BAB 2

Drama Completed 875

“Aku bingung dengan sikap ibu, bi. Semua isteri pasti menginginkan seorang anak, termasuk aku.” Kataku dengan muka yang sedikit cemberut. “Sudahlah, jangan dipikirkan apa yang dikatakan ibu. Kita harus yakin, seperti yang dikatakan ayah.” Kata suamiku menenangkanku. “Aku tak enak dengan ibu, aku seperti isteri yang..” kata-kataku terputus kerana suamiku menutup mulutku dengan ujung jarinya. Kemudian ia memelukku. “Abi yakin, mi. Allah akan memberikan kita seorang anak. Tidak lama lagi.” Aku beringsut untuk mempererat pelukannya. Aku merasa nyaman, lega.
“Kemarin, aku bertemu dengan Dimas.” Kataku. “Dimana?” tanyanya. “Di sekolah.” Jawabku. “Dia bekerja sebagai penyiar, menggantikan ibu Maya.” Kataku menjelaskan. Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya terhadapku.

Konflik dengan ibu, belum terselesaikan. Sekarang aku ditambah konflik dengan suamiku. Lelaki yang dulu pernah aku sukai, sebelum aku kenal dengan suamiku, hadir dalam kehidupanku. Dan lebih parahnya, ia bekerja sebagai penyiar di stasiun radio sekolah. Dan saat suamiku menjemputku usai mengisi acara curhatan, ia melihat Dimas ada di sana. Aku melihat setumpuk kecemburuan dalam hatinya. Saat aku masuk ke dalam mobil, ia tidak berkata sepatah kata pun. Ia tak menatapku sedikit pun, tatapannya hanya tertuju pada jalan yang ada di depan.

Sesampai di rumah pun, sikapnya masih dingin terhadapku. Semua kata-kata ku, dianggap angin yang berhembus. Aku mencuba bertanya, ia hanya diam dan pergi meninggalkanku. Aku tahu ia sangat cemburu denganku. Bahkan sebelum aku menikah dengannya, dulu Dimas pernah satu kampus denganku, ia juga menunjukkan sikap cemburunya. Tapi, kenapa sekarang aku tidak bisa meredam kecemburuannya. Aku sangat bingung dengan sikapnya terhadapku. Semua masalah selalu kita bicarakan, kenapa sekarang seperti ini. ‘Ada apa? Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa begini?’ tanyaku dalam hati dengan mata berkaca-kaca, saat aku duduk di depan televisi.

Inilah puncak kemarahan suamiku. Saat aku menuruni tangga, secara tidak sengaja, aku terjerat baju gamisku. Hingga kakiku tekilir. Dimas yang berada di belakangku pun mencuba membantuku untuk berdiri. “Kamu tidak apa apa, Ais? Lain kali hati-hati.” Katanya mengingatkan. Tangannya ingin meraih tubuh dan ingin memegang kakiku yang terkilir. Tapi aku menolaknya. Kerana aku tahu, Ramzan muncul dari tangga bagian bawah.
Aku tak ingin menambah kecemburuannya terhadapku, dan menambah masalah dalam rumah tanggaku. Dengan kaki yang terasa sakit, Ramzan membantuku berjalan menuruni anak tangga. Dan Dimas, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya diam saat melihat kami pergi.

Sesampainya di rumah, sikap Ramzan semakin dingin. Aku melihat kecemburuan, dan kemarahan. Aku semakin takut, mencuba menebak apa yang akan terjadi padaku. Saat keluar dari mobil, ia membiarkanku berjalan sendiri ke dalam rumah. Aku hanya bisa diam, berjalan sendiri, dengan menahan sakit di sendi-sendi kakiku.

Malamnya, entah kenapa kakiku menjadi berat. Aku menelonjorkannya di atas kursi. Dan mengoleskan minyak dengan memberikan sedikit pijatan. Suamiku belum keluar juga dari bilik . Sejak sore tidak keluar juga. Ia tidur di bilik , lelah atau kerana marah denganku. Aku sangat bingung. Sepertinya ia marah.

“Bi, kenapa kita harus berdiam seperti ini, aku sudah tidak tahan dengan sikap abi terhadapku.” Aku berkata dengan berat, antara takut dan menahan sesak dan air mata yang sudah penuh di pelupuk mata. Ingin mengucur deras. Aku setia denganmu bi, aku tak mungkin mengkhianatimu. Aku tidak pernah menyimpan perasaan apa pun terhadap Dimas. Aku hanya mencintaimu, bi. Suamiku.” Kataku yang sedikit terputus kerana merasakan sakit di tenggorokan, dan mengambil napas dalam-dalam.
“jangan diamkan aku seperti ini, bi. Aku tak sanggup mendapat perlakuan seperti ini. Kenapa kita tidak bicara baik-baik. Kenapa harus diam dengan menahan sakit. Aku harus mengadu dengan siapa? Kalau bukan denganmu. Sedangkan kamu sendiri mengacuhkanku.” Lagi-lagi kataku terhenti, kerana harus menelan ludah, dan menahan sakit di tenggorokan. Air mata mengucur dengan deras. Aku merangkak di atas tempat tidur dan mencium kening suamiku. Aku tahu matanya terpejam. Tapi aku tahu, tidak dengan hatinya. “Aku mencintaimu bi” aku beranjak dari tempat tidur dan memilih untuk tidur di kursi, di depan televisi.
Aku tak ingin isakan tangisku mengganggu istirahatnya. Ia sangat lelah bekerja seharian. Aku menangis dengan leluasa, tersedu-sedu. Sesak, menusuk ulu hati, kepalaku terasa pening. Sendi-sendi kaki terasa sakit, merayap hingga sekujur tubuhku. Hidung tersumbat, air mata terus mengucur tak tertahankan.
Aku mebaringkan tubuhku, perlahan-lahan kuangkat kakiku yang sakit. Berharap, dinginnya malam tidak ikut menambah kesedihanku. Perlahan-lahan aku memejamkan mata. Berharap, rasa kantuk yang menyergapku bisa membuatku tertidur dan melupakan kesediahanku barang seejenak.

Keesokan hirinya, aku mendapati diriku tertidur di atas kasur. Mungkin, semalam Ramzan membopongku ke bilik . Entah kenapa, aku merasa sikapnya sedikit demi sedikit akan kembali membaik. “Aku tak suka kamu dekat dengan Dimas. Kamu sekarang sudah hidup denganku. Lagian, kenapa dia ada disana?” tanyanya yang sama sekali tak menatapku.
“Dimas bekerja di sana, bi. Dia mengisi acara di stasiun radio di sekolahan tempat umi mengajar. Umi dengar, kepala sekolah yang menerima lamarannya.” Aku menjelaskan. Aku sedikit mendapatkan ketenangan bisa berbicara dengan suamiku. Aku berharap masalah ini bisa terselesaikan. “Dimas melamar, kerana dia tahu kamu mengisi acara di sana. Agar dia bisa dekat denganmu. Mengenang masa lalu kalian.” Kata-katanya begitu menyakitkan untuk didengar.
“Itu masa lalu, dan aku tak pernah mengingatnya kembali. Aku sudah cukup tersakiti. Aku sekarang sudah berkeluarga, apa lagi yang aku cari bi? Aku sudah hidup dengan mu, suamiku, orang yang sangat aku cintai. Aku ingin bahagia membina keluargaku. Dengan mu bi.” Kataku dengan mata berkaca-kaca.
“Lalu, bagaimana dengan kiriman bunga mawar yang selalu dikirim setiap hari ke rumah kita? Apa mungkin itu dari dimas?” tanyanya yang belum juga menatapku. Ia pun beranjak dari meja makan. Seketika air mata keluar dengan deras dari mataku. Aku hanya diam dan membiarkan air mata itu keluar. Berharap aku bisa merasakan kelegaan, setelah aku menahannya. Terasa sesak, dan mengganjal di tenggorokan. Sakit.
“Aku tidak menyimpan perasaan apa pun terhadap Dimas, bi.” Kataku dengan air mata yamg menuruni pipi. Aku sudah tidak tahan dengan sikapnya. Aku sangat mencintainya. Kenapa dia tidak percaya juga. Ia pergi meninggalkanku, tanpa salam. Dan sejak masalah ini muncul, saat berangkat kerja pun, ia hanya mengucapkan salam dan pergi begitu saja. Tak ada legi kecupan lembut yang di daratkan di dahiku.
‘Aku sangat merindukanmu bi..’ jeritan hatiku saat ia pergi, aku hanya mengamati punggungnya. Berharap ia kembali dan memelukku.

Aku melihat kalender yang menempel di dinding. Satu minggu lagi adalah ulang tahun pernikahanku. Tepat hari senin. ‘Akankah keadaannya masih seperti ni, bi?’ tanyaku dalam hati.

Senin ini, bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku. Aku sengaja pergi sendiri mengambil bunga mawar di toko bunga. Biasanya, orang toko yang akan mengirimkannya ke rumah. Yah.., bunga yang abi kira dikirim Dimas untukku. Padahal, bunga itu adalah pesananku. Yang kemudian aku titipkan ke satpam, tempat abi bekerja. Kemudian aku menyuruh satpam itu memberikannya. Bunga yang menjadi saksi bisu. Kerana ia tak bisa mengatakan pada abi, bahwa ia bukan dari Dimas.

Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan. Sejak kemarin, aku merasa tubuhku lemas. Setiap aku menelan makanan, perutku terasa mual. Ingin muntah. Wajahku terlihat pucat. Oleh kerana itu, aku memutuskan untuk cuti mengajar. Aku pun memeriksakan diri ke rumah sakit. Betapa senangnya, ketika dokter mengatakan bahwa aku hamil.
Aku pun bergegas pergi ke kantor tempat abi bekerja. Aku ingin memberikan kabar gembira ini. Setangkai bunga mawar ada di genggaman tangan kiriku. Hatiku berbunga-bunga, kerana tidak hanya aku dan abi yang bahagia. Tetapi, kedua orangtuaku dan juga kedua mertuaku akan senang mendengar kabar ini.

Sesampainya di seberang jalan, aku melihat abi berada di halaman depan. Ia berjalan dengan sebuah kotak berwarna ungu di tangan kanannya. Kerana aku sangat senang, ingin sekali menghampirinya dan memeluknya, dan memberitahukan kabar gembira ini.
Aku pun menyeberang jalan tanpa melihat kendaraan yang lalu lalang. Aku sangat diliputi rasa bahagia, hingga mengabaikan nyawaku, bahkan janin yang ada di dalam rahimku. Janin yang sangat dinanti-nanti kehadirannya oleh semua orang. Termasuk ibu mertuaku.

Sebuah benda keras menghantam kaki kiriku. Hingga tubuhku terpental. Aku terkulai lemas di jalan, kepalaku terbentur. Aku tak sadar dengan apa yang terjadi denganku. Tiba-tiba aku tertidur. Tak merasakan sakit apa pun. Sakitnya baru terasa saat aku terbaring di jalan. Dadaku sesak, semua badan seperti tertusuk-tusuk kerana sakit akibat hantaman. Ada tangan yang meraih tubuhku, menyangga leherku bagian bawah. Diletakkan tubuhku di pangkuannya. Ia memeluku erat-erat, ia kecup keningku. Aku merasakan tetesan air matanya yang jatuh di lenganku.
Sebuah kotak berwarna ungu dijatuhkan begitu saja oleh suamiku. Hingga cincin di dalamnya menggelinding entah kemana. Dan sebuah bunga mawar tergeletak di sampingku. Sebuah cincin yang ingin dihadiahkan suamiku, di hari ulang tahun pernikahan kita. Tapi sayang, kini aku sudah pergi jauh meninggalkannya.

Mungkin rasa sesal menyelimuti hati suamiku. Teringat akan sikapnya kemarin terhadapku. Tetapi, aku berharap kata maafnya akan mengiringi kepergianku. Agar aku merasakan ketenangan di kehidupanku yang baru. Aku sangat senang, kerana aku dapat pergi dengan membawa pelukan dan kecupan hangatnya. Yang beberapa hari ini tak ku dapatkan darinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience