War of Kate Spade

Romance Series 539

Tamara—

Tentang tantangan yang di berikan Gita kemarin, taruhan Kate Spade dengan mendekati Theo, aku sedikit menyesali mulutku yang bekerja lebih cepat di banding otakku. Mendekati Theo sepertinya bukan ide yang baik, maksudku dia atasanku dan dia sangat mengenalku, kami juga sering berselisih pendapat, hubungan kerja kami sama sekali tak baik dan aku ingin mendekatinya?

Sifat cerobohku sepertinya sangat mendarah daging, dan tak mampu di pisahkan lagi dengan otakku yang pas-pasan ini. Mungkin jika hanya tidur untuk satu malam dengannya masih bisa kuterima, tapi ini menjadi pacar, dalam keadaan sadar dan aku harus melakukan hal itu. Aku bahkan tak tahu harus memulai darimana pendekatanku.

Ketika kukatakan bahwa aku membencinya, maka itu benar-benar suatu kebencian yang sudah kupendam lama. Aku tak pernah mencari tahu kehidupan pribadinya untuk kemudian kami gosipkan bersama, mungkin hanya selentingan tentang ia yang suka bermain wanita dan selalu berganti tiap malam. Ya, aku akan sangat wajar dan maklum, wajahnya sangat mendukung untuk melakukan itu.

Jika kupikirkan lagi, ini hanya karena taruhan Kate Spade. Aku bisa membelinya sendiri dengan tabungan yang kumiliki, aku tak semiskin itu karena aku adalah pekerja keras yang sangat mampu menghidupi diriku sendiri. Kalian harus bangga untuk yang satu itu, aku bahkan sangat tabah ketika hampir di promosikan untuk jabatan manajer yang gagal, yang di tempati Theo itu. Aku sangat tabah hingga rasanya aku sangat ingin menyantet Theo.

Ini tentang harga diri dan jiwa bersaingku yang sangat besar, aku serius untuk yang satu ini. Jangan pernah memberiku tantangan sedikitpun, karena aku tak bisa untuk tak menerimanya.

Untuk memulai tantangan ini, aku akan memulainya dengan klub malam di jum’at malam ini. Pria seperti Theo tak mungkin tak mengunjungi tempat ini, kan? Jika aku beruntung, aku akan bertemu dengannya, jika tidak, mungkin aku harus mencobanya lain kali. Aku sangat benci kekalahan, Gita sudah salah menantangku.

“Virgin mojito,” ucapku pada bartender di hadapanku.

Jangan menertawaiku karena justru memesan minuman tanpa alkohol itu, aku hanya ingin tetap sadar ketika bertemu dengan Theo nanti. Atau sebaiknya aku memesan margarita saja? Aku bisa pura-pura mabuk dan ia akan mengantarku pulang, semuanya lebih mudah jika aku mabuk. Tapi, tidak. Semuanya memang akan mudah, tapi presentase aku melakukan sesuatu yang memalukan juga sangat besar. Tetap sadar adalah pilihan terbaik.

Ada beberapa pria yang sudah melirikku sejak tadi, hal yang sangat biasa jika kalian pergi ke klub malam dan sendirian. Padahal aku memakai pakaian yang cukup tertutup, hanya tanktop dan juga oversized jeans.

Tanktop menurutku sudah sangat tertutup, karena aku biasanya hanya mengenakan crop top, kardigan yang kukenakan sudah kulepas dan pemandangan tato yang menghiasi lenganku pun terlihat. Mungkin itu yang menarik perhatian mereka.

“Tatomu bagus.”

Aku menolehkan kepalaku ke asal suara yang sangat dekat denganku itu. Ini aku sedang tak berhalusinasi, kan? Aku hanya meminum mojito saja, tak mungkin membuatku mabuk. Apa takdir sedang berpihak padaku?

“Pak Theo?” Aku menatapnya lekat, masih tak percaya dengan pemandangan di sampingku ini. Tak mungkin semudah ini, kan?

Theo tertawa melihat wajah kebingunganku, aku bahkan bisa mendengar tawa renyahnya dengan jelas di antara hingar bingar musik disko yang sangat kencang ini. Ternyata dengan pakaian sekasual jaket kulit mampu menambah ketampanannya berkali-kali lipat, aku tak bohong kali ini, tapi dia juga selalu tampan setiap hari.

“Kenapa wajahmu seperti itu? Apa aku tak boleh di sini?” tanyanya.

Aku memalingkan wajahku agar tak semakin terlihat bodoh. Wajahku yang hanya pas-pasan ini akan semakin terlihat jelek jika sudah kebingungan. Jika memang takdirku semudah ini, maka aku setidaknya harus terlihat baik di hadapannya. Demi Kate Spade gratis.

“Santai saja, kita tak sedang di kantor. Kamu sendirian?”

Oke, santai saja katanya. Ini berarti dia tak memiliki dendam padaku jika di luar kantor, kan? Jika begini, akan sangat mudah untuk mendapatkannya. Tamara dan kemampuan menggoda prianya tak boleh di sepelekan begitu saja, karena sangat banyak pria yang antri untuk mendapatkanku.

“Iya, bapak juga?” tanyaku dengan ramah.

“Harus banget kamu panggil bapak? Kamu bisa panggil Theo aja.” Senyum itu kembali menghiasi bibirnya.

Jika sedang sendirian di kamar, mungkin aku akan meloncat kegirangan. Ini seperti lampu hijau untuk bisa semakin dekat pada misiku, tapi kenapa ia semudah ini? Tak menyenangkan jika ia seperti ini.

“Rasanya aneh, kita kayaknya gak sedekat ini di kantor.”

“Rasanya semakin aneh kalau kamu panggil bapak.”

“If you say so.”

**

“Ada apa sebenarnya sama kamu dan taruhan ini?” tanya Anastasia galak.
Masih dalam episode kumpul bersama trio kwek-kwek, ada aku, Anastasia, dan juga Dean. Kali ini hari minggu sore dan Anastasia baru saja pulang dari jadwalnya yang kesekian kali. Sahabat tercintaku yang satu itu memang sangat sibuk, dan kami memilih Backyard Garden sebagai lokasi pertemua kami. Ini adalah kafe yang sudah kami nobatkan sebagai rumah kedua kami untuk berkumpul, sudah sejak kami kuliah, karyawan bahkan juga pemiliki kafe ini sangat mengenal kami. Ya, karena pemiliknya sendiri adalah Dean, bisa di bilang ini usaha warisan dari kakak Dean yang sekarang menetap di Bali.

Pekerjaan utama Dean sendiri, menyibukkan diri mungkin. Keluarga Dean sudah kaya, begitupun dengan Dean sendiri, ia tak perlu bekerja keras untuk menghasilkan uang. Backyard Garden sendiri sudah menghasilkan cukup banyak uang untuknya, dan ia tak perlu datang setiap hari, hanya ketika ia ingin saja.

“Kali ini apa taruhannya?” tanya Dean kali ini.

“Kate Spade.”

Dengan tiba-tiba, Dean mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.

“Kamu mau yang kayak gimana modelnya, kamu pilih sendiri.” Dean menyodorkan ponselnya dengan beragam foto tas dari segala model dengan merek Kate Spade. Aku sudah tahu Dean akan melakukan ini.

“Kamu gak inget apa yang terjadi terakhir kali sama taruhanmu?”

Yah, ini adalah resiko yang harus aku tanggung ketika tiba-tiba menceritakan apa yang sedang terjadi padaku. Aku hanya tak bisa menyembunyikan apapun dari kedua sahabatku ini, aku akan menceritakannya, bahkan untuk hal kecil sekalipun. Mereka juga yang jadi pengingat untuk semua kecerobohan yang sudah aku lakukan selama ini, itulah kenapa aku sangat beruntung memiliki mereka.

“Kalian gak ngerti, ini bukan tentang harga barangnya, tapi harga diriku,” ucapku.

Kukembalikan ponsel Dean yang masih menampilkan beragam jenis Kate Spade.
Hanya dalam satu panggilan dan aku sudah di pastikan akan memiliki tas-tas itu, itu hanya hal mudah untuk Dean, tapi aku tak ingin melakukan hal itu. Ini bukan tentang seberapa mahal ta situ, tapi jiwa kompetitifku.

“Terakhir kali dia juga bilang kayak gini, Nas,” ucap Dean pada Anastasia.

Anastasia membenarkan letak bucket hat yang ia kenakan agar tak di kenali di keramaian, ia terlihat menghela napas. Pekerjaan sampinganku memang membuat kedua sahabatku ini pusing, bukan salahku, karena aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan. Biasanya aku akan menuruti ucapan mereka jika memang aku mengalami kejadian buruk dari semua itu.

“Jadi siapa?” tanya Anas.

“Theo, kalian inget, kan? Manajer yang sering aku ceritain itu.”

“Wah, kamu bener-bener luar biasa, Ra. Dean, kayaknya aku butuh kopi lagi, deh. Sakit banget kepalaku ngeliat kelakuan Tamara.”

“Americano double shot?”

Anastasia hanya menganggukkan kepalanya sambil lalu dan masih memandangku dengan kesal. Ya, aku tahu kekhawatiran seperti apa yang sedang mereka berdua rasakan karena memang ini bukan yang pertama kalinya.

“Gak akan terjadi apa-apa, percaya sama aku. Ini cuman tantangan yang lain aja, tahu sendiri gimana anak-anak kantorku, kan?”

Dean juga menatapku dengan wajah tak percaya. Seharusnya aku memang tak memberitahu mereka, tapi aku juga tak bisa berbuat apapun ketika aku selalu ingin mengatakan sekecil apapun cerita yang kumiliki. Aku tak ingin ada hal yang harus di sembunyikan di antara kami, ya dengan resiko seperti ini.

“Aku gak akan bantuin kamu kalau kamu datengin aku karena masalah ini,” ucap Dean.

Aku cemberut dengan kalimat yang di sampaikan Dean, jika bukan dia siapa lagi? Anastasia pasti sudah sangat mengutukku dan tak ingin menemuiku karena hal ini. Aku sangat bergantung banyak hal pada kedua sahabatku karena mereka berdua sudah sangat mengenalku dan semua cerita tentangku, tentang aku yang menjadi sangat liar seperti ini.

Tentu saja selalu ada alan di balik semua sifat yang kita miliki, aku juga seperti itu, tapi, lain kali saja kuceritakan. Karena cerita itu sendiri sangat panjang dan aku yakin akan membutuhkan waktu lama untuk menceritakannya lagi. Aku tak terlahir dengan semua sifat liar ini, sebagai bocorannya.

**

Jum’at malam, dan aku kembali berkunjung ke klub seperti biasanya, berharap bisa bertemu dengan Theo. Bagaimanapun juga, rencana ini harus berjalan dengan baik. Aku tak tahu apakah pria ini juga akan berkunjung atau tidak, ya semoga keberuntunganku masih tersisa. Lucu juga ketika aku mengharapkan sebuah keberuntungan untuk hal seperti ini.

“Margarita.”

Apa aku harus mabuk malam ini? Aku tak keberatan sebenarnya untuk mabuk, tapi aku hanya sendirian, dan aku tak ingin berakhir di ranjang pria asing. Anastasia akan benar-benar membunuhku jika hal itu terjadi, lalu tatapan dingin Dean. Mereka berdua sudah sangat mirip kedua orang tuaku, mereka tinggal menikah saja.

Kalau di pikir-pikir, kedua sahabatku itu sangat cocok berdua dan kupikir mereka memang diam-diam berpacran di belakangku. Aku tak masalah selama mereka berdua bahagia, memang sedikit mustahil pria dan wanita bersahabat. Lalu jika kalian melihat kedekatan Dean dan Anastasia serta bagaimana pria itu memperlakukan Anastasia, kalian pasti memikirkan hal yang sama denganku.

“Aku jadi sering melihatmu di sini,” ucap sebuah suara.

Aku menoleh ke samping, aku sempat berpikir jika itu Theo, tapi bukan. Aku juga tak mengenalnya, tapi ya dia cukup tampan. Tipe-tipe pria metropolitan dengan clean cut yang sangat bukan tipeku, mungkin aku lebih suka pada pria yang sedikit berantakan. Aura seksinya lebih terasa.

“Benarkah? Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku.

Ini hanyalah bagian lain dari cara pria untuk menggoda wanita yang sedang duduk sendirian di klub seperti ini. Percayalah, aku sangat khatam untuk hal yang satu ini.

“Bagaimana bisa mengabaikan seorang wanita yang sangat bersinar di lampu redup klub ini? Aku pikir mereka sangat bodoh jika benar seperti itu,” jawab pria itu.

Aku tak perlu menolehkan wajahku untuk melihat ia yang sedang menatapku, tatapannya sangat bisa aku rasakan. Tak selamanya aku akan menikmati pria-pria yang menggodaku, apalagi jika ini hanya pria acak yang muncul. Jika aku sedang berada di dalam mood yang baik, maka aku akan dengan senang hati menangggapi godaan ini.
Sepertinya ini bukan malam yang baik untuk menemukan Theo, mungkin juga pria itu tak di sini. Aku segera mengeluarkan tiga lembar pecahan seratus ribu dan meletakkannya di meja begitu saja, lalu beranjak berdiri.

“Kamu mau pergi?”

Aku tak menggubris pria itu dan segera melangkahkan kaki untuk ke pintu keluar, tapi langkahku terhenti ketika tiba-tiba Theo juga muncul dari pintu itu. Theo juga terlihat terkejut dengan kehadiranku. Kini pikiranku terbagi, aku menatap pria yang tadi menggodaku dan juga Theo. Kenapa Theo ini sangat terlambat? Aku jadi bingung harus tinggal atau pergi saja. Tapi, aku benar-benar sudah tak memiliki mood untuk tinggal lebih lama.

“Kita bertemu lagi,” ucap Theo.

“Tapi sepertinya aku harus pergi lebih awal.” Aku memberinya senyum tipis.

Menyebalkan ketika dalam situasi seperti ini. Rencanaku bisa saja berjalan dengan mulus jika saja Theo datang lebih cepat. “Aku antar?”

Alisku mengerut mendengar kalimat tanya itu, benar-benar kalimat tanya, bukan yang hanya mengatakan lalu memaksaku untuk ikut dengannya. Ia benar-benar bertanya padaku.

“Ah, tak perlu. Aku bisa pulang sendiri, silahkan nikmati malammu.” Aku melanjutkan perjalananku untuk keluar. Jual mahal sedikit biasanya menjadi trik terbaik untuk menarik seorang pria untuk mendekat padamu, sebelumnya itu sangat berhasil untukku.

Yah, mungkin lain kali saja. Masih banyak waktu yang kumiliki untuk menggoda Theo, malam ini mungkin sebaiknya aku habiskan bersama Theo di kafenya saja. Do’a sahabat-sahabatku yang menginginkan taruhan ini berakhir memang sangat manjur kadang-kadang. Seharusnya mereka sangat bersyukur karena aku kadang bisa menjadi sedikit jinak seperti ini.

“Kamu pergi kearah mana?”

Aku menolehkan kepalaku, dan sangat kaget dengan siapa yang ada di sebelahku sekarang ini. Theo sedang tersenyum menatapku, aku tak sedang bermimpi, kan? Apa dia benar-benar serius ingin mengantarku? Atau trik yang kugunakan berhasil? Mudah sekali membuatnya masuk dalam jeratan pesona seorang Tamara. Ah, tapi dia juga seorang pemain, wajar saja.

“Kamu ngapain di sini?” tanyaku heran.

“Sepertinya malam ini bukan waktu yang baik untuk ke klub, jadi, sebaiknya aku mengantarmu pulang saja.” Theo menaikkan alisnya dengan senyum tipis itu.

Untuk sesaat, hanya untuk sesaat, aku merasa seperti masuk dalam pesona seorang Theodore Salim ini. Senyum itu benar-benar sangat manis dan membuatmu tak bisa fokus pada apapun lagi selain senyumnya. Ia juga kembali mengenakan jaket kulit seperti terakhir kali. Kupikir itu pakaian wajibnya, dengan warna hitam yang menghiasi dari kaos hingga celana, beruntung sneakers yang ia kenakan berwarna putih.

Jika di pikir-pikir, jika di kantor pun kemeja yang ia kenakan tak jauh dari warna putih, hitam, abu-abu, serta sesekali krem. Ia tak pernah mengenakan kemeja dengan warna cerah, mungkin ia sangat menyukai warna-warna gelap. Tunggu, apa selama ini aku memperhatikannya?

“Dan sebaiknya kenakan sweatermu, tatomu benar-benar jadi pusat perhatian,” tambahnya lagi.

Ya, aku memang hanya mengenakan cocktail dress tanpa lengan yang sangat menonjolkan seluruh tato yang ada di kedua lenganku. Ada tato bunga mawar tanpa warna di lengan kiriku dan juga kupu-kupu, lalu ada tato bunga mawar dengan warna di lengan kananku dan juga kupu-kupu juga. Lalu ada tato mancis di lengan atas sebelah kanan, semua itu terlihat dengan jelas dengan pakaian yang kukenakan.

Di luar pekerjaan, aku memang suka mengenakan pakaian kurang bahan seperti ini, jadi harap di maklumi. Lagipula ini sangat sesuai dengan suhu Jakarta yang sangat panas.

“Kamu salah satunya?” tanyaku dengan senyum jahil.

“Well, semua orang akan seperti itu.”
Senyum jahilku semakin lebar mendengar jawaban Theo. “Lalu bagaimana menurutmu?” Aku sengaja memutar tubuhku di hadapannya dengan senyum terbaik yang kumiliki. Kupastikan tak ada yang bisa lolos dari pesona seorang Tamara Pricilia.
Ia hanya tertawa dan berjalan menuju mobilnya. Ini pertanda baik, kan? Lihat saja senyum manis itu. Gita harus menyiapkan kartu hitamnya dengan baik, karena aku akan memilih Kate Spade yang paling mahal.

Hai, aku bakal publish 3 chapter awal dulu ya, kalo rame bakal aku lanjutin terus nih. Jangan lupa kasih dukungan, kritik dan sarannya juga ya

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience