Kubuka pintu di bilik , kemudian aku masuk dan membuka jendela bilik ku. Berharap, suamiku akan bangun tatkala sinar matahari masuk melalui sela-sela dedaunan dan menembus ke dalam ruangan melalui jendela yang kubuka. Aku merasa ada kesejukan yang menerpa tubuhku, seperti kesejukan tadi malam saat aku bercinta dengan suamiku.
Aku menoleh ke belakang, kulihat suamiku beralih posisi menyamping menatapku. Tapi, ia juga belum membuka matanya. Aku tahu, ia sangat lelah. Tapi, pagi ini ia harus bangun untuk siap-siap pergi bekerja. Aku setiap hari bangun pagi, menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah sebelum aku berangkat untuk mengajar. Pelan-pelan aku menggoyangkan tubuhnya agar ia terbangun, tapi ia tetap tertidur pulas. Aku pun menunduk, dan mendekatkan wajahku di hadapannya. Aku berbicara dengan pelan “Bi.. bangun. Ini sudah pagi. Umi sudah siapkan sarapan.” Kataku membangunkannya. Ia pun membuka matanya, dan tersenyum padaku. Kemudian ia mencium keningku.
Kerana aku tahu suamiku sudah membuka matanya, aku pun berharap ia akan bangun dan segera ke bilik mandi. Oleh kerana itu, aku pun beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke meja makan. Saat aku berbalik untuk menutup pintu, ternyata ia belum beranjak dari tempat tidur juga. Aku pun kembali mendekatinya, kucium pipinya dan kusibakkan selimut yang menutupi tubuh kekarnya yang tidak memakai kaos. Ia pun tersenyum menatapku dan aku pun hanya menggelengkan kepala sembari membalas senyumannya.
“Masa, kamu lupa mi. Kalau abi belum dibangunkan dengan cara seperti itu. Pasti belum bangun.” Katanya menggodaku. “Jangan menggoda, cepetan mandi. Nanti telat..” kataku mengingatkan.
Rumah tanggaku sudah berjalan dua tahun. Aku sangat menyayangi dan mencintai suamiku. Sebagaimana ia menyayangi dan mencintaku. Kami jarang sekali bertengkar atau saling diam dalam waktu yang lama. Kerana ia sangat dewasa, ia merasa sedetik bertengkar, sama saja kita akan kehilangan kemesraan selama semenit. Oleh kerana itu, kami selalu berusaha menyelesaikan apa pun masalah yang menimpa kami.
Aku bekerja sebagai pengajar di SMK, aku mengajar mata pelajaran Akuntansi. Aku juga dipercaya oleh kepala sekolah untuk mengisi acara curhatan di stasiun radio di sekolahan. Tak jarang, anak-anak malah lebih senang curhat dengan saya dari pada curhat dengan guru BK di sekolahan. Kerana setiap curhatan anak-anak dengan saya, pasti saya akan memberikan solusi dan yang pasti saya akan memutarkan sebuah lagu yang sesuai dengan kondisi mereka. Suasana curhatan yang seperti inilah, yang mungkin membuat anak-anak nyaman dengan saya. Untuk urusan yang lebih bersifat privasi, biasanya mereka akan menemui saya sendiri saat jam kosong, atau saat istirahat.
Satu hal yang membuat saya masih merasa gundah, resah dan sedih. Kata-kata ibu mertua yang selalu mengusik hatiku. Membuatku tidak tenang dan selalu berfikir. “Bila isteri mu hamil? pernikahanmu sudah berjalan dua tahun, tapi ia belum hamil juga. Ibu dengar, ia mengisi acara di stasiun radio tempat ia mengajar. Tambah sibuk dia sekarang. Tapi masih bisa ngurus rumah sama suami, kan?” tanya mertuaku. Aku hanya diam mendengarkan percabila mereka di ruang tamu. Minuman dan kue yang aku siapkan sudah tertata rapi di atas nampan. Tinggal menyuguhkan. Tapi rasanya, kakiku berat untuk melangkah, tatkala aku mendengar kata-kata ibu.
“Anak adalah kurniaan dan amanah Allah, ibu. Mungkin kami belum mendapatkan amanah untuk diberikan seorang anak. Saya dan Ais juga sudah berusaha. Tapi Allah lah yang menentukannya. Kalau kami belum lagi dianugerahkan anak, habis tu kita sebagai manusia mampu buat apa lagi selain daripada berusaha atau selepas berusaha, ibu?” Kata suamiku. Aku merasa ada angin segar yang berhembus di hatiku. Sejuk. Aku tahu, suamiku pasti memahami dan mau mengerti aku. Bukan hanya ibu. Aku sebagai seorang isteri juga menginkan dan mendambakan seorang anak.
“Iya, bu. Apa yang dikatakan Ramzan itu ada benarnya. Kita berusaha saja. Kita bantu dengan do’a. Kerana Allah yng menentukan. Ibu jangan pernah memberikan beban bagi Ais dan Ramzan . Kerana itu akan mengganggu pikiran mereka.” Kata ayah menenangkan ibu. “Sebentar lagi, Ramzan pasti akan mempunyai seorang anak. Kita harus yakin. Iya kan, zan?” ayah menepuk punggung Ramzan dengan tersenyum. Ramzan hanya tersenyum membalasnya.
Aku merasa lega. Ada dua malaikat yang menolongku dari tuntutan ibu yang selalu menyudutkanku. Seolah-olah, hal itu disebabkan olehku. Aku juga selalu berusaha istirahat cukup, berusaha untuk tidak memikirkan masalah-masalah muridku agar aku tidak stres. Aku sudah melakukannya. Abi pun juga sudah berusaha. Ais mohon, bu. Jangan sudutkan Ais seperti itu. Terlebih di depan ayah dan suamiku.
Share this novel