Rate

BAB 2

Drama Completed 409

Apa yang harus kulakukan tuhan, aku tidak ingin menceraikan Raihana bukan karena diriku tidak dapat mencintainya hingga saat ini, tapi yang kutakutkan hanyalah nasib Andra …!
Tapi, bagaimanapun juga aku yakin, aku dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh ayah kandugku sendiri yakni, mempertahankan mahligai ikatan suci pernikahannya. Mungkin bagi ayah mustahil untuk dapat memaafkan kesalahan ibu yang sudah membakar kebencian, kecemburuan dan kepedihannya. Tapi aku hanyalah seorang anak yang telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi kehidupanku. Dan untuk hal ini, jika aku sampai benar-benar menceraikan Raihana maka aku adalah ayah paling durjana di dunia ini. Dan di sisi lain, Raihana sangat tidak pantas untuk diceraikan, kerena dia adalah sosok gadis keibuan yang setia padaku, setia merawat dan mengasuh Andra anak semata wayang hasil dari buah cinta kita. Raihana tidak pernah sekalipun bermain serong di belakangku, dia amat begitu menyayangiku walau dia tau aku belum dapat menyayanginya sepenuh hati. Tapi apa yang dikatakan Raihana malam itu sungguh membuat hatiku semakin kokoh pendirian, Raihana yakin seyakin-yakinnya, suatu saat nanti ketika garis takdir telah sampai padaku, aku akan sanggup mencintainya sepenuh hati dan aku diharapkan agar selalu pilih jalan yang terbaik, sesulit dan sekeras apapun jalan itu jalani dengan penuh hati lapang niscaya semuanya akan lancar dan ramah… dan itulah yang mengakhiri lamunanku di taman kota yang sudah hampir gelap itu.

Aku pulang dangan ditemani bayangan semu senja merah di ufuk barat yang sangat indah dipandang tapi sangat sulit diterka tentang makna dari warna merahnya, sepanjang perjalanan ku berdoa dengan harapan setibanya di rumah aku akan disambut oleh senyuman dua orang yang telah mengisi rongga-rongga kehidupanku selama ini. Dan ternyata benar, Andra serta Raihana telah menanti kepulanganku di teras rumah dengan setoples biskuit kesukaan Andra yang menemani mereka berdua berbisik-bisik dalam canda dan tawa manis yang terpancar dari keduanya yang menyegarkan semangatku kembali setelah seharian aku hidup dalam dunia temaram dan kekhawatiran atas segala kegelisahanku yang bersajakkan kata-kata setan yang terus saja mengikuti langkah-langkahku kini di usiaku yang belum genap mencapai 35 tahun. Aku pun segera bergegas mandi dan bercengkrama dengan anak isteriku… inilah moment-moment yang tidak ingin aku musnahkan sampai aku kembali ke pangkuan sang maha esa.

Pagi itu, siulan burung mungil di dahan pohon seakan memanggil dan menggugah jiwaku yang mulai dapat sedikit demi sedikit mencintai Raihana , apalagi setelah ku tau tanpa ku sadari sebelumnya ternyata Raihana tengah mengandung jabang bayi dalam rahimnya yang sudah menginjak minggu ke-4, antara sadar dan tak sadar ku tersenyum bahagia sesaat setelah Raihana mengabarkan kabar bahagia itu, ternyata aku tambah yakin bahwa tuhan benar-benar adil. Bagaimanapun juga ini adalah kado terindah buat ulang tahunku, meski ulang tahunku masih satu minggu lagi. Lambat laun, rasa cintaku pada Raihana isteriku semakin bersemi elok.

Di sisi lain, saat ayah mendengar kabar kehamilan Raihana , ayah tidak bahagia sedikit pun, bagi dirinya ini adalah sebuah buah yang sama sekali diharapkan kematangannya. Ayah datang menemuiku dengan amarah dan meminta agar aku segera menceraikan Raihana . Ayahku memang sudah kuanggap gila dan buta. Bagaimana mungkin aku sanggup menceraikan Raihana yang tengah hamil muda dan meninggalkan Andra seorang putra yang aku sayangi… dalam pembicaraan yang penuh amarah itu antara aku dan ayahku, ternyata Raihana mendengar dari balik pintu kamar. Apa yang harus kuperbuat saat itu, ayah marah lantaran Raihana hamil, sumpah aku tak mengerti dengan alur pemikiran ayah. Parahnya lagi, Raihana pergi tanpa sepengatahuanku dan hanya meninggalkan sepucuk surat di atas kasur.

“Mas… Ceraikan Raihana jika ayah memang ingin melihat dirimu bahagia”
Raihana isterimu.

Surat singkat itu membuka kembali kesedihan dan kegelisahan yang telah aku simpan dan terkunci rapat dalam hati dan pikiran ini, yang aku takutkan hanyalah Andra . Aku takut dia merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan saat aku remaja. Karena ketakutan itulah, saya terus menerus menghubungi Raihana walaupun hasilnya tetap sama, Raihana tidak mengangkat panggilanku, entah Raihana sekarang pegi membawa Andra kemana, tapi yang terbesit dalam benak ini bahwa aku yakin saat ini Raihana sedang berada di rumah Aba Daus. Tak perlu membuang waktu, dengan tangisan yang tertahan di dada dan kekhawatiranku terhadap nasib isteri, anak dan calon bayiku, diriku lantas segera pergi menyusul Raihana ke Sibu a.

Jalanan kutelusuri walaupun aku tau saat itu, hari sudah mulai gelap dan hujan turun cukup deras, tapi tekadku sungguh sangat bulat. Aku ingin merangkul kembali anak isteriku agar menemani hari-hariku. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat untuk aku dan Raihana mengarungi mahligai rumah tangga dan aku tak kan segila itu memusnahkan kenangan yang telah ku ukir bersama Raihana hanya karena Ayahku yang sudah gelap pemikirannya tertutup oleh dendam…

Sesampainya di rumah Aba, ternyata feelingku benar Raihana dan Andra memang benar-benar pergi ke rumah ini, karena sejak awal aku yakin Raihana tidak akanlari ke tempat lain selain rumah Aba… kelopak Mata ini sekarang sudah benar-benar tak kuasa untuk membendung air mataku. Di depan pintu tepat yang dibuka oleh Raihana , ku membentangkan lengan dengan selebar-lebarnya untuk kemudian memeluk tubuh Raihana . Dalam dekapanku Raihana menangis dan menyesal telah meninggalkan rumah tanpa seizinku, aku pun demikian secara terus terang aku tak ingin kehilangan cinta isteri yang sudah benar-benar dapat kucintai setulus hati.
Tak dapat kubayangkan, jika Raihana tidak akan memaafkan semua kesalahanku padanya, apa yang terjadi pada Andra anakku…
Hari semakin larut dan hujan tampaknya sudah mulai mengurangi debit airnya serta jangkrik mulai bernyanyi bagaikan diva di tengah malam di desa Sibu a saat itu yang dengan cepat menuntunku untuk menutup mata malam ini dalam pelukan Raihana isteriku.

Pagi menjelang
Mentari menyapa tanah Sibu a dengan kehangatan yang menyelimuti, tak sengaja aku melihat Raihana sedang melamun seorang diri di teras rumah sambil mengelus-ngelus perutnya yang sudah nampak buncit. Kucoba tuk menemani kesendiriannya dalam lamunan di pagi yang tidak terlalu dingin itu. Ternyata dalam lamunannya, Raihana berharap agar aku benar-benar mencintainya, Raihana tidak ingin anak-anak kita merasakan pil pahit kehidupan dengan ketidakharmonisan kita sebagai pasangan orang tua untuk Andra dan calon adiknya… harapan Raihana sungguh ku aminin, dunia seakan menarik dan mengajak diriku untuk terus tetap mencintai Raihana sampai akhir hayat memisahkan raga kita. Sampai kapanpun tetap ku pertahankan walau ku tau ayah akan terus meradang amarah padaku. Aku yakin, pernikahan yang semula berdasarkan dengan keterpaksaan ini akan berakhir bahagia… walau untuk mencapai titik kebahagiaan itu harus mencapai rajaman siksaan entah yang secara lansung timbul dari ayahku sendiri atau bahkan dari semua orang yang tidak menyukai pernikahan kami.
Bulan-bulan kehamilan Raihana , adalah bulan dimana kami terus diterpa badai angkara murka dari ayahku, tapi itu semua tak menggoyahkan hati kita untuk sselalu tegar dan semakin erat memeluk satu sama lain…

Bulan Ogos , tepatnya tanggal 25 … dengan keringat syurga seorang Ibu, Raihana melahirkan seorang bayi laki-laki kembali. Sempurnalah hidup kami akan anugerah ini… Dewi Juita Ariyana, itulah nama anak kedua kami… namun sebulan kemudian, kabar kesedihan menerpaku kembali, Ayah kandungku meninggal dunia membawa kebencian yang tak kunjung mereda pada dua gadis borneo , ibu dan Raihana … betapa sedihnya aku, salam sedih dan duka terus mengundang jatuhnya air mata ini dan aku hanya dapat berharap saat jasad ayah terbujur kaku memasuki alamnya yang baru agar dapat memaafkan semua kesalahanku dan isteriku…

Mendung mulai menyulam tanah pemakaman, hanya seuntai kalimat yang aku haturkan di atas pusara ayah yang berhias bunga kebisuan dan nisan yang menancap sedih itu… “MAAF AYAH… AKU TAK DAPAT MELAKUKAN APA YANG AYAH MAU, SELAMAT JALAN AYAH… DOAKU SENTIASA MENGIRINGIMU”.

Mulai saat itulah, ku mulai menata kembali kehidupan keluarga kecilku. Membuka mata dan melapangkan dada menyambut mentari pagi yang membawa kabar pembaharuan dalam hidupku dan isteriku tanpa orang tua yang kami sayang dalam hidup ini… dengan semangat baru, kami bertekad membesarkan kedua anak-anak kami dalam keluarga yang harmonis dan menyenangkan hingga anak-anak kami tumbuh menjadi anak yang berjiwa sosial tinggi, cerdas, aktif dan bijksana dengan psikologis mereka yang tak terganggu sedikit pun…

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience