Part 3

Romance Series 2123

Pada malam hari setelah salat maghrib, semua orang di kediaman Azzura berkumpul di halaman belakang. Acara kumpul keluarga yang sesungguhnya akan berlangsung sebentar lagi namun sudah sangat ramai dengan kedatangan keluarga Ervi. Tadi pagi hanya ada muda-mudi. Namun saat ini yang tua-tua juga sudah datang.
Semua saudara dari Ervi datang, tapi tidak dengan saudara Lalita. Memang selalu seperti itu. Bahkan Azzura sudah tak heran dengan hal itu. Entah ada hal apa yang membuat Lalita tak akrab dengan keluarganya sendiri.

Azzura juga tak pernah main kerumah neneknya, dia hanya datang saat hari raya idul fitri. Itupun tak lama, hanya beberapa jam. Dua jam saja sudah paling lama. Azzura juga tak ingin terlalu ikut campur, menurutnya Lalita adalah orang yang sangat bijak dan akan melakukan apapun selagi itu mengarah ke hal positif. Tapi, kalau sampai Lalita tak mau berkunjung kerumah saudara dan orang tuanya. Berarti ada hal yang benar-benar rumit.

"Zura, jangan dipikirin terus dong Daddynya Melisya." Goda Ifi sembari mengulurkan sosis bakar yang ditusuk dengan tusuk sate.

Azzura menerimanya dengan raut wajah kesal, dia juga tak memikirkan duda muda itu sama sekali. Kenapa Ifi berpikir kalau Azzura memikirkannya? Apakah ekspresi wajahnya terlihat sangat mempedulikan duda itu?

"Siapa juga yang mikirin Om-om itu," bantah Azzura dengan kesal. Dia kembali menyandarkan punggungnya pada bantalan kursi taman. Lumayan mengasyikan juga ternyata merenung sesaat.

"Dilihat dari wajahnya, kayaknya belum tua deh, Ra."

"Siapa?" tanya Azzura sembari menggigit ujung sosis, Ifi menoleh menatap Azzura dengan senyum miring sebelum mencondongkan tubuhnya kearah Azzura.

"Duda muda kaya raya,"

"Kak Ifi apaan sih, yang di bahas dia mulu." Sahut Azzura semakin kesal.

Sedari tadi siang, Ifi selalu membahas tentang Gavril. Entah dimanapun tempatnya. Bahkan saat mereka berbelanja juga sempat-sempatnya Ifi memuji Gavril. Entah berkata sangat tampan, badan sangat oke tinggi, putih, model rambut dan wajah terlihat sangat serasi, badan proporsional yang Ifi yakini lelaki itu memiliki otot perut. Jangan lupakan otot yang menonjol di lengan serta punggung tangannya, jarinya juga sangat panjang dan bagus. Kalau saja Ifi lebih dulu bertemu Gavril daripada Edo. Sudah pasti dia mendekati Gavril.

"Gak juga, dia kayaknya bukan tipe suami idaman. Lihat aja mukanya datar banget kayak talenan."

"Ra, biasanya cowok dingin itu punya cara tersendiri bikin ceweknya luluh dan suka. Kamu aja yang gak ngerti. Btw, kamu kurang ajar banget cowok seganteng itu di samain sama talenan."

Azzura berdecih pelan sebelum berdiri dan meninggalkan Ifi sendirian. Rasa-rasanya, duduk dan mengobrol dengan ibu satu anak tersebut sangat menjengkelkan. Walaupun Ifi bukan sepupu aslinya, karena yang sepupu asli adalah suami dari Ifi. Jadi, Ifi kakak sepupu ipar.

Namun dia dapat menempatkan diri dengan baik, begitu ramah, mudah berbaur dengan keluarga, apalagi dia juga sangat pandai memasak. Kandidat calon menantu yang sempurna kata tantenya untuk Edo yang terlalu santai dengan hidupnya karena orang tuanya sudah kaya raya.

"Mau kemana?" tanya Alif saat bertemu Azzura di ambang pintu gerbang.

"Beli Kiranti di depan, Kak Alif baru dateng?" tanya Azzura balik sembari mendongak untuk menatap wajah sepupunya.

"Iya, tadi ada masalah sedikit di toko. Jadi, di selesaikan lebih dulu." Jelas Alif, tangannya mengusap puncak kepala Azzura dengan gerakan sangat lembut.

Azzura pernah memimpikan. Semoga, suatu saat nanti Azzura dapat menikah dengan lelaki selembut dan sebaik Alif. Sudah sukses di usia muda dengan membuka toko roti diberbagai kota membuat garis kehidupan mengantarkan Alif pada masa kejayaan di usia muda.

"Mau Kakak antar?"

"Gak usah. Kak Alif istirahat aja di dalam, pasti capek, kan? Lagian nanti juga katanya mau nginep jadi bisa ngobrol lama."

"Ya sudah, hati-hati, ya." Ujar Alif sebelum berjalan meninggalkan Azzura sendiri.

Azzura menghembuskan napasnya pelan, dengan kepala menggeleng beberapa kali. Dia mulai melangkahkan kakinya keluar halaman rumah. Di perjalanan Azzura berdoa dengan harapan semoga tak bertemu bocah ingusan yang selalu mengganggunya. Bisa bahaya kalau bertemu, jatah membeli hanya lima puluh ribu bisa melebihi target kalau bersama Alex dan yang lain.

"Kak cantik!" panggilan nyaring dari halaman rumah yang Azzura lewati membuat gadis tersebut menelan ludahnya susah payah.

Azzura juga berharap agar tak bertemu Gavril dan Melisya. Entah kenapa dia deg-degan saat bertemu duda muda tersebut. Bahkan, tadi pagi setelah dia bertemu Gavril. Sampai rumah pun jantungnya masih berdetak dengan cepat, tak seperti biasanya.

"Eh, Melisya mau kemana?" tanya Azzura dengan senyum manis. Harus bersikap baik pada anak-anak, walaupun anak tersebut sudah pernah membuat Azzura nyaris menangis.

"Beli rokok sama Daddy." Sahutnya dengan senyuman tak kalah manis.

"Kamu merokok?" tanya Azzura terkejut, tangan kanannya sudah menutup mulut dengan gelengan tak percaya.

"Apakah kamu berpikir seorang anak usia 4 Tahun di perbolehkan merokok, Nona Azzura?" suara dengan nada datar dari arah belakang Melisya membuat Azzura terkejut bukan main.

Matanya berkedip beberapa kali sebelum menggeleng pelan. Dia mengangkat dua jari telunjuk dan jari tengah, pertanda damai dari Azzura. Otaknya seperti berhenti bekerja dan menanyakan hal aneh saat berdekatan dengan Melisya maupun Gavril.

"Kak cantik mau kemana?" tanya Melisya saat melihat tatapan tajam dari papanya mengarah pada Azzura. Dia tahu apa yang harus dilakukan, Melisya cukup tahu suasana hati papanya seperti apa. Dan dia juga tahu cara mengatasinya.

"Eh? Mau ke minimarket depan. Jangan panggil Kak Cantik, ya. Panggil aja Kak Azzura, atau Kak Zura gitu." Ujar Azzura dengan senyum manis.

"Hehehe iya, Kak. Bareng yuk. Daddy juga mau ke minimarket depan." Ujarnya sembari menarik jemari lentik Azzura untuk berjalan.

Azzura tersenyum manis sebelum ikut menggenggam jemari Melisya. Gavril menggeleng pelan sembari berjalan dibelakang Melisya dan Azzura, melihat punggung mungil anak dan tetangganya. Terasa lumayan menyenangkan, seperti keluarga bahagia.

Ada ayah, ibu dan anak. Pemandangan yang belum pernah Gavril lihat dari rumah tangga sebelumnya, memang cukup memprihatinkan.

"Kak Azzura kelas berapa?" tanya Melisya, kepalanya mendongak untuk menatap Azzura.

"Kelas sebelas, bentar lagi naik ke kelas dua belas." Jawab Azzura tak kalah riang dengan Melisya.

Gavril dibelakangnya tersenyum miring dan menggeleng, untuk sekarang dia tak melihat seperti keluarga bahagia. Tapi seperti dirinya tengah mengantar dua anak untuk membeli eskrim.

"Kalau aku kelas TK, aku gak pengen cepet gede, Kak." Azzura menghentikan langkah kakinya dan menatap Melisya dengan alis terangkat sebelah.

"Kenapa?"

"Kalau aku cepet gede, Daddy juga akan semakin tua. Aku gak mau Daddy cepat tua, aku mau nemenin Daddy terus. Biar Daddy gak kesepian." Azzura termenung mendengar jawaban polos Melisya.

Azzura membungkuk untuk menyetarakan wajahnya dengan wajah Melisya. Senyum manis Azzura yang tiba-tiba terukir membuat Melisya heran.

"Semakin bertambahnya hari, Melisya juga akan semakin besar, dan itu diluar kendali kamu maupun Daddy." Ujarnya dengan lembut.
Gavril menegang saat mendengar bibir mungil Azzura menyebut kata Daddy dengan begitu lembut.

Tatapan mata yang sangat tulus juga membuat Gavril berdeham pelan. Azzura menoleh menatap Gavril dan tersenyum lembut, dua insan yang saling bertatap seperkian detik tersebut segera memutus kontak mata saat tersadar.

"Yang terpenting, sekarang Melisya jaga Daddy, rawat Daddy biar nanti Melisya gak menyesal saat sudah besar."

"Gimana caranya. Waktu Daddy sakit beberapa bulan yang lalu aja aku cuma bisa nangis, gak bisa bantu apa-apa."

"Suatu saat nanti pasti bisa, lagipula waktu itu kan masih ada Mama. Pasti Mama jaga Daddy, kan?" tanya Azzura, jemarinya mengusap puncak kepala Melisya pelan sembari berdiri dan kembali berjalan.

"Mama gak pernah nyentuh Daddy, bahkan Daddy sakit pun Daddy bikin minum sama ngompres dirinya sendiri."

Azzura kembali terkejut, dia menatap Gavril yang berada dibelakang dengan cepat. Alisnya mengernyit dengan bibir menganga, dia akan mempercayai ucapan Melisya. Karena biar bagaimanapun ucapan anak-anak adalah kejujuran.

"Gak usah didengar. Mel, cepet jalan." Perintah Gavril dengan wajah semakin datar.

~~~
Sesampainya di minimarket, Azzura segera berjalan menuju tempat dimana yang dia cari berada. Gavril mengikuti anaknya yang berlari menuju box eskrim. Tanpa ditanya Gavril sudah tahu eskrim seperti apa yang anaknya suka.

"Kak Zura dibeliin gak, Dad?" tanya Melisya tanpa menatap ayahnya. Dia sibuk mengambil beberapa eskrim yang menurutnya enak.

Gavril menoleh dan menatap Azzura sebentar, namun gadis itu masih sibuk dengan kiranti yang dia pilih. Azzura sedang melihat tanggal kadaluarsanya, kalau masih lama dia bisa menyetoknya.

"Belikan saja. Hitung-hitung minta maaf waktu itu."

"Siap, Daddy. Ini yang bayar Daddy, kan?" tanya Melisya dengan tatapan mata tajam. Gavril menahan senyum dan menggeleng.

"Memangnya kalau pakai tabungan Melisya boleh?"

"Gak, itu buat beli kado ulang Tahun Daddy nanti." Balas Melisya dengan cepat.

"Iya, Nak. Cepat pilih."

Setelah selesai, Gavril dan Azzura berdiri di depan kasir. Melisya menaruh belanjaannya diatas meja kasir. Azzura berdiri dibelakang tubuh Gavril yang tinggi tegap, sangat mempesona jika dilihat dari dekat.

"Azzura, belanjaan kamu sekalian." Ujar Gavril sembari menoleh.

"Eh, gak usah, Om. Saya bayar sendiri saja." Tolak Azzura lembut.

"Gak apa-apa sekalian, jajannya Melisya cuma sedikit saya hanya punya uang seratusan."

"Masalahnya apa?" tanya Azzura bingung.

"Nanti kembaliannya kebanyakan, saya gak terlalu suka menyimpan uang receh. Memenuhi dompet saja." Jawab Gavril enteng, Azzura melongo dengan wajah syok.

"Rada sombong ya, Bapak." Gumam Azzura sebelum menaruh belanjaannya di samping jajanan milik Melisya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience