Rate

BAB 2

Drama Completed 571

“Sudah kubilang! Jika mereka mengumpat atau mengerjaimu lagi, jangan berkelahi!” nasihat Lucy sambil menjiwir telingaku dan menyeretnya sambil berjalan.
“Ah! Sakit! Aww-aww! Iya, maaf. Lepaskan!” kataku sambil memegang telingaku.
“Lihat akibatnya! Kau terlihat sangat berantakan. Apa ini wajah? Ahh!” kata Lucy menghina penampilanku yang begitu serabai dan selekeh.

Memang, tadi aku berkelahi bersama Goulard . Namun sial, aku selalu saja kalah. Dia punya banyak anak buah dan teman di kelasnya. Sedangkan aku? Ahh, kalian pun sudah tahu.

“Ingat, kalau kau berkelahi lagi, kubunuh kau!” ancamnya hampir meludah ke arahku.
“Ya, kau tak mengerti aku! Mereka duluan, aku tak pernah memulainya!” teriakku pada Judy. Lucy berbalik.
“Tapi kau jangan memukulnya! Lihat akibatnya!” balas Lucy menunjuk wajahku.
“Ya, apakah aku harus diam saja saat dihina oleh mereka? Tidak, kan? Aku lelah mendapatkan cemoohan itu dari mereka! Kau tak pernah jadi aku! Jika kau tahu, aku selalu saja dikucilkan dan tak dianggap oleh mereka. Mereka hanya menjadikanku bahan tertawaan! Apa aku harus diam? Sudah cukup bagiku semua yang aku terima, tapi mengapa kau selalu serakah? Kau tak pernah puas! Aku menyesal pernah dilahirkan di dunia ini! Aku menyesal! Aku tak pernah mau tinggal di sini bersamamu! Aku sudah lelah mendapatkan perlakuan buruk darimu! Aku capai! Aku mau tidur! Pergi saja, aku tak peduli!” kataku keras pada Judy.

Lucy hanya diam tanpa memandangku. Aku menahan air mataku sambil berjalan menuju bilik ku. Arggh! Kenapa aku harus hidup kalau begini? Ini hanya semakin membuatku tersiksa. Aku sudah terlalu bersabar dengan semua yang Goulard dan teman-temannya lakukan padaku. Jika dibiarkan saja, mereka malah semakin-makin membuatku menderita. Argghh! Andai Ayahku tak melakukan itu tujuh tahun lalu. Tak mencoba melakukan hal mengerikan itu pada Ibuku yang membuatnya meninggal kini. Aku benar-benar benci!

Kulemparkan tubuhku di atas katil dan mulai berbaring. Kutatap langit-langit bilik yang hanya terlihat putih di sana. Lampu di sana – di langit-langit – terlihat beberapa kali berkedip. Dan seketika, padam. Hal ini menyebabkan bilik ku sedikit gelap. Kubukakan tirai bilik ku dan kembali menghempaskan tubuh di atas katil semula. Tiba-tiba saja tubuhku kurasa begitu berat. Nafasku terasa sangat sesak. Aku merasa lumpuh dan tak dapat bergerak. Bahkan mataku pun tak dapat bergeser dari asalnya. Kurasa pandanganku sedikit buram dan menggelap. Namun tiba-tiba tubuhku terasa hampa dan kulihat seorang wanita tengah berdiri di ambang pintu bilik ku sambil tersenyum. Dah kenapa ni? Apa aku masih bernyawa? Apa dia malaikat pencabut nyawaku? Mengapa dia tampak cantik walau terlihat sedikit tua?

“Hallo, Nak?” sapanya hangat ketika aku bangun dari tidurmu.
“Ka-kau siapa?” kataku bingung menatapnya. Wanita itu tersenyum.
“Aku akan mengajakmu ke suatu tempat,” katanya manis.
“Apa aku sudah mati?” tanyaku. Wanita itu tertawa.
“Tentu tidak, sayang. Kamu masih hidup,” katanya.

Aku menghela nafas. Kutatap lagi wajahnya. Rasanya sedikit familiar. Tapi, ah bukan. Dia tak mirip siapa pun. Dia pertama kali kulihat. Tapi mengapa aku merasa Deja Vu, ya? Apa dia pernah ada di mimpiku?

“Ayo ikut aku, aku akan mengajakmu ke laboratorium Ayahmu!” ajaknya sambil mengulurkan tangan padaku.
“Mengapa ke sana? Apa maumu?” tanyaku.
“Tadi aku mendengar kau dan Kakakmu berdebat, aku hanya ingin menunjukan sesuatu yang perlu kau tahu dari Ayahmu, dia teman baikku dulu, sewaktu aku masih berumur sepantaran Judy,” katanya mengingat kapan dia berteman dengan Ayahku.
“Oh, rupanya begitu,” kataku sambil bangkit, “apa Ayahku aneh waktu dulu?” tanyaku seraya membalas uluran tangannya.
“Hahah, dia tak aneh,” kata wanita itu, “dia baik, dia juga tak seperti yang kau pikirkan,” katanya.
“Ya, mungkin begitu pemikiranmu. Aku tak tahu mengapa Ibu mau menikahinya. Bahkan aku juga bingung bahwa ada yang mau berteman dengannya,” kataku sambil berjalan menuju ruang bawah.
“Mungkin Ibumu merasa cocok dan menyukai apa yang Ayahmu kerjakan,” balasnya.
“Tapi aku tidak,” kataku malas.
“Oh, ayo! Kita sudah sampai. Apa kau ingat kau pernah ke sini?” tanya dia membuka pintu.
“Tidak,” kataku singkat.
“Ya, dulu kau ke sini. Tepat saat Ibumu masih hidup. Aku juga ada di sini,” katanya sambil masuk ke sana.

Saat aku masuk, aku terkejut. Pemandangan apa yang sedang kulihat? Kukira tempat pribadi Ayahku ini sesuatu yang buruk. Tapi ini? Indah sekali. Di sini ada sebuah padang rumput ilalang yang sangat segar. Terdapat banyak hewan yang berlarian dan bermain tenang. Juga ada taman dan banyak bunga-bunga indah di sini. Entah di mana aku dapat menemui tempat seindah ini.

“Di mana ini? Oh, aku seperti bermimpi, apa ini surga?” kataku. Wanita itu tersenyum.
“Sebagian kecil. Tapi ini di ruangan Ayahmu,” katanya.
“Berapa umurmu?” tanyaku.
“Tiga puluh sembilan,” jawabnya. “Tepat terakhir kali aku mendatangi laboratorium Ayahmu saat aku berumur tiga puluh dua tahun.”
“Kau punya anak?” tanyaku.
“Oh, ya. Dia sedang tidur di bilik nya, dia terlihat sangat lelah,” ucapnya sedikit cemas pada anaknya.
“Aku yakin, anakmu pasti sangat senang memiliki Ibu sepertimu. Aku saja sudah dapat menebaknya,” kataku sambil tersenyum padanya.
“Terimakasih, kuharap begitu,” katanya.
“Andai Ibuku masih hidup,” kataku sedikit berharap sambil memandang ke langit biru cerah yang menggantung tanpa awan.
“Dia masih hidup,” kata wanita itu dan menarik tanganku untuk duduk di bangku panjang yang ada di sana.
“Maksudmu Ibuku masih hidup? Tapi dia sudah wafat,”
“Ya. Sebenarnya Ibumu masih hidup. Walau pun dia meninggal, mereka akan tetap hidup di dimensi selanjutnya. Maksudku, walau pun Ibumu sudah wafat, dia masih hidup di alam yang berbeda denganmu, begitu juga Ayahmu dan semua orang yang meninggal,” katanya menjelaskan.
“Benarkah itu?” tanyaku ingin tahu. Wanita itu mengangguk.
“Memang, terkadang kita selalu ingat akan seseorang yang telah hilang dari hidup kita. Tapi tanpa kita sadari, mereka masih mengingat dan menyayangi kita. Mereka masih menyimpan kita dalam hati mereka,” ucapnya.

Tiba-tiba saja air mataku mengalir. Aku tertunduk. Mengapa aku jadi ingat Ibu dan Ayahku? Ada apa denganku? Apakah aku merasa kehilangan Ayah? Apakah aku benar-benar merasa kehilangannya?

“Ada apa, Nak?” tanya wanita itu cemas.
“Aku tak tahu, rasanya aku ingin menangis mengingat orangtuaku,” kataku sambil menyeka air mataku. Wanita itu tersenyum lagi.
“Mereka akan mengingatmu. Apalagi jika kau menjadi seorang anak yang baik,” kata wanita itu sambil mengusap rambutku.
“Ya, tapi aku tak tahu sesuatu. Dapat kah kau beritahu aku kenapa Ibuku meninggal?” tanyaku menatapnya.
“Bukan salah Ayahmu, Ayahmu tak pernah membuatnya meninggal seperti yang kau tahu. Dia terjatuh di laboratorium Ayahmu ketika dia sedang melakukan Astral Projection padamu,” katanya.
“Padaku?” tanyaku merasa aneh.

Setahuku, Ayah memang suka melakukannya. Tapi apakah dapat dia melakukannya padaku? Maksudku pada orang lain. Pada tubuh orang lain. Apakah dia benar-benar melakukan itu padaku? Ahh, aku tertular hal-hal aneh olehnya.

“Ya, aku melihatnya. Persis melihatnya,” katanya sambil memandang langit juga.
“Apa dia ada di sana? Di atas sana, di langit. Apa mereka akan melihatku?” tanyaku. Wanita itu mengangguk. “Apa yang kau katakan benar?”
“Ya, itu benar. Aku hanya ingin kau memaafkan Ayahmu. Dia tak pernah berharap sesuatu yang buruk menimpamu, dia juga amat menyayangimu, berhentilah membencinya.”
“Apakah itu yang benar dia inginkan?” tanyaku.
“Tentu saja, manusia mana yang tak mau dimaafkan saat dia meminta maaf?” tanyanya.

Aku terdiam. Aku sangat sering mendengar kata maaf dari Ayahku. Bahkan karena seringnya aku merasa bosan. Namun, aku tak pernah menjawab satu pun kata maaf itu. Aku selalu marah dan pergi ke bilik ku.

“Dapatkah kau memaafkannya?” tanya wanita itu lagi. Aku mengangguk.
“Oh, ya. Omong-omong, aku harus memanggilmu apa? Aku lupa,” kataku.
“Ibu,” katanya tenang.
“Ibu?” balasku kaget.
“Ya, Ibu.”
“Ka-kau?”
“Ya, aku Ibumu.”
“Jadi-jadi anakmu yang sedang tidur itu-”
“Ya, dia kau,” katanya.
“Lalu aku?” tanyaku bingung.
“Kau melakukan Astral rojection secara tak sengaja. Dan itu membuatmu dapat pergi ke sini.”

Aku kaget bukan kepalang. Aku menggeleng-geleng tak percaya. Aku tak pernah menyadarinya. Jadi, wanita itu, dia, dia Ibuku? Setelah tujuh tahun aku tak bertemu dengannya, kini aku dapat bertatap mata dengannya secara langsung.

“Ibu!” kataku sambil langsung memeluknya.

Air mataku turun. Aku memeluk Ibuku erat. Nyata, dia benar-benar nyata. Aku dapat memeluknya. Benar-benar terasa nyaman. Aku tak percaya, aku dapat memeluknya. Aku tak percaya, orang yang selalu kurindukan kini ada di depanku. Aku sedang memeluknya. Aku telah berbicara banyak dengannya.

“Ibu, kumohon kau kembali. Kembalilah! Bersama Ayah juga, aku akan bahagia. Aku akan sempurna!” kataku sedikit terisak masih memeluk Ibuku.
“Tidak dapat , Ibu tak dapat melanggar hukum alam. Semua kehendak Tuhan, itulah yang terjadi,” kata Ibuku sambil mengusap kepalaku.
“Tapi mengapa seperti itu? Kau tak menyayangiku?” tanyaku.
“Bukan, bukan seperti itu. Terkadang kita juga selalu merindukan orang yang jauh dari kita,” katanya, “termasuk dirimu,” balasnya juga.
“Aku merasa nyaman bersamamu,” kataku memeluknya semakin erat, “aku tak mau kehilanganmu, dan Ayah.”
“Sesuatu memang akan terasa berharga saat kau kehilangannya. Tapi terkadang, kau harus merelakannya. Bahkan mengikhlaskan, harus. Maka dari itu, kau harus menyayangi Lucy sebelum kau kehilangannya,” ucapnya sambil tersenyum padaku.

Pelukanku terlepas. Dia tersenyum sambil melambaikan tangan padaku. Aku merasa diriku semakin tertarik. Aku merasa diriku semakin jauh darinya. Ada apa? Ada apa ini?
Tubuhku berat. Aku mengucek mata dan terbangun dari tidurku. Kulihat pintu bilik ku tertutup. Hal tadi memang seperti mimpi, tapi aku ingat bagaimana detailnya. Apakah wanita itu akan datang dan tersenyum lagi padaku diambang pintu? Apakah dia juga akan mengajakku ke tempat itu?

Tiba-tiba terdengar suara pecahan piring dari dapur. Aku segera berlari ke sana. Pastidan pasti itu adalah Judy. Ketika kulihat dia sedang memunguti beberapa pecahan piring di lantai, aku langsung membantunya mengambil beberapa pecahan itu.

“Terimakasih, Klaus,” katanya.

Aku mengangguk dan langsung memeluknya erat. Lucy terlihat sangat kaget dan tak percaya.

“Aku menyayangimu, Judy. Maafkan aku, aku nakal,” kataku sambil berusaha menahan tangisanku.
“Hahah, kau jangan menangis lelaki!” katanya melepaskan pelukanku. “Lagipula, aku akan selalu memaafkanmu, aku tahu kenakalanmu itu. Aku tak pernah menganggap serius ucapan bodohmu. Sekarang, kau obati lukamu itu agar tak terasa perih,” katanya.

Aku mengangguk dan mencoba menyentuh bibirku yang sedikit berdarah. Perih juga. Langsung saja aku mengambil kotak obat dan mengobati beberapa memar dan lecet di wajahku. Aku tahu, kini Lucy adalah seorang yang harus aku turuti. Walau sebelumnya juga harus begitu. Tapi aku harus melakukan apa yang seperti Ibuku amanatkan padaku. Bagaimana pun juga, Lucy adalah orang yang lebih tua dariku. Aku menyayanginya. Seperti aku menyayangi Ibu, berhenti membenci Ayah, dan menyayangi diriku sendiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience