Rate

BAB 1

Drama Completed 353

BAGI MASA PERTAMA Budi bertemu dan bercakap panjang dengan seorang penerbit filem. Perkara yang pada mulanya dibayangkan, tetapi tidak begitu cepat. Tiga hari yang lalu sebelum dia dikutuk dan dinasihatkan oleh Bang Nide, Budi mendapat panggilan daripada salah satu rumah produksi filem.

"Ini dengan Encik Budi? Bolehkah saya pergi ke pejabat skrin terdekat sekarang? Kami memerlukan penulis senario seram. "

Tanpa berfikir Budi pergi ke pejabat sebelah. Ini adalah permulaan yang baik untuk memasuki industri filem di Indonesia, Budi percaya. Jadi dia bergegas ke pejabat skrin sebelah. Budi duduk di ruang menunggu, ketika pengawal keselamatan memanggil salah seorang kru. Dia melihat pejabatnya benar-benar. Tembok dengan pembalut kuning-kuning, ditaburi dengan banyak kata motivasi dan semangat hidup. Dia melotot. Merasakan bahawa dia tidak mendapat suasana pengeluaran buatan dalam sinematografi, dia melihat sudut-sudut lain dinding.
Terpampang poster-poster film berjudulkan ajaib: Hantu Terbang Tanpa Hati, Setan Asem Manis, Jenglot Jengkol, Kuntilanak Kekanak-kanakan dan lain sebagainya. Budi menelan ludah. Awalnya ia ingin mengabadikan gambar-gambar tersebut lewat telepon genggamnya, namun urung ia lakukan karena sudah keburu dipanggil oleh salah satu kru Layar Sebelah. Masuklah ia ke dalam suatu ruangan.

“Dengan Encik Budi ?” tanya salah seorang kru perempuan dengan tatapan sedikit heran.

“Iya Mbak, betul.”

“Encik selama ini sudah pernah nulis apa aja?”

Terus sahaja dia dihujam dengan soalan cepumas, Budi segera menjawab secara diplomatik.

"Setakat ini satu filem televisyen (FTV) dan siri seram, Mbak. Bergantung kepada keperluan

Parti Skrin Sampingan, saya bersedia menulis sebarang genre. "

"FTV dan kengerian? Tajuk apa? Pol senario atau hanya sinopsis? "

“Ehm, satu skenario dan satu sinopsis mbak.”

Budi seperti tidak siap menerima jawaban. Ia sedikit terbata menjawab. Mbak-mbak yang belum memperkenalkan nama tersebut, memandang wajah Budi dengan terukur. Dari kening sampai dagu. Seolah kualitas penulis skenario dapat dilihat dari tampangnya.

“Oke, jadi begini. Saya dapat kontakmu dari Mas Jae. Kenal kan?” Budi kembali kebingungan.

“Saya kenalnya bang Nide mbak.”

“Oalah Nide. Iya, Jae dapet kontakmu dari Nide. Jadi gini mas, kenalin saya Okta. Layar Sebelah lagi ada proyek untuk film layar lebar. Mas sudah sering bikin horor?”

“Sering sih nggak, mbak Okta, tapi saya orangnya mau belajar dan terus terpacu menghasilkan karya-karya terbaik unuk belantika film Indonesia.” Dengan sok gagah Budi menjawab.

“Oke, film horor terakhir apa yang kamu tonton? Terus kenapa kamu suka itu?”

“Lokal atau luar?”

“Terserah.”

“Saya suka film Rekah. Manifestasi horor yang begitu kuat lewat atmosfer dan pembangunan karakter. Premis kuat dengan mengambil mitos kebudayan di Indonesia. Dicampur dengan realisme magis ala prosa latin, membuat Rekah begitu manis dalam mise en scène—”

“Oke, oke cukup. Kalau sutradara favorit?” Mbak Okta memotong.

“Tapi yang luar negeri belum Mbak?”

“Udah, udah. Nggak masalah.”

“Kalau untuk dalam negeri saya suka sama mas Girang Negeri. Karya-karyanya begitu berisi dengan konten yang artistik dan kedalaman cerita. Ia sering kali mengangkat nuansa lokal diimbangi dengan kebudayaan populer. Mas Girang bisa mengimbangi antara estetika dan komersil. Antara film sebagai seni dan sebagai bisnis, lalu—”

“Oh oke, cukup. Cukup.”

Mbak Okta kembali memotong penjelasan Budi . Kemudian ia menelpon atasannya. Produser yang dimaksud.

“Ayo ikut saya ke atas. Kita ketemu Pak Yanto .”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience