan. Mungkin karena ia manajerku, jadi ia terlalu peka untuk menyadari semua gerak gerikku. Bukan salahnya juga memang.

“Aku gak akan kasih tahu ini ke siapapun, aku hanya kebetulan tahu aja.”

Pada akhirnya aku tetap menoleh untuk menatap Mbak Nimas. Mungkin aku bisa mengajukan untuk mengganti manajer, tapi aku terlalu nyaman bersama Mbak Nimas. Sejak awal karierku, aku juga sudah bersamanya.

“Gimana caranya Mbak tahu?” tanyaku.

“Ekspresimu terbaca jelas, Nas. Mungkin karena aku yang mengurusmu sejak awal juga, jadi sangat mudah mengetahuinya.” Mbak Nimas mengangkat kedua bahunya dan masih tersenyum geli—yang membuatku kesal.

“Untuk saat ini, fokus pada kariermu dulu. Jangan sampai Mbak Bintang tahu, saat ini kamu sedang di puncak kariermu. Jangan sampai gosip merubah segalanya.”

**

Hai again temen temen Gimana sejauh ini sama kisah Tamara sama Anastasia? Ayo dong kasih kritik dan sarannya, jangan lupa tinggalin jejak ya

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience