Rate

Dua

Romance Series 888

Adelia menangis terisak-isak saat mobil yg membawa Ervito sudah tidak terlihat. Gadis itu sebenarnya ingin sekali mencegah kepergian Ervito, tapi apa daya karena itu sudah menjadi keputusan orang tua dan keluarga Ervito.

"Delia..." Santi memanggil Adelia sambil menggenggam tangannya.

"Ma-maaf. Air mataku... air mataku nggak mau berhenti." Ucap Adelia sambil berusaha menghapus air mata yg membasahi pipinya. Santi memeluk Adelia. Ia mengerti betapa Adelia kehilangan Ervito.

Perlakuan Santi itu membuat tangisan Adelia semakin menjadi. Ia mengeluarkan semua rasa sakit Di hatinya melalui tangisan itu.

Sementara itu, di dalam mobilnya, Ervito membuka bingkisan kecil pemberian Adelia padanya. Ervito tersenyum saat melihat isinya. Diambilnya secarik kertas yg terlipat rapi di dalamnya. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda itu segera membaca tulisan rapi Adelia.

Untuk Kak Vito...

Aku bingung harus memberi kak Vito hadiah apa. Tiba-tiba aku teringat dengan hobi kita. Karena itu aku memutuskan untuk memberi kak Vito wristband. Untuk kepala, pergelangan tangan dan lutut. Di pakai ya, kak. Karena aku nggak mampu membeli wristband di toko, jadi aku membuat sendiri wristband ini. Maaf kalau hasilnya nggak sebagus buatan toko. Tapi aku sudah berusaha membuatnya sebaik mungkin agar sesuai dengan selera kak Vito. Jangan berhenti bermain basket ya, kak. Suatu saat kalau kita bertemu lagi, ayo kita bertanding.

Jaga kesehatan ya, kak. karena kak Vito memiliki penyakit maag, tolong jangan suka melewatkan waktu makan. Sebisa mungkin makanlah tepat waktu.

Terima kasih untuk semuanya, kak. Aku yakin suatu saat kita pasti bertemu kembali.

Salam manis dariku,

Adelia Zahrah.

N.b: kak Vito bisa menghubungiku melalui nomor ini. 082369xxxxxx. Maaf karena baru sekarang aku bisa memberi kak Vito nomor ponselku.

Ervito tersenyum. Ia bisa membayangkan bagaimana raut wajah Adelia Seandainya gadis itu mengatakan secara langsung apa yg ditulisnya itu pada dirinya.

"Sepertinya ada yg sedang senang, Bu. Lihatlah wajah putramu, sejak tadi tersenyum sambil menatap pemberian gadis itu." Kata Pak Doni sambil melirik Ervito melalui cermin.

"Ayah jangan seperti itu. Ayah kan pernah muda juga." Kata Bu Mia.

"Hahaha. Anakmu sudah besar Bu. Sudah mulai jatuh cinta."

"Apa sih, yah? Memangnya Ditya nggak boleh merasa senang?" Tanya Ervito sambil mengetik nomor ponsel Adelia di ponselnya. Setelah itu Ervito segera menghubungi Adelia.

Sementara itu, Adelia baru saja berhenti menangis saat ponselnya berdering. Lagu milik Justin Bieber - Company terdengar mengalun.

Sambil menghapus sisa air matanya, Adelia mengambil ponselnya dari dalam saku. Adelia memperhatikan layarnya. Panggilan dari nomor baru. Adelia segera mengangkatnya.

"Halo..." sapa Adelia dengan suara serak.

"Hai, Lia. Kamu kenapa? Suara kamu serak sekali."

"Maaf, ini siapa?" Tanya Adelia dengan dahi berkerut.

"Kamu nggak hafal suaraku ya? Ini aku, Lia."

"Kak... kak Vito?" Tanya Adelia kaget.

"Suara kamu kenapa serak begitu? Kamu menangis?"

Adelia tersentak. Tak menyangka tebakan Ervito benar.

"Nggak kok, kak. Aku nggak papa. Perasaan kakak saja. Kakak juga, baru saja jalan, sudah menelepon."

"Hahaha... benar juga. Maaf ya. Aku terlalu senang karena akhirnya aku bisa menghubungimu." Ucap Ervito. Adelia hanya tersenyum.

"Kamu di mana? Masih bersama Santi?"

"Iya, aku dan Santi dalam perjalanan pulang."

"Pulang hati-hati ya. Sampaikan salamku untuk Santi."

"Aku sampaikan."

"E... terima kasih ya hadiahnya, Lia. Aku suka sekali."

"Syukurlah kalau kak Vito menyukainya. Maaf ya, aku hanya bisa memberi kak Vito barang nggak bermutu."

"Jangan bicara seperti itu. Kamu sudah bersusah payah membuatnya untukku, Lia. Aku sangat menyukainya karena hanya aku satu-satunya orang yg memiliki wristband buatanmu ini. Aku senang sekali. Sungguh."

"Kak Vito terlalu memujiku."

"Aku nggak memuji, Lia. Tapi buatanmu ini sangat bagus. Aku akan merawatnya dengan baik dan aku pasti akan memakainya setiap hari. Aku janji."

"Terima kasih."

"Lia..."

"Ya?"

"Ng... hadiah dariku sudah dibuka? Apa kamu menyukainya?"

"A-aku belum membukanya, kak."

"Ya sudah. Nanti jangan lupa dibuka ya. Setelah itu, beritahu padaku kalau kamu menyukainya."

"Iya, kak."

"Kalau begitu aku tutup ya. Kamu pulang hati-hati."

"Kak Vito juga. Sampaikan salam untuk tante Mia dan om Doni ya."

"Nanti aku sampaikan. Bye, Lia."

"Bye..."

Panggilan berakhir. Adelia menatap ponselnya lalu menyimpan nomor Ervito ke dalam daftar kontaknya.

Setelah mendengar suara Ervito di telepon, hati Adelia sedikit lebih tenang. Air matanya pun sudah berhenti. Bibirnya kini menyunggingkan sebuah senyuman.

Melihat sahabatnya tersenyum sendiri, Santi hanya bisa menggelengkan kepalanya takjub. Sangat jelas betapa Adelia menyukai Ervito, tapi karena sahabatnya itu sangat teguh pada pendiriannya, Adelia tidak akan pernah mau mengungkapkannya.

"Ehem..." Santi membuat suara. Adelia menoleh dan tersenyum malu-malu.

"Begitu senangnya kamu mendapat telepon dari kak Vito sampai melupakanku, Delia." Sindir Santi saat Adelia menghampirinya.

"Maaf..."

"Wajahmu sampai merona begitu. Apa kata kak Vito? Dia suka hadiahmu kan?" Tanya Santi. Adelia mengangguk.

"Kak Vito berjanji akan selalu memakainya." Jawab Adelia.

"Syukurlah. Aku ikut senang." Kata Santi. Adelia tersenyum manis membuat Santi ikut tersenyum.

"Oh ya, kado dari Kak Vito isinya apa? Kenapa nggak di buka?"

"Oh iya. Aku hampir lupa." Kata Adelia lalu membuka kado pemberian Ervito yg sejak tadi ia genggam. Saat kado itu terbuka, mata Adelia seketika membulat. Begitu juga dengan Santi.

"Sa-Santi..." desis Adelia.

"Ini indah, Delia." Kata Santi dengan takjub. Adelia hanya terdiam sambil menatap bros hadiah pemberian Ervito untuknya. Kemudian ia mengambil kertas kecil yg terlipat rapi di bawah bros itu.

'Ku persembahkan hati ini untuk gadis pujaanku. Gadis manis yg selalu mengisi relung hatiku dan ku gemakan namanya di setiap detak jantungku. Adelia Zahrah, nama gadis itu.'

Membaca tulisan Ervito tersebut membuat Adelia tersenyum. Gadis remaja itu merasa hatinya berbunga-bunga karena kata-kata Ervito yg begitu menyanjungnya.

Tapi wajah senang itu seketika berubah menjadi murung. Adelia teringat akan hadiahnya. Jika dibandingkan dengan hadiah ini, Adelia merasa hadiahnya tak ada nilainya sama sekali.

"Bros ini.... harganya pasti mahal sekali." Gumam Adelia pelan. Tapi Santi dapat mendengar kata-katanya dengan sangat jelas.

"Memangnya kenapa kalau bros ini harganya mahal?" Tanya Santi.

"Ini... hadiah ini terlalu berlebihan untukku, San. Padahal hadiah yg ku berikan pada kak Vito nggak bernilai sama sekali."

"Kau ini bicara apa sih, Del? Bagaimana mungkin barang yg kau buat sendiri dengan susah payah itu tidak bernilai sama sekali? Tentu saja nilainya sangat besar, sayang. Kamu membuatnya dengan segenap perasaanmu untuk kak Vito, bukan? Itu saja sudah lebih dari cukup untuk kak Vito, Delia. Kamu tidak perlu merasa berkecil hati." Kata Santi lembut.

"Ta-tapi..."

"Sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kita pulang sekarang. Hari sudah menjelang sore, ibumu bisa khawatir karena kita tadi pergi tanpa berpamitan."

"Oh iya. Aku lupa, Santi." Jawab Adelia lalu berjalan pulang bersama Santi ke rumah masing-masing.

•••

"Assalamu'alaikum..." Adelia mengucap salam saat memasuki rumah kontrakannya yg mungil.
"Wa'alaikum salam." Jawab sebuah suara dari arah dapur. Adelia melihat ibunya tengah menggoreng pisang untuk di jual.

"Kamu dari mana, Nduk? Ibu cemas mencarimu dari tadi." Tanya ibu Adelia, Bu Ningsih, saat Adelia mencium punggung tangan kanannya.

"Maaf, Bu. Tadi Lia pergi ke rumah kak Vito untuk berpamitan." Jawab Adelia lalu duduk di dipan mengiris ubi yg sudah di kupas.

"Nak Vito jadi pindah ke Jakarta?" Tanya Bu Ningsih sambil membalik pisang goreng yg sudah berubah warna agar matangnya merata.

"Jadi, Bu. Tadi saat Lia tiba, kak Vito sudah hampir berangkat." Jawab Adelia.

"Syukurlah kalau kamu masih sempat bertemu dengan nak Vito." Kata bu Ningsih.

"Bu..."

"Hm..." Bu Ningsih menatap Adelia. Beliau menunggu putrinya berbicara. Bu Ningsih tak menuntut Adelia agar segera berbicara. Beliau sabar menunggu.

"Ada apa?" Tanya Bu Ningsih setelah memasukkan pisang tepung yg baru ke dalam wajan setelah tadi pisangnya matang dan minyaknya dibiarkan selama beberapa menit. Bu Ningsih duduk di samping Adelia.

"Kak Vito memberi Lia hadiah ini, Bu." Kata Adelia sambil mengeluarkan kotak bros pemberian Ervito dari dalam saku celananya dan menunjukkannya pada ibunya.

"Apa ini, nduk?" Tanya bu Ningsih sambil meraih kotak hadiah itu dari tangan Adelia.

"Ibu boleh membukanya." Kata Adelia tanpa menjawab pertanyaan sang ibu.

Seperti keinginan Adelia, Bu Ningsih membuka kotak itu dan seketika beliau berseru karena takjub.

"Subhanallah, Lia. Bros ini sangat cantik, nduk."
"Bagaimana ini, Bu? Kenapa kak Vito memberi Lia hadiah semahal ini? Bagaimana Lia bisa menerima hadiah sebagus ini, sementara Lia hanya memberi kak Vito hadiah tak berarti buatan Lia sendiri?" Kata Adelia dengan mata berkaca-kaca.

Bu Ningsih tersenyum. Ia membelai kepala Adelia dengan sayang lalu kembali menekuni pekerjaannya kembali.

"Jangan berkecil hati, nduk. Yang namanya hadiah itu adalah memberikan sesuatu sesuai kemampuan kita kepada orang lain. Kita ini orang nggak punya, Lia. Ibu yakin nak Vito bisa mengerti hal itu."

"Tapi... tetap saja Lia merasa tidak pantas menerimanya, Bu. Hadiah ini sungguh berlebihan untuk Lia."

"Mau bagaimana lagi, nduk? Meskipun kamu ingin menolak, nak Vito sudah terlanjur pergi. Tidak apa-apa. Terimalah. Rawatlah bros itu dengan baik sebagai ucapan terima kasihmu pada nak Vito."

Adelia mengangguk mendengar nasehat dari ibunya. Ia berjanji akan merawat bros itu dengan baik.

"Oh iya... ayah mana, Bu?" Tanya Adelia sambil memotong ubi.

"Ada di belakang. Ayah sedang mencari daun pisang." Jawab bu Ningsih sambil menambahkan kayu bakar ke dalam tungku api.

Tak lama, sosok yg dibicarakan muncul dari pintu belakang. Tangannya yg kokoh itu membawa lembaran daun pisang yg bagus.

"Eh... anakku wis mulih, to?" (anakku sudah pulang, ya?). Desis ayah Adelia, Pak Marno, sambil meletakkan lembaran daun pisang yg dibawanya di atas dipan, di samping Adelia. Adelia tersenyum menatap pak Marno lalu mencium punggung tangan kanannya dengan takzim.

"Sepurone, njih yah. Wau Lia medal mboten pamit." kata Adelia. (Maaf ya, yah. Tadi Lia keluar tidak bilang.)

"Ra popo, cah ayu. Suk meneh ojo dibaleni. Nek ameh metu seko ngomah, mbuh adoh utawa cedak, kowe tetep kudu pamit karo ayah lan ibumu." Kata pak Marno menasihati. Adelia mengangguk. (Tidak apa-apa, cah ayu. Lain kali jangan diulangi. Kalau ingin keluar rumah, entah jauh atau dekat, kamu tetap harus berpamitan dengan ayah dan ibumu.)

"Ayah ingin minum apa? Air putih, teh, atau kopi? Lia ambilkan." Tanya Adelia.

"Putih wae, nduk." Jawab pak Marno. Adelia mengangguk lalu mengambilkan segelas air putih untuk ayahnya. (Air putih saja, nduk).

"Ini, yah." kata Adelia sambil menyerahkan segelas air putih pada pak Marno.

"Tadi kamu pergi bersama siapa, nduk? Santi?" Tanya pak Marno sambil meletakkan gelas berisi air putih di atas meja setelah meminumnya sedikit.

"Iya, yah. Tadi Lia pergi bersama Santi ke rumahnya om Doni." Jawab Adelia sambil menyerahkan ubi mentah yg telah di potongnya kepada sang ibu.

"Oh iya, Pak Doni sekeluarga jadi pindah ke Jakarta?" Tanya pak Marno sambil mengelap daun pisang yg di petiknya dengan kain bersih.

"Jadi, yah. Tadi setelah dzuhur om Doni berangkat."

"Itulah sebabnya kenapa anakmu ini pergi tanpa pamit, Ayah. Lia dan Santi tergesa-gesa ingin menemui anaknya pak Doni sebelum mereka pergi."

"Oalaaahh... ngono to nduk? Pantesan kowe lungo ra pamit. Trus piye? Ketemu ora karo anak e pak Doni?" Tanya pak Marno yg membuat wajah Adelia merona. (Oh... begitu ya, nak. Pantas saja kamu pergi tanpa berpamitan. Lalu bagaimana? Apa kamu bertemu anaknya pak Doni?)

"Walau hanya sebentar, kami masih sempat bertemu yah."

"Syukurlah kalau begitu. Oh iya, Santi sudah lama ndak main ke sini, kenapa tadi ndak diajak mampir?"

"Tadi Santi hendak mampir, yah. Tapi mendadak dia mendapat telepon dari rumah. Jadi Santi nggak bisa mampir karena harus segera pulang." Jawab Adelia yg membuat pak Marno mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah itu, Adelia pamit ke kamarnya.

•••

"Nduk, ayah dan ibu ke warung dulu ya. Doakan semoga dagangan hari ini habis terjual." Kata bu Ningsih.

"Amin. Semoga, bu. Maaf hari ini Lia tidak bisa membant. Tugas sekolah Lia masih belum selesai. Besok juga ada ulangan Fisika dan Biologi. Maaf ya, bu." Kata Lia. Bu Ningsih tersenyum.

"Iya, sayang. Tidak apa-apa. Yo wis nek ngono. Ibu tak budhal sek. Engko ndak kebengen." (Ya sudah kalau begitu. Ibu berangkat dulu. Nanti kemalaman.) Kata bu Ningsih. Adelia mengangguk lalu mencium punggung tangan kanan ibunya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam..."

Setelah bu Ningsih pergi, kini kontrakan kecil yg menjadi rumah Adelia dan orang tuanya menjadi sangat sepi. Hanya Adelia seorang yg ditemani buku-buku pelajarannya. Tanpa menunda-nunda, Adelia menyelesaikan tugas sekolahnya. Tapi baru berjalan selama 30 menit, ponselnya mengalunkan lagu Company milik Justin Bieber. Sebuah panggilan masuk.

Adelia meraih ponselnya lalu menjawab panggilan tanpa melihatnya terlebih dahulu.

"Assalamu'alaikum...." sapa Adelia.

"Wa'alaikum salam. Lagi apa, dek?"

"Siapa, ya?" Tanya Adelia dengan dahi berkerut.

"Hei hei hei. Masa kamu lupa sama suara masmu ini, dek?"

"Mas Agam? Ya Allah... maaf, mas. Tadi Lia angkat telepon nggak lihat dulu."

"Hahaha... apa kabar kamu, dek? Sehat, to?"

"Alhamdulillah, Lia juga ayah dan ibu sehat, mas. Mas Agam sendiri piye kabare? Udah lama sejak terakhir kali mas telepon ke rumah. Sehat to?"

"Alhamdulilah mas sekeluarga sehat. Lagi ngopo, dek? Mas telepon sak iki ganggu ora?" (Sedang apa, dek? Mas telepon sekarang mengganggu nggak?)

"Lia sedang mengerjakan tugas tadi, mas. Tapi nggak papa kok. Lia senang mas telepon. Lia kangen sama mas."

"Mas juga kangen sama kamu. Ayah dan ibu ada nggak, dek?"

"Ayah dan ibu di warung, mas. Mas mau bicara dengan ayah dan ibu? Penting nggak? Kalau penting, sekarang juga Lia lari ke warung."

"Enggak kok, dek. Besok masih ada waktu. Mas bisa telepon besok. Oh ya dek, mas ada rencana pulang bulan depan."

"Serius?" Tanya Adelia dengan senang. Matanya berbinar karena begitu bahagia

"Belum pasti sih, dek. Mas masih menunggu ijin cuti dari kantor. Kalau cuti mas di proses, mas bisa pulang. Kalau nggak, mas cuma bisa minta maaf sama kamu."

"Lia tau kok, mas. Mudah-mudahan, mas bisa dapat cuti ya. Lia kangen banget ingin bertemu sama mas Agam, mbak Maya dan Indra."

"Iya. Mudah-mudahan. Kamu mau ngobrol sama mbakmu nggak?"

"Boleh?"

"Ish, kowe iki. Yo oleh to. Sebentar, mas panggilkan mbakmu dulu di belakang."

"Hehehe... tolong ya, mas." Kata Adelia lalu menunggu beberapa saat. Dari telepon terdengar suara gemerisik tanda telepon sedang berpindah tangan.

"Assalamu'alaikum, dek." Sapa seorang perempuan.

"Wa'alaikum salam, mbak Maya."

"Hai, Lia. Bagaimana kabar kamu, sayang? Sehat kan?"

"Sehat, mbak. Ayah dan ibu juga."

"Alhamdulillah, mbak senang mendengarnya. Keadaan warung ibu bagaimana, dek? Ramai tidak?"

"Namanya juga usaha, mbak. Kadang ramai kadang juga sepi. Ayah dan ibu selalu meminta Lia bersyukur atas apa yg sudah kita dapat."

"Ayah dan ibu memang benar kok, dek. Kalau kita bersyukur, entah banyak atau sedikit hasil yg kita terima, semuanya akan menjadi berkah."

"Iya, mbak. Oh iya, Mas Agam sudah cerita tentang rencana kalian pulang. Semoga ijin cutinya dikabulkan ya, mbak."

"Amin. Kamu doakan ya. Eh... tapi jangan bilang dulu sama ayah dan ibu ya, dek. Takut ayah dan ibu terlalu berharap."

"Iya, mbak. Lia tau kok. Sekarang Indra sedang apa, mbak?"

"Oh... tadi sih masih mengerjakan tugas sekolah sama mbak. Mungkin diajak main di kamar sama ayahnya."

"Yah... padahal Lia ingin sekali dengar celotehannya Indra."

"Mbak panggilkan ya."

"Nggak usah deh, mbak. Titip salam aja untuk keponakanku itu."

"Nanti mbak sampaikan. Kamu mau bicara dengan mas Agam lagi, nggak?"

"Nggak usah mba. Lia mau melanjutkan mengerjakan tugas. Kurang sedikit lagi selesai."

"Ya sudah. Kalau gitu mbak tutup teleponnya ya. Sampaikan salam mbak untuk ayah dan ibu."

"Nanti Lia sampaikan, mbak. Salam untuk mas Agam, ya mbak. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Adelia merasa sangat senang mendapat telepon dari kakaknya yg tinggal di Jakarta. Agam dan Maya tinggal di Jakarta setelah menikah dan Agam diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan tempatnya bekerja.

•••

Agam Pratama. 25 tahun. Kakak kandung Adelia. Sifatnya baik dan ramah. Sangat bijak dan tekun. Golongan darah A.

Maya Rudaina. 24 tahun. Kakak ipar Adelia. Memiliki wajah yg sangat cantik. Berbudi baik dan penyayang dan juga sabar. Golongan darah B.

Indra Mahesa. Keponakan Adelia. Anak dari Agam dan Maya. Anak yg sangat lucu dan menggemaskan. Usianya 5 tahun. Golongan darah A.

•••

Usai shalat subuh, Adelia menata buku-buku pelajarannya. Kemudian ia tersentak karena ponselnya bergetar diatas meja belajarnya. Ada panggilan masuk dari Ervito.

"Assalamu'alaikum." Sapa Adelia pelan.

"Wa'alaikum salam. Lia..."

"Pagi, kak. Sudah sampai ya?" Tanya Adelia sambil terus memasukkan buku pelajaran ke dalam tas.

"Iya. Tadi jam 2 aku sampai. Ini baru aja selesai membersihkan kamarku. Kamu sedang apa?"

"Selesai shalat subuh, aku belajar sebentar. Sekarang sedang menata jadwal pelajaran hari ini."

"Tepat seperti dugaanku." Adelia hanya tersenyum.

"Oh iya, hadiah dari kak Vito sudah ku buka. Terima kasih ya, kak. Brosnya bagus sekali."

"Kamu suka?"

"Suka. Tapi... barang semahal itu apa tidak apa-apa diberikan padaku? Aku merasa tidak pantas...."

"Lia! Bros itu sengaja aku pesan hanya untukmu."

"Tapi...."

"Ku mohon, Lia. Jangan merasa sungkan seperti itu. Aku memesannya dengan uang tabunganku, kok. Sering dipakai, ya. Kamu pasti terlihat sangat cantik saat memakai bros itu."

Adelia terdiam mendengar kata-kata Ervito. Bros itu sengaja dia beli untuknya. Bagaimana Adelia bisa menolaknya jika Ervito berkata seperti itu padanya?

"Pasti ku pakai. Sekali lagi terima kasih sudah memberiku hadiah yg sangat indah."

"Sama-sama, Lia."

Adelia mendengar Ervito menguap dari telepon meski suaranya sangat pelan.

"Kak Vito mengantuk, ya? Pasti kakak kecapekan." Tanya Adelia.

"Iya. Aku ngantuk sekali. Selama perjalan aku tidak bisa tidur. Walaupun tidur, itu hanya sebentar karena aku harus menemani ayah mengobrol sepanjang perjalanan hingga tiba di Jakarta."

"Kalau kakak mengantuk, lebih baik kakak segera tidur. Jangan dipaksa bangun karena itu sangat tidak bagus bagi tubuh yg kelelahan."

"Iya. Aku akan istirahat. tapi sebelum itu, aku punya satu permintaan padamu."

"Permintaan?" Tanya Adelia

"Iya. Bisakah kamu berhenti memanggilku kak Vito?"

"Kalau begitu aku harus panggil kakak apa?" Tanya Adelia dengan dahi berkerut.

"Panggil aku Ditya, Lia. Aku lebih nyaman dipanggil Ditya dari pada Vito."

"Ta-tapi... Ditya itu panggilan khusus untuk keluarga bukan. Aku..."

"Aku mohon, Lia. Aku bahkan kamu ijinkan memanggil namamu dengan panggilan keluarga, sekarang giliranku, ya. Please..."

"I-iya, kak D-ditya."

"Makasih. Kalau gitu, aku mau tidur dulu, ya."

"Iya. Selamat beristirahat ya, kak." Kata Adelia.

"Lia..."

"Ya?"

"I love you...."

Mendengar kata-kata itu, tubuh Adelia menegang seketika.

"Bye, kak. Assalamu'alaikum." Kata Adelia tanpa menjawab pernyataan Ervito barusan. Gadis itu segera memutus panggilan. Setelah meletakkan ponselnya di atas meja belajar, Adelia meraih bros pemberian Ervito yg bertengger indah di dekat tumpukan buku-buku miliknya. Ia menatap bros itu cukup lama sebelum akhirnya Adelia mendaratkan sebuah kecupan di bros itu dengan sangat lembut.

"I love you too, kak Ditya. Sudah sejak lama aku juga menyukaimu." Kata Adelia sambil menatap lurus ke arah depan. Gadis itu menerawang. Membayangkan Ervito yg mendengarkan kata-kata yg baru saja dia ucapkan.

•••

Bab 2 selesai. Semoga tertarik untuk membacanya...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience