Rate

BAB 1

Drama Completed 409

Tidak terbayang olehku, sejak aku menikahi gadis borneo lima belas tahun silam. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, yang terlintas hanyalah sebuah paksaan dari orang tuaku yang ngotot ingin menjodohkanku dengan anak seorang makelar tanah terkaya di Borneo yang kebetulan adalah partner kerja ayahku. Permainan cinta yang dilakoni olehku dan Raihana isteriku adalah selayaknya permainan wayang yang didalangi oleh ayahku sendiri. Bagaimana aku harus bertindak, bagaimana aku harus melangkah. semuanya itu seperti takdir yang menjelma sebagai mimpi buruk bagiku. Walau saat ini, aku dan Raihana telah dikurnia seorang putera yang kuberi nama “Andra Darryan ” yang kini telah beranjak remaja, tapi diriku masih saja belum dapat mencintai Raihana setulus hati dan rasanya seperti ombak yang berkecamuk dalam firasat ini jika aku memaksakan diri tuk mencoba memberi cinta selayaknya seorang suami pada umumnya. Sejujurnya Raihana bukanlah wanita yang kuharapkan untuk menjadi pelabuhan mahligai cinta dalam hidupku. Tapi yang saya kagumi dari sosok Raihana adalah kebesaran hatinya menerima perjodohan ini hingga dia harus melayani seorang suami yang belum dapat mencintainya sepenuh hati.

Dan suatu saat ketika Andra menanyakan padaku, seperti apa kehidupan aku sewaktu masih seumuran dengannya. maka, seketika itu pula badanku beranjak terpaku seperti sebuah patung. Dan seperti biasa, yang menjadi penyelamat patung itu adalah Raihana , secara panjang lebar Raihana bercerita tentang masa lalu kita semasa remaja, walaupun aku tau Raihana hanyalah merangkai kalimat-kalimat kebohongan terhadap Andra . Itulah yang selalu Raihana perbuat pada Andra untuk menutup-nutupi masa lalu kita khususnya masa lalu ku yang sangat menyedihkan. Dalam canda yang lumayan hangat itu, tiba-tiba dering telephon memecahkan candaku dengan Raihana dan Andra . Tak lama setelah itu, Raihana berteriak histeris sambil memanggil-manggil Aba dengan loghat borneo nya yang masih kental di ujung lidahnya, Andra yang terkejut mengahmpiri ibunya dan aku pun juga merasakan hal yang serupa dengan Andra … setelah kutenangkan Raihana yang pingsan sejenak dan tersadar dalam dekapanku saat itu dan dengan terisak Raihana mengatakan bahwa Abanya dan sekaligus telah menjadi mertuaku meninggal dunia.

Tanpa basa-basi, kami berbenah diri untuk meluncur dari Kuala Lumpur tempat kami tinggal sebagai keluarga kecil menuju Borneo tepatnya adalah daerah Sibu a, tiga jam perjalanan kami tempuh menggunakan mobil avanza hitam pemberian Aba pada kita saat usia pernikahan kita telah genap sepuluh tahun. Mungkin bagi diriku, ini adalah untuk pertama kalinya, bagaimana ku melihat cara hidup bersosial masyarakat di daerah ini masih sangat kental. Dengan sigap, cekatan, dan saling bahu membahu membantu keluarga Kami yang sedang berduka tanpa pamrih sedikitpun. Dengan logat borneo yang khas mereka saling berbincang entah tentang apa yang sedang mereka bincangkan itu, yang aku tangkap hanyalah satu dua kata yang telah terbiasa kudengar dari mulut Raihana seperti kata “pora’ alla, adinggel omor, neser, ngocak”. keadaan Raihana yang diliputi rasa sedih yang amat teramat mengajak sajak kesedihanku pula. Di atas pusara Aba Daus yang telah dihiasi bunga kebisuan itu, kami berdua dan sanak saudara terus saja menitikkan air mata.

Dalam benak sadarku, terlintas perasaan bersalah pada Aba karena diriku telah menyia-nyiakan cinta anaknya padaku. Aku pun terbesit pikiran untuk mulai intropeksi diri dan mulai mencoba mencintai Raihana walau itu sulit rasanya. Raihana dan Andra adalah hidupku saat ini, mereka adalah tenaga bagiku dan hidupku. Semalaman, Raihana terus saja memanggil nama Aba, dan ketika tepat tengah malam ketika Raihana telah terlelap dalam sedihnya. Pikiranku terbang jauh untuk flasback ke masa dimana aku masih remaja. Dimana dunia remajaku saat itu adalah masa paling kelam dalam hidupku. Aku terpuruk dalam ketidak berdayaan melawan takdir yang memisahkan kedua orang tuaku. Pertinkaian yang terjadi di antara keduanya dimulai saat ibuku ternyata terbukti selingkuh dengan adik ayahku sendiri dan diakhiri dengan pertengkaran hebat dan ujung-ujungnya adalah perceraian, saat itu mungkin seandainya aku tak tergugah untuk terus bertahan hidup mungkin aku sudah mati di jerat tali. Sungguh kejam pamanku saat itu, sepintas dia sangat baik padaku, tapi ternyata busuk hatinya. Ibuku menangis di depan hakim seakan ibu menyesali perpisahan dengan ayah, dengan acuh ayah meniggalkan ibu sendiri di batas kota dan menarik lenganku agar aku meninggalkan ibu pula. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, aku hanya menangis dan menangis. Dan dalam lamunan itu aku tersentak kaget mendengar Andra memanggil aku yang sedang melamun sendiri di teras rumah Aba… ternyata Andra hanya mengigau semata dalam mimpinya yang entah sedang bermimpi apa. Karena hari telah larut dan berteman dengan hujan yang rintik-rintik membawa mata ini kembali kepada peraduan mimpi. Dan aku pun tertidur dekat Andra anak semata wayangku.

Keesokan harinya, aku dan Raihana disapa oleh orang tua paruh baya yang entah dia siapa, saat aku diajak Raihana berbelanja buat keperluan tahlilan almarhum Aba. Dengan logat borneo nya beliau mengatakan “pessabber hedeh nak” sambil menepuk pundakku, dengan segera ku menoleh kepada muka Raihana . Dan Raihana pun segera membalas dengan kata sopan terhadap orang tua itu “Enggi pak, mator sakalangkong”… entah apa yang dapat kupikirkan dan kumaknai dari percakapan itu, aku sedikit canggung dan hanya dapat menjadi pendengar yang baik saja sambil membalas senyuman dengan, penuh wibawa dan sopan.

Setelah tujuh hari kepergian Aba, kami semua berkemas untuk kembali lagi ke Kuala Lumpur , tuntutan pekerjaan yang telah lama kutinggalkan telah menunggu, serta Andra yang harus kembali lagi untuk menuntut ilmu di sekolahnya setelah 7 hari mengambil cuti. Hari pertama masuk kerja, pikiranku belum sepenuhnya untuk bekerja karena masih saja terngiang-ngiang tentang masa remajaku yang kelam, juga kegelisahan tentang kisah percintaanku dengan Raihana isteriku yang tak kunjung dapat kucintai setulus hati… karena kegelisahan yang mendera terus menerus selama ini. Maka itulah, aku lebih memilih pulang sebelum waktu pulang kantor tiba. Dalam perjalanan pulang, aku memilih berhenti di taman kota untuk sekedar menyendiri dan menelaah seorang diri pikiran yang berkecamuk dalam otak yang tak kunjung rutuh.

Entah mengapa, Semakin umurku bertambah, maka semakin pula membatu kegelisahan pikiran ini dalam otakku. Nada-nada kebisuan selalu memanggil jeritan hati kecilku, aku ingin sekali berontak tapi ku tak sanggup. Sebenarnya, ku benci kalau mengingat masa remajaku yang tinggal dalam ketidakharmonisan keluarga. Apalagi jika aku harus mengingat kembali sosok ibu yang telah menjerat nadi cinta ayahku padanya, meninggalkan aku bersama ayah seorang hingga aku dewasa hanya demi seorang paman yang durjana.

Sebelum aku menikahi Raihana , aku sudah mengerti permintaan ayah, dan akulah yang dijadikan batu sandungan oleh ayah agar aku dapat meluluhkan hati gadis borneo dan mampu menyakiti gadis itu, sebagaimana ayah telah disakiti oleh ibuku sendiri yang asli keturunan orang borneo juga. Itulah permintaan Ayah padaku dan alasan ayah menjodohkanku dengan Raihana gadis borneo anak dari temannya itu. Dendam ayah terhadap wanita borneo ternyata tidak semudah itu lekang dalam cerita hidupnya, apalah daya Itulah sebabnya, Tapi… agrhhh, aku membecimu bu. Gara-gara kamu bu, aku harus mencoba menelan racun kehidupan. tapi aku anak yang telah meminum air susumu selama dua tahun, pantaskah aku membencimu…?, akankah aku akan jadi anak durhaka…?, aku terlalu lelah dan tua untuk belajar mencintai. Cukup aku yang merasakan nasib ini, Jangan Andra anakku tuhan. Aku tidak akan membuat lubang seperti yang telah dibuat oleh orang tuaku dulu. Mungkin cintaku pada Raihana tidak sempurna, tapi akan kucoba dan terus kucoba untuk menjadi seorang suami dan ayah yang baik sekaligus menjadi teman untuk mereka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience