Rate

Satu

Romance Series 888

"Aduh... Kak Vito ke mana ya? Katanya, jam 15:00 kita berkumpul di lapangan basket? Kenapa dia sendiri nggak ada di sini? Padahal ini sudah pukul 15:30." keluh Adelia sambil menyibakkan rambutnya yang panjang sebahu.

"Entah. Nggak biasanya kak Vito terlambat. Dia itu kan selalu memegang janji." jawab Santi sambil memperhatikan sekeliling. Namun orang yang dicarinya masih belum muncul.

"Oh iya, kamu sudah bilang padanya belum, Del?" tanya Santi sambil menatap lekat wajah Adelia.

"Bilang apa pada siapa?" tanya Adelia bingung. Gadis itu membalas tatapan Santi dengan dahi berkerut.

"Bilang pada kak Vito." jawab Santi sambil menaik-naikkan alis kanannya.

"Bilang apa sih? Jangan sok misterius, Santi." tanya Adelia penasaran. Santi menghela nafas.

"Kalau kamu menyukainya" jawab Santi singkat lalu kembali menatap ke arah lapangan. Adelia sempat kaget mendengar jawaban Santi. Tapi hanya sebentar.

"Apaan sih, San? Kamu jangan bicara yang tidak-tidak!" kata Adelia sambil memperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Aku kan hanya mengatakan kenyataan." jawab Santi cuek.

"Kamu sok tahu. Kenyataan apa coba?" sangkal Adelia.

"Ck! Ck! Ck! Kamu nggak bisa menipuku, Delia. Aku sudah lama mengenalmu. Aku tahu bahwa kamu menyukai kak Vito sejak pertama kali kita bertemu dengannya setahun yang lalu."

"Santi...!!" Desis Adelia sambil merengut.

"Apa?" tanya Santi sambil menoleh.

"Apa kamu nggak bisa berhenti menggodaku?" tanya Adelia dengan cemberut.

"Aku nggak menggodamu, Del. Aku hanya mengatakan apa yang aku tahu. Dan yang aku tahu adalah kamu jatuh cinta pada kak Vito." kata Santi sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Santi, sebentar lagi kita akan melaksanakan mid semester akhir dan sekitar 3 bulan lagi kita baru naik kelas 2 SMP. Belum saatnya kita memikirkan masalah seperti itu. Lagi pula, siapa juga yang jatuh Cinta pada kak Vito? Kami hanya berteman."

"Sekarang kamu bicara begitu, tapi sikap dan gerak tubuhmu sama sekali nggak mendukung. Delia, kamu itu nggak bisa membohongiku, aku sangat mengenalmu. Jelas sekali kalau kamu menyukai cowok itu hanya saja kamu enggan mengakuinya."

"Aku nggak begitu!!"

"Sayang, jujur pada diri sendiri kan nggak ada salahnya. Jangan sampai pada akhirnya kamu menyesal. Apa kamu nggak takut kalau nanti kak Vito direbut orang lain?" tanya Santi. Raut wajah Adelia berubah. Santi tersenyum.

"Tuh, aku baru bicara seperti itu saja, kamu sudah terlihat cemas. Akui saja kalau kamu memang menyukainya." kata Santi sambil mengusap pipi kanan Adelia.

"Ukh... Iya-iya, aku mengaku kalah sama kamu. Dari dulu aku memang paling nggak bisa adu pendapat sama kamu." kata Adelia akhirnya menyerah. Wajahnya merona karena malu.

"Kalau jujur kan lebih enak. Iya nggak?"

"Udah dong, San. Jangan menggodaku terus."

"Hahaha. Sorry-sorry. Tapi... Kenapa kamu nggak bilang saja pada Kak Vito, Del? Kalau kamu bilang, kak Vito pasti senang sekali. Secara ya, dia itu juga suka sama kamu."

"Dasar sok tahu." kata Adelia sambil memencet hidung Santi dengan gemas.

"Aku nggak sok tahu, Del. Aku memang sudah tahu." seru Santi sambil mengusap hidungnya.

"Tahu dari mana?"

"Dari orangnya, dong." jawab Santi bangga.

"Ada-ada aja kamu, Santi."

"Aku serius, Delia." Santi mengacungkan dua jarinya membentuk huruf 'V'. Adelia menghela nafas.

"Santi, kamu tahu aku kan? Jujur, aku memang menyukai kak Vito. Tapi... Aku sudah memutuskan untuk tidak berpacaran sampai lulus SMA. Kamu tahu sendiri bagaimana kondisiku dan keluargaku."

"Aku tahu, Del. Begitu juga dengan kak Vito. Karena, dia mengatakan padaku bahwa dia akan selalu menunggumu."

"Apa..."

"Lia... Santi..." sebuah panggilan menghentikan kata-kata Adelia.

Adelia dan Santi yang merasa namanya dipanggil segera menoleh. Nampak oleh keduanya seorang cowok tengah melambaikan tangannya di pintu pembatas lapangan yang kemudian segera berlari mendekati mereka.

"Hi, girls." sapa Ervito dengan nafas terengah-engah.

"Kok lama sih, kak? Ini sudah hampir jam 4 dan kakak baru datang sekarang." tanya Adelia sambil berkacak pinggang.

"Kak Vito kok tega sih membiarkan kami menunggu selama hampir satu jam?" tanya Santi sambil bersedekap.

"Sorry, girls. Jangan marah, ya?"

"Tentu saja marah." sengat Adelia dan Santi bersamaan sambil mencubit tubuh Ervito.

"Aduh... Maaf, deh. Maaf. Tadi ada sedikit masalah di rumah makanya aku datang terlambat." kata Ervito.

"Ada masalah?" tanya Adelia dan Santi serentak. Ervito mengangguk.

"Masalah apa?" tanya Adelia cemas.

"Apa masalahnya serius sampai kak Vito terlambat seperti ini?" tanya Santi.

"Jangan dipikirkan, ke warung itu yuk. Aku haus." kata Ervito menunjuk warung yang ada di samping lapangan basket. Adelia dan Santi mengangguk setuju karena kedua gadis itu juga merasa haus.

•••

Adelia Zahrah, murid kelas 7 (sebentar lagi naik ke kelas 8) SMP N 3 Wonogiri. Sikapnya sangat feminim, ceria dan penuh semangat. Baik hati hingga disukai oleh banyak orang. Usianya 13 tahun, golongan darah A.

Santi Nurhayati, sahabat Adelia sejak kecil juga teman sekelasnya. Tomboi, cuek, dan penuh semangat. Juara taekwondo se-jawa tengah. Sangat menyukai olah raga dan tantangan. Usianya 6 bulan lebih tua dari Adelia. Golongan darah O.

Ervito Paramaditya, sahabat juga kakak kelas Adelia dan Santi. Cowok yg sangat baik dan sangat menyayangi Adelia dan Santi. Usianya berbeda 2 tahun dari Adelia. Golongan darah A.

Ketiga manusia itu sangat di kenal di sekolah karena ketiganya sering terlihat bersama di setiap kesempatan. Apalagi ketiganya sangat mahir bermain olahraga basket.

•••

"SEKOLAH DI LUAR KOTA???" tanya Adelia dan Santi bersamaan. Keduanya terkejut mendengarkan penuturan Ervito beberapa detik yang lalu.

"Iya." jawab Ervito lalu meminum es jeruk di hadapannya. "Di Jakarta" lanjutnya.

"Ke-kenapa tiba-tiba?" Tanya Adelia dengan dahi berkerut. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.

"Sebenarnya nggak tiba-tiba juga. 5 bulan yang lalu ayah dan ibuku memberitahuku tentang hal ini." jawab Ervito sambil menatap Adelia dengan lembut.

"Li-lima bulan? Kenapa kak Vito nggak mengatakan hal sepenting ini pada kami lebih cepat?" Sengat Santi kesal.

"Jangan marah dong, San." pinta Ervito pelan.

"Jelas aja aku marah, kak. Kakak ingin melanjutkan sekolah di luar kota, tapi kakak nggak memberitahu kami sama sekali. Kak Vito benar-benar keterlaluan."

"Jangan seperti itu, San. Aku sama sekali nggak bermaksud menyembunyikan hal ini dari kalian. Aku hanya..."

"Alasan!!" hardik Santi kesal.

"Sungguh, San. Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin mengatakannya pada kalian berdua, tapi aku takut, San. Kamu sama Lia begitu berharga bagiku, aku nggak mau kita terpisah seperti ini. Maaf..." kata Ervito menjelaskan.

"Ukh..." desis Santi. Ia tidak bisa lagi berkata-kata.

"Kapan kak Vito berangkat ke Jakarta?" tanya Adelia yang dari tadi hanya terdiam. Ervito terdiam. Ia menatap mata Adelia dengan sendu.

"Kak...?" tuntut Adelia.

"S-Sabtu besok aku berangkat." jawab Ervito membuat Adelia dan Santi terhenyak kaget.

"O-oh..." seru Adelia pelan.

"Lia... Kamu... Kamu nggak marah sama aku, kan?" tanya Ervito cemas. Adelia hanya diam saja. Ia benar-benar merasa sangat kecewa.

Tiba-tiba, Santi menggebrak meja. Sontak semua orang yg ada di warung itu menoleh dan memperhatikan mereka bertiga.

"Yang benar saja, kak??? Sabtu? Sabtu besok kak Vito berangkat?" Tanya Santi tak percaya. Ia berdiri sambil menatap Ervito tajam.

"A-aku..."

"Rendahkan suaramu, San. Jangan membuat keributan. Tidak enak sama yang lain." Ucap Adelia sambil mengusap lengan kiri Santi, supaya Santi tenang.

"Kamu keterlaluan, kak. Itu artinya 3 hari lagi kakak berangkat." Kata Santi pelan dengan dahi berkerut. Ervito mengangguk, membuat Santi terduduk lemas. Matanya terasa panas.

Sesaat, ketiganya hanya membisu. Tak ada yang bersuara karena takut memperkeruh suasana. Tapi akhirnya Ervito membuka suaranya.

"Lia, Santi... aku sungguh minta maaf. Aku benar-benar nggak bermaksud menutupinya. Aku hanya..."

"Kenapa kakak harus sekolah di Jakarta? Apa kakak nggak bisa sekolah di Wonogiri aja?" Tanya Adelia menyela kata-kata Ervito.

Ervito menatap Adelia dalam-dalam lalu menggeleng pelan.

"Maafkan aku, Lia. Tapi itu tidak bisa. Ayah dipercaya sama eyang Kakung untuk memegang usaha furnitur eyang yang ada di Jakarta. Sebagai anak pertama, ayah tidak bisa menolak. Karena itulah, keluargaku memutuskan untuk tinggal di Jakarta, menempati rumah pemberian dari eyang yang ada di sana." Jawab Ervito. Adelia terdiam. Bibirnya menyunggingkan senyum kesedihan.

"Kak..." panggil Adelia. Ervito dan Santi menoleh.

"Bagaimana, perasaan kak Vito saat ini?" Tanya Adelia sambil berdiri membuat dada Ervito terasa sakit.

"A-aku..."

"Kenapa kak Vito terlihat biasa saja padahal sebentar lagi kakak akan pergi? Apakah kak Vito tidak merasa sedih sama sekali meninggalkan aku dan Santi seperti ini?" Tanya Adelia dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak seperti itu, Lia. Aku..."

"Aku... aku nggak mau kak Vito pergi." Kata Adelia. Setetes air luruh dari matanya yang berkaca-kaca.

Ervito terhenyak. Adelia menangis karena dirinya. Akibat dari ketidakjujurannya, seorang gadis menangisinya.

"Li-lia..."

Adelia tiba-tiba berlari pergi dari warung makan itu sambil menghapus air matanya.

"Lia..." panggil Ervito sambil mengejar Adelia. Diraihnya tangan kanan gadis remaja itu agar berhenti. Tapi Adelia menepis tangannya dan terus melangkah meninggalkannya.

"Itulah yang dia rasakan padamu, kak. Itulah perasaan Delia yang sesungguhnya." Kata Santi yang sudah ada di belakangnya.

"San..."

"Jangan katakan apa pun. Bicara dengan kakak sekarang pun percuma saja." Seru Santi lalu menyusul Adelia.

"Santi...!!" Panggil Ervito. Tapi Santi tak peduli. Ia tak menghiraukan panggilan Ervito dan terus melangkah menjauhinya. Jujur saja, dia juga merasa sangat sedih dan kecewa.

Melihat dua sahabat yang dicintainya pergi meninggalkannya, Ervito terpaku di tempatnya berdiri. Ia ingin mengejar, tapi tak mampu karena kakinya terasa kaku. Dalam sekejap Ervito merasa sangat sepi. Ia merasa hanya sendirian.

•••

"Saatnya kita pergi, Ditya." Kata ibu Ervito, namanya Mia, dari ruang tamu.

"Sebentar, bu. Ditya sedang memakai sepatu." Jawab Ervito dari dalam kamarnya yang sudah kosong sambil mengikat tali sepatu yang dipakainya.

"Cepat, Le. Ayahmu sudah menunggu di depan." Seru bu Mia lagi.

"Iya, bu." Jawab Ervito lalu termenung menatap kamarnya yang sebentar lagi akan ditinggalkannya.

Cowok yang hampir berusia 15 tahun itu duduk di jendela kamarnya. Tasnya ia letakkan di atas pangkuannya.

Ervito menatap lurus ke depan. Pikirannya melayang membayangkan wajah Adelia dan Santi beberapa hari yang lalu. Ia mendesah berat lalu mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tasnya. Saat benda kecil berwarna biru itu berada di tanganya, ia menatapnya dengan sedih.

Kado itu ingin ia berikan pada Adelia beberapa hari yang lalu. Tapi tidak jadi karena ia sudah membuat Adelia marah dan kecewa padanya. Ervito merasa sangat bodoh. Seandainya ia tidak menyembunyikan tentang kepindahannya dan bersikap jujur dari awal, mungkin Adelia dan Santi tidak akan semarah itu padanya. Kini ia menyesal membuat sahabatnya merasa kecewa padanya.

Ervito membuka kotak kecil berwarna biru itu dan mengeluarkan isinya. Sebuah bros berbentuk hati berwarna merah yang memiliki sepasang sayap yang berwarna keemasan.

Ya, bros itu sengaja Ervito pesan dari sahabat dekat ibunya, yang memiliki toko aksesoris dan perhiasan, khusus untuk Adelia. Tentu saja, harga yang di keluarkannya cukup besar mengingat bahan yang dipakai demi membuat bros itu. Tapi Ervito tidak peduli. Ia melakukannya demi Adelia, gadis yang sangat ia cintai.

Adelia sebenarnya hanya biasa saja. Wajahnya tak lebih cantik dari Santi. Orang tua Adelia hanya bekerja sebagai kuli bangunan dan membuka warung makan kecil di pinggir jalan dengan hasil yg pas-pasan. Tidak cukup untuk hidup sehari-hari, membayar kontrakan dan juga uang sekolah. Tapi entah kenapa, Ervito menyukainya. Di balik kemiskinan yg dialaminya, Adelia memiliki kelebihan tersendiri. Pesona yg dipancarkan gadis itu, bagi Ervito terlihat berbeda dari yg lainnya. Bukan karena kejeniusannya, bukan pula karena gadis itu mendapatkan beasiswa. Tapi dari kelembutan dan kebaikan hatinya. Ketabahan yg dimiliki Adelia mampu meluluhkan hati Ervito yg membeku.

"Ditya..." panggil bu Mia membuyarkan lamunan Ervito.

"I-iya, bu." Jawab Ervito sambil berlari meninggalkan kamarnya.

"Kenapa lama sekali, Ditya? Kita harus segera berangkat." Tanya ayah Ervito, pak Doni, begitu Ervito berada di teras.

"Maaf, yah." Jawab Ervito.

"Ya sudah. Ayo cepat masuk mobil. Kita berangkat sekarang." Kata pak Doni yg dijawab dengan anggukan kepala oleh Ervito.

Ervito menatap rumahnya sesaat sebelum masuk mobil, pemuda itu menghela nafas. Rasanya sedikit tidak rela meninggalkan rumah yg sudah ia tinggali selama hampir 15 tahun.

"Goodbye, my house. I'll miss you." Gumam Ervito lalu membuka pintu mobil.

Saat hendak masuk mobil, samar-samar Ervito seperti mendengar suara yg memanggil namanya. Ervito menghentikan langkahnya. Ia diam mempertajam pendengarannya. Dia yakin memang ada yg memanggil namanya.

"Aduh, Le. Cepat naik mobil. Kita harus segera berangkat." Tegur pak Doni mulai tidak sabar.

"Sebentar, yah. Aku mendengar ada yg memanggil." Jawab Ervito dengan matanya memandang ke sekeliling rumahnya.

"Kamu salah dengar mungkin. Ayah dan ibu nggak mendengar apa-apa." Kata Bu Mia.

"Sungguh, Bu. Aku benar-benar mendengarnya."

Bu Mia mendesah masygul. Ia hafal betul sifat putranya itu. Ditya, panggilannya untuk Ervito, sedang menunggu seseorang yg begitu penting untuknya.

"Kita tunggu sebentar yah. Mungkin Ditya memang mendengar ada yg memanggil namanya." Bujuk Bu Mia pada suaminya. Pak Doni hanya bisa menghela nafas.

"Lima menit saja." Kata Pak Doni.

Ervito mendesah kecewa. Setelah 5 menit berlalu, tak ada tanda-tanda akan ada yg datang. Sepertinya ia hanya salah dengar. Dengan lesu, pemuda itu masuk dalam mobil. Ia tak ingin membuat ayahnya marah.

"...to!!!"

Terdengar lagi. Ervito menggelengkan kepalanya keras-keras. Hanya halusinasi. Itu yg dipikirkannya.

"Kita berangkat, yah." Kata Ervito sambil duduk bersandar di jok mobil. Ia memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya.

"Kamu yakin?" Tanya pak Doni.

"Iya."

"Benar-benar yakin?" Tanya pak Doni lagi.

"Iya, yah. Bukannya tadi ayah ingin kita cepat berangkat?" Jawab Ervito tanpa membuka matanya.

"Baiklah. Jangan menyesali apa yg sudah kamu putuskan." Kata pak Doni. Mendengar itu, mata Ervito langsung terbuka.

"Apa maksud ayah? Kena..."

"Ditya..." panggil Bu Mia menyela. Ervito menatap ibunya.

"Temui mereka." Kata bu Mia.

"Huh?"

"Jangan pernah membuat seorang gadis menunggu apa pun alasannya."

"Ibu bicara apa sih?"

Pak Doni menjitak kepala putranya dengan gemas.

"Lihat di sana. 2 orang gadis yg kelelahan di depan gerbang itu yg dari tadi kamu tunggu bukan?" Tanya pak Doni sambil menunjuk ke arah depan.

Mata Ervito memandang ke arah yg ditunjuk oleh ayahnya. Dan seketika matanya membulat sempurna. Ia segera turun dari mobil dan secepat mungkin menghampiri kedua gadis itu. Membuat kedua orang tuanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Lia, Santi... kalian datang?" Tanya Ervito senang.

"Ma-maafkan aku, kak. Aku... aku sudah bersikap egois. Aku..." kata Adelia begitu Ervito berada di depannya.

"Jangan minta maaf, Lia. Aku yg bersalah. Seharusnya aku jujur padamu dan juga Santi, tapi aku tidak melakukannya." Kata Ervito menyela.

"Meskipun begitu, nggak seharusnya aku merajuk seperti kemarin. Aku sudah menyusahkanmu, kak. Maaf karena aku membuatmu cemas." Sesal Adelia. Gadis itu menatap lurus ke dalam mata Ervito.

Ervito tersenyum dan menggeleng pelan.

"Aku nggak papa, Lia. Kamu tidak menyusahkanku sama sekali. Dan... tunggu."

Ervito menyentuh pipi Adelia dengan lembut. Perlahan sentuhan tangan Ervito beralih ke pelipis Adelia.

"Kamu kenapa, Lia? Kenapa kamu memiliki kantung mata seperti ini? Apakah... apakah kamu tidak bisa tidur? Apa ini gara-gara aku?" Tanya Ervito cemas.

Mendengar nada kecemasan di dalam suara Ervito, Adelia menggeleng dengan cepat.

"Bu-bukan. A-aku..."

"Sebenarnya memang karena memikirkan Kak Vito, Delia jadi tidak bisa tidur. Delia merasa sangat bersalah pada kakak karena sudah meninggalkan kakak di sana waktu itu."

Ervito tersenyum lembut sambil menatap kedua gadis yg berdiri di hadapannya itu.

"Aku juga ingin minta maaf, kak. Maaf kemarin itu aku sudah marah-marah sama kak Vito." Kata Santi. Ervito menyentuh tangan Santi.

"Seperti kataku tadi, San. Aku yg salah sehingga membuatmu marah-marah. Aku bisa mengerti itu. Jangan cemberut lagi, okay?" Kata Ervito. Santi mengangguk.

"Kak..." panggil Adelia. Ervito menoleh. Adelia mengulurkan tas kecil yg ia bawa ke arah Ervito.

"I-ini... ini buat kakak." Kata Adelia gugup.

"Untukku?" Tanya Ervito. Adelia mengangguk.

"Kenang-kenangan agar kak Vito tidak lupa padaku." Jawab gadis itu. Ervito tersenyum lalu merima hadiah pemberian Adelia untuknya.

"Din-din-din." Suara klakson mobil berbunyi saat mobil yg di bawa pak Doni berada di dekat 3 sahabat itu.

"Sudah waktunya, Ditya. Kita harus segera pergi." Kata Bu Mia yg membuat kedua gadis itu tersentak.

"I-iya, Bu. Sebentar." Jawab Ervito kaget. Mendengar jawaban putranya, pak doni membawa mobilnya dan berhenti sekitar 20 meter dari gerbang.

"Aku harus pergi. Aku..." kata Ervito terhenti saat ia merasakan ada yg menarik bajunya. Adelia.

"Ma-maaf. Aku... aku nggak sengaja." Kata Adelia sambil menarik tangannya dari tubuh Ervito.

"Jaga dirimu, kak. Maaf aku lupa nggak membawakanmu sesuatu." Ucap Santi. Ervito menggeleng pelan lalu memeluk tubuh Santi.

"Bisa melihatmu sebelum aku pergi sudah lebih dari cukup, Santi. Aku sudah senang kamu datang." Kata Ervito sambil mengusap kepala Santi dengan lembut.

"Terima kasih." Jawab Santi sambil membalas dekapan Ervito meski hanya sebentar.

"Aku pasti akan sangat merindukanmu. Tolong jaga Adelia untukku ya." Bisik Ervito sesaat sebelum melepaskan pelukannya. Santi mengangguk.

"Lia... aku..." Ervito tak tahu harus berkata apa saat melihat ke dalam mata Adelia. Tiba-tiba ia teringat akan bros yg ingin ia berikan pada Adelia.

"Tunggu sebentar." Kata Ervito lalu berlari menuju ke mobil. Tak berapa lama ia kembali.

"Ini untukmu, Lia." Kata Ervito sambil menyerahkan kotak hadiahnya.

"Apa ini?" Tanya Adelia.

"Simpan saja." Jawab Ervito. Ia menatap wajah Adelia dalam-dalam. Tak ada yg bicara selama beberapa saat. Ervito dan Adelia hanya saling menatap.

Akhirnya, Ervito memberanikan diri memeluk Adelia. Ia merengkuh tubuh gadis itu dengan erat. Ia memejamkan mata demi mengingat aroma gadis yg dicintainya itu. Setelah itu ia melepaskan pelukannya dan menatap Adelia sambil tersenyum.

"Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik, ya?" Kata Ervito. Adelia tersenyum dan mengangguk.

Ervito melangkah meninggalkan Adelia dan Santi. Tapi baru beberapa langkah, ia kembali. Dan tanpa di duga siapa pun, Ervito meraih pinggang Adelia dan mencium bibir gadis itu selama beberapa saat.

Adelia tak merespons. Gadis itu begitu terkejut hingga hanya bisa diam saja dengan mata yg membulat saat Ervito mencuri ciuman pertamanya.

Saat Adelia sadar, Ervito sudah berlari menuju mobilnya dan masuk karena sudah waktunya pergi.

"Good bye, girls. I'll miss you." Teriak Ervito. Kepalanya melongok dari jendela mobilnya yg mulai melaju."

"I'll miss you, too." Balas Santi sambil melambaikan tangannya sementara Adelia hanya bisa terdiam sambil memegangi bibirnya.

Begitu mobil yg membawa Ervito sudah tidak terlihat, air mata Adelia menetes perlahan. Tak lama air mata gadis itu mengalir semakin deras. Gadis itu sudah tidak mampu lagi menahan tangisannya hingga tubuhnya gemetar. Isak tangisnya mulai terdengar seiriing dengan tangisannya yg semakin kencang.

@@@

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience