1. Lomba Film Pendek

Romance Series 120

Pagi itu sebelum bel masuk berbunyi, bu Nita, selaku pembina teater memintaku menemuinya. Saat itu aku menjabat sebagai ketua teater sekolah untuk tahun ajaran 2010/2011.

Bu Nita memberitahu bahwa ada sebuah lomba film pendek yang diadakan oleh sebuah perusahaan perfilman. Jadi, beliau memintaku bekerja sama dengan ekstrakurikuler Cinematography untuk mengikuti lomba itu.

Karena hari itu bu Nita akan mengikuti program pertukaran guru ke Malaysia, dia meminta agar aku sendiri yang turun tangan untuk mendiskusikan hal itu pada Arion, ketua Cinematography.

Sebenarnya aku rada sangsi untuk berbicara pada Arion. Meskipun kita selalu satu kelas dari kelas sepuluh, aku belum pernah benar-benar mengobrol dengannya.

Kalau boleh jujur aku orangnya sedikit pemalu atau minderan, gitu. Terus kalau minder kenapa jadi ketua teater? Karena dengan ekskul teater aku bisa jadi lebih percaya diri. Aku sudah jauh lebih percaya diri dari sebelum aku ikut ekskul ini. Tetapi aku masih tidak percaya diri untuk sekedar bertegur sapa dengan ketua Cinematography itu.

Dulu pernah aku ngobrol sama dia, tapi dia jawabnya judes banget. Maka sejak hari itu aku putuskan nggak akan mau lagi mengobrol dengannya. Bahkan ketika dia mencoba mengajakku berbicara atau bercanda, aku nggak akan meresponnya. Sekalinya merespon aku jawab saja, “Aman, Bro?” atau “Mabok ya?” atau kadang, “Udah gila kali, ya.”

Padahal sebenarnya, Arion, sama sekali bukan tipe cowok cool yang susah dideketin kayak di novel-novel teenfiction atau bahkan drama korea. Dia lebih ke tipe yang easy going nan humoris meski kadang-kadang bisa berubah sengak dan galak. Kalau sifat galaknya keluar, beuhh ... omongan pedasnya ngalahin sambal ulek bikinan mama, serius.
Pernah waktu MOS ada kakak kelas yang keganjenan deketin dia. Dan dia bilang, "Lo kurang belaian ya?" dia ngomong gitu tanpa mikirin betapa malunya kakak kelas itu. Dia juga masuk jajaran cowok tajir yang selalu pake mobil mewah ke sekolah, dan bertambah-tambahlah keminderanku.

"Ola!" teriakan itu terdengar dari arah belakang, membuatku berbalik dan menemukan Disa yang tengah berlari ke arahku. "Dari ruangan teater?" tanyanya menyejajari langkahku yang sudah kembali berjalan.

"Iya. Gue diminta buat kerjasama sama ekskul Cinema."

"Kerja sama? Maksudnya?"

Aku menjelaskan secara garis besarnya pada Disa. Dia cuma manggutmanggut sebelum bertanya lagi. "Terus lo udah ngomong sama Arion?"

"Belum."

"Ntar biar gue bantu ngomong deh sama Arionnya," kata Disa. Diantara kami bertiga, Aku, Disa dan Nia, Disa memang yang paling dekat sama Arion. Karena Disa sepupuan sama teman mantannya Arion.

Aku hanya mendengus dan mengedikkan bahu. Aku kurang percaya kalau minta bantuan Disa, karena dia orangnya terlalu random dan tidak bisa diprediksi.

"Eh lo udah ngerjain tugas Matematika?" tanya Disa, mengalihkan topik pembicaraan.

"Udah. Lo udah?"

Disa menjawab dengan anggukan. Kami kembali berjalan menuju kelas, melewati lapangan basket indoor yang pintunya menjeblak terbuka. Membuat langkahku dan Disa terhenti saat seseorang melangkah keluar dari balik pintu.

Arion keluar dari sana bersama beberapa orang temannya. lalu tatapan mereka beralih padaku dan Disa yang sedari tadi mematung di depan pintu. "Hai, La, Dis." sapa Rendy.

"Hai," sahutku dan Disa berbarengan sembari melirik Arion yang masih berbicara dengan Ridho.

"Duluan ya." Rendy tersenyum pada kami, lalu mereka semua berjalan menjauh.

"Rion!" teriak Disa, membuat mereka semua menghentikan langkah dan menoleh pada kami.

"Gue?" tanya Arion menunjuk hidungnya.

Disa mengangguk. "Gue ada perlu."

Arion melangkah mendekat setelah menyuruh ketiga temannya pergi terlebih dahulu. "Kenapa, Dis?" tanyanya.

Disa melirikku, lalu tersenyum singkat sebelum kemudian menatap Arion. "Jadi gini, Bu Nita, wali kelas kita waktu kelas sebelas bilang, ada lomba film pendek dan dia mau lo kerja sama bareng ekskul teater buat ikut lomba itu," jelas Disa.
Oke kadang beruntung juga punya teman kayak Disa. Aku tersenyum senang karena nggak perlu lagi merangkai kata buat ngomong sama Arion. "Nah tugas Matematika lo udah selesai belum?"

Dih apa sih Disa? Aku memutar bola mata, kesal. Sudah kubilangkan dia orangnya nggak bisa di prediksi, mulai dari tingkah sampai omongannya yang kadang random banget. Tapi aku melihat Arion menggeleng. Mungkin maksudnya belum ngerjain.

"Nah kebetulan banget, kalau lo mau ikut kerja sama. Nanti tugas matematika lo bakalan dibantuin Ola, lo tau kan Ola sering ikut olimpiade matematika."
EH? WOI!! APAAN SIH?!

Arion cuma manggut-manggut, aku nggak ngerti maksudnya apa. Tapi Disa melanjutkan, "Saran gue kayaknya buat film pendek ini pemeran utamanya mendingan lo sama Ola deh, Ri. Selain kalian berdua ketua ekskul, cocok juga sama temanya."

Aku mencubit pinggang Disa gemas, apa sih. Padahal aku nggak pernah ngasih tau tema yang akan dilombakan. Aku nggak salahkan kalau bilang Disa itu suka ngaco?

Arion mengangguk. "Boleh, gue sih setuju-setuju aja. Nanti biar gue rapat dulu sama anak-anak. Soalnya pembina cinema juga lagi cuti melahirkan." Dia melirik jam tangan rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Udah mau bel nih, gue duluan ke kelas ya. Nanti pulang sekolah kita bahas lagi," ujarnya sebelum berlalu dari hadapanku dan Disa.

"Dis! Lo apaan sih? Omongan lo tadi random banget tau nggak? Kenapa jadi gue harus bantuin dia bikin tugas?" tanyaku memberondong Disa.

"Udah tenang, itu modus gue aja biar bisa ke rumahnya. Kakak cowoknya si Arion tuh ganteng banget, La," jelasnya menggebu-gebu. "Nah nanti lo pacaran sama Arion, gue pacaran sama kakaknya. Terus kita doubledate, gimana?" Disa tersenyum sambil menaik turunkan kedua alisnya.

HAH PLEASE DEH, EMANGNYA DIA MAU SAMA LO DIS?!

Aku baru saja akan memaki Disa tetapi tidak jadi karena bel masuk berbunyi. Yasudahlah terserah saja, aku malas berdebat dengan Disa. Nggak akan ada habisnya.

***

Yudha itu pacarku. Iya itu, cowok tampan yang tiba-tiba muncul di depan gerbang rumah Nia. Padahal lima belas menit yang lalu, dia bilang nggak bisa menjemputku karena motornya mogok.

Yudha, itu wakil ketua osis di sekolah. Pintar, baik, disukai sama hampir semua guru di sekolah. Aku merasa beruntung banget bisa pacaran sama dia. Yudha memang nggak tajir kayak Arion, dia berasal dari keluarga biasa, tapi dia selalu bisa bikin aku bahagia.

“Sebelum pulang, kita mampir di Bakso Mang Toing dulu, ya?” tanya Yudha saat kami baru saja keluar dari komplek perumahan Nia. Aku melirik kaca spion, dan mengangguk.

“Gimana tugas kelompoknya? Udah beres?” tanya Yudha lagi.

“Udah,” sahutku. “Tadi kamu bilang motornya mogok, kok tiba-tiba dateng?”

“He he, iya emang tadi mogok. Ini tangan aku masih kotor, karena ngebengkel dadakan.” Yudha mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan telapak tangannya yang kotor padaku. “Separah apapun kondisinya, pasti aku usahain, La, buat jemput kamu.”

“Makasih.”

Menurutku, Yudha emang pacar-able banget. Dia bisa diandalkan, pengertian dan perhatian.
Aku dan Yudha baru berpacaran sekitar tiga bulan. Awalnya aku nggak punya perasaan apapun sama Yudha. Aku menerimanya hanya karena iseng, karena aku pengen merasakan pacaran sama cowok yang famous kayak Yudha. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai benar-benar jatuh hati pada Yudha. Sebenarnya aku dan Yudha pun jadian hanya melalui telepon. Mungkin dia terlalu gugup buat berkata secara langsung. Aku mengenal Yudha saat kami tergabung dalam ekstrakurikuler PMR di kelas sepuluh lalu.

Selang beberapa menit kemudian, kami tiba di warung bakso Mang Toing. Aku langsung mengambil posisi duduk di pojokan, sedangkan Yudha langsung ke toilet.

Aku juga memesan dua mangkok mie bakso dan dua gelas es kelapa muda. Setelah itu Yudha datang, dan beberapa saat kemudian pesanan kami juga datang.

“Kamu tahu nggak, La, kalau ini adalah hari ke-seratus kita?” tanya Yudha.

“Makasih ya, buat seratus hari kebersamaan kita ini.”

Aku nggak menjawab, hanya tersenyum. Berusaha menyembunyikan perasaan senang.

***
Setelah makan, Yudha mengantarku pulang. Saat itu, kalau tidak salah, sudah pukul tujuh malam. Saat aku turun dari motor, dan baru saja akan membuka gerbang. Yudha menahan tanganku, dan bertanya, “Boleh aku cium?”

“Hah?” aku nggak salah dengarkan.

“Boleh nggak, kalau aku nyium kamu?”

“Hah? Cium apa?”

Yudha mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada bibirnya. Eh, tunggu, apa? Dia mau ciuman sama aku? Nggak! Aku nggak mau, bukannya gimana, aku cuma nggak mau. Aku sama sekali nggak pernah kepikiran bakalan ciuman sama Yudha. Aku juga nggak habis pikir, ternyata cowok kayak Yudha bisa berpikiran begitu.

Aku langsung menggeleng, dan berkata, “Kalau mau ciuman sama sepatu sih boleh, haha.” Mungkin jawabanku kelewatan, tapi aku hanya mencoba mencairkan suasana yang entah kenapa menjadi canggung. Meski, setidaknya Yudha bertanya dulu, dan tidak asal menyosor. Tapi, aku beneran nggak mau. Maaf, Yudh.

Yudha Cuma tersenyum singkat. Lalu mengeluarkan tiga tangkai bunga sweet pea berwarna putih dan ungu dari dalam tasnya.

“Ini adalah wujud perasaan gue sama lo, La,” katanya sembari menyodorkan bunga itu padaku. Dari aku jadi gue? Tunggu, maksudnya apa, ya?

“Maksudnya?”

“Lo tau nggak, arti bunga sweet pea itu apa?”

“Perpisahan?”

“Yep. Maaf, La. Kita kayaknya putus aja.”

“Lo mutusin gue, karena gue nggak mau ciuman sama lo?”

“He-em. Maaf, La,” gumamnya. “Gue, kalau pacaran harus ciuman, La. Kalau nggak, menurut gue itu bukan pacaran.”

“Wah, ternyata lo nggak lebih dari seorang brengsek ya, Yud. Pulang sana! Nih, sekalian bawa bunga lo, gue nggak butuh!” kataku, sembari melemparkan bunga itu kepadanya.

Aku langsung masuk ke rumah, dan sumpah, Ya! Aku sama sekali nggak sedih, serius. Aku malah jijik dan senang bisa putus sama dia.

Jadi begitulah, akhir kisah kasihku bersama Yudha.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience