Rate

BAB 3

Drama Completed 353

Semasa menaiki motosikal untuk pulang ke rumah, Budi tersenyum kepada dirinya sendiri. Beliau adalah kilas balik dengan pengalamannya apabila menyertai unit aktiviti pelajar (PKS) dalam bidang sinematografi. Dari pertama kali dia menjadi seorang lelaki boom ketika pengeluaran kanannya dalam PKS, untuk menulis dan mengarahkan film pendek pertamanya sendiri. Meski prestasi terbaiknya di bidang audio visual hanya sampai tingkat nominasi di sebuah kompetisi film pendek, namun ia yakin dengan semua pelajaran itu.

Vila Berhantu sekali lagi baginya bisa menjadi batu loncatan untuk melangkah lebih jauh. Ia kesampingkan egonya ketika berhadapan dengan film festival art-house yang semua orang awam tidak mengerti. Ia singkirkan pandangan bahwa long shot dengan objek yang statis adalah manifestasi semiotik gambar yang luhur. Ia sekarang fokus pada permukaan saja: jam weker menandakan pagi hari, kokok ayam, matahari terbit, adegan berlari dengan latar musik kencang, dialog-dialog klise dan lain sebagainya. Budi mulai mendalami itu semua. Hal yang sebenarnya ia jauhi saat bergiat di UKM-nya terdahulu.

Tiga hari telah berlalu. Beberapa kali telefon bimbit Budi berdering. Pak Yanto menagih janji yang sudah disepakati: Draf 1 Villa Berhantu. Namun, Budi panik. Naskahnya belum selesai. Tinggal beberapa adegan untuk mencapai garis finis. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Budi , karena ketika mendapat mandat ia langsung mengejar hal yang tidak ia ketahui secara mendalam. Ia riset tentang berbagai formula film horor. Jump scare yang tidak kacangan. Membangun atmosfer ketakutan dengan logika. Semua ia bangun dengan presisi. Ia tidak mau namanya buruk di kalangan kritikus ketika lagi-lagi film horor yang keluar berbau seks dan cacat logika. Namun, hal tersebut malah menyita waktunya. Ia riset selama seharian penuh, dan dua hari ia kebut untuk adegan serta dialog.

“Budi ! Kau jangan malu-maluin saya! Sudah benar namamu saya rekomendasikan. Kredibilitas saya yang hancur, bukannya kau!”

Budi juga menjelaskan panjang lebar kepada Nide melalui telefon. Bang Nide adalah guru teater dan filem semasa sekolah menengah. Katanya, dia tidak dapat menetapkan irama kerja apabila ditawarkan untuk menulis skrin besar tetapi hanya dengan 3 hari mesti selesai. Mendengar tarikh akhir 3 hari, bang Nide perlahan-lahan mula memahami masalah itu.
“Ya, harusnya kau kabarkan ke Pak Yanto dong kalau belum selesai. Jangan hilang ditelan bumi begini. Kan yang kena semprot saya juga.”

“Iya bang. Saya takut kalau bilang belum selesai nanti saya dicoret dari proyek ini. Masalahnya saya belum tekan kontrak.”

“Memangnya kau pasang tarifmu berapa—3 hari bisa selesai?”

“4 juta bang.”

“Tolol kau, Tol! Masak bikin layar lebar dihargain 4 juta. Merendahkan penulis skenario itu namanya. Merendahkan saya juga. Layar lebar tuh minimal 10 juta.”

Budi makin tersudut ketika mengetahui fakta langsung dari praktisi. Ia arahkan kursor untuk menyimpan hasil ketikannya selama 3 hari belakangan. 3 hari yang membuatnya tak beranjak dari manapun kecuali kamar mandi dan dapur.

"Baiklah, inilah urusannya. Sebenarnya keterlaluan juga 3 hari jadi draf 1. Tiada apa-apa pun dalam industri. Sekurang-kurangnya senario skrin lebar ialah 2 bulan. Semakan di sini dan di sana. Itulah jika kita bercakap tentang kualiti. Sekarang, mari kita bekerjasama. Anda datang ke rumah saya esok, huh. "

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience