Sebulan kemudian..
Akhirnya aku kembali pulang ke rumah setelah Ansel sembuh total dari pengobatan akibat insiden kecelakaan waktu itu. Sekarang aku berdiri menyamping sambil bersandar di jendela. Lalu kedua mataku menatap banyak hal di luar sana bersama pikiranku yang melalang buana kemana-mana.
Terutama pikiranku tentang Ansel. Tapi di satu sisi, Kadang-kadang aku juga teringat Keenan. Ya bukannya gimana, lebih tepatnya beban pikiranku perlahan-lahan mulai berkurang setelah menyadari sudah 1 bulanan ini Keenan tidak menerorku apalagi mendatangiku.
Begitu maksudnya..
Oke balik ke topik. Soal Ansel tadi..
Aku nggak tahu harus bagaimana kalau dia benar-benar berubah menjadi suami yang baik. Mungkin dia ingin menebus rasa bersalahnya padaku. Tapi masalahnya..
Apa yang dia lakukan selama ini benar-benar membuat perasaanku tetap sama seperti dulu.
HAMBAR.
Aku menghela napas panjang. Mencoba memberinya kesempatan berubah menjadi pria yang baik meskipun aku sendiri tidak yakin bisa memberinya balasan perasaan atau tidak.
"Kak.."
"Apa?"
"Bagaimana penampilanku?"
Sejenak, aku menatap Irfan yang sibuk didepan kaca. Sesekali kedua matanya menatapku, berharap kalau dia bisa di puji dengan penampilannya yang tampan memakai jas formal.
"Bagus."
"Itu doang?"
"Memangnya kamu ngarepin pujian apa? Hari gini haus pujian."
"Mbaknya ada masalah apa sih?"
Aku makin jengkel. Sebenarnya kalau boleh jujur tentu saja Irfan itu tampan. Hanya saja, setelah dia di terima sebagai sekretaris pribadi Ansel. Aku langsung kecewa. Mau sebaik apapun Ansel sekarang, tetap saja dia tidak terlepas dari gelegat yang mencurigakan. Itu sebabnya aku kecewa kenapa harus adikku sendiri yang menjadi sekertarisnya. Kenapa bukan orang lain saja?
Ada banyak hal yang tidak aku ketahui secara detail tentangnya. Padahal aku bisa saja cari tahu, tapi karena terlanjur kecewa dengan apa yang sudah dia lakukan padaku selama ini. Aku memilih bersikap bodoamat. Aku kembali menatap adikku.
"Aku nggak ada masalah. Justru kamu beban masalah yang sebenarnya."
"Lah? Kok.."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Bang Ansel, gimana? Bagus nggak?" sela Irfan langsung pada Kakak iparnya yang baru saja datang. Siapa lagi kalau bukan Ansel.
"Cocok buat kamu. Bagaimana, sudah siap buat besok?"
"Insya Allah siap, Bang!"
Lalu pandangan Ansel beralih ke arahku. Dia hanya tersenyum lalu berlalu memasuki kamar. Aku langsung skeptis. Gitu doang? Biasanya dia memelukku, mencium puncak kepalaku, atau paling tidak bertanya apakah aku sudah makan atau belum. Begitu.
Lah ini?
Aku menghela napas lagi. Akhirnya aku ikut masuk ke kamar dan membiarkan Irfan yang terlihat happy karena penampilan perdananya besok untuk bekerja.
Aku membuka pintu kamarku. Aku melihat Ansel melepas ikatan dasinya. Kemudian aku duduk di pinggiran ranjang. Aku memperhatikan semua gerak geriknya. Padahal dia sadar kedatanganku tapi ntah kenapa dia masih diam saja.
"Aku mau mandi dulu."
Lagi, dia masih sempat tersenyum. Aku tahu senyumnya dia adalah senyuman tulus semenjak dia memutuskan untuk berubah. Sampai akhirnya, dia memasuki kamar mandi dan suara kucuran air terdengar. Aku langsung menggaruk ujung alisku dengan heran. Kok dia aneh banget ya? Ada apa? Begitu kira-kira.
Akhirnya aku mencoba positif thinking. Mungkin emang lagi nggak ada apa-apa. Cuma akunya aja yang terlalu mikir ini itu.
****
Malam hari pun tiba...
Dengan suasana yang tenang. Akhirnya makan malam pun tiba. Hanya suara ocehan Azhar yang terdengar. Saat ini, dia duduk di sampingku sambil mengunyah makanannya apalagi sampai belepotan. Tak hanya itu, Ansel pun sampai tersenyum geli melihatnya.
"Rissa.."
"Ya?"
"Bagaimana harimu?"
"Hariku?"
"Iya." Ansel mengangguk. "Hari ini kamu ngapain aja? Apakah ada kesulitan?"
Aku menggeleng pelan. "Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana di kantor?"
"Alhamdulillah baik juga."
Aku hanya mengangguk pelan. Obrolan ringan ini memang terus terjalin semenjak kami benar-benar melakukannya sebagaimana normalnya pasangan suami istri.
Aku kembali fokus ke Azhar dan tetap lanjut menyuapi makanannya. Sampai akhirnya Ansel berdiri dan pergi berlalu.
"Em, aku tunggu kamu di kamar ya. Ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan."
"Iya."
Tiba-tiba Ansel mendekatiku bahkan tanpa diduga dia mencium ujung kepalaku di lanjutkan dengan mengecup kepala Azhar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan bingung bagaimana harus bisa merasakan semua perhatian ini. Seperti terlihat masih hambar di hati.
Setelah Ansel menghilang, aku kembali lanjut menyuapi sisa sedikit makanan Azhar. Ntah kenapa aku merasa ada suatu hal penting yang bakal di sampaikan padaku nantinya..
Aku nggak tahu itu apa. Tetapi aku merasanya begitu..
****
2 jam kemudian..
"Bagaimana Azhar? Sudah tidur."
Aku mengangguk setelah baru saja keluar dari kamar Azhar dan menidurkannya hingga pulas. Aku menutup pintu kamar kami dan melihat Ansel ikut menutup laptopnya kemudian melepaskan kacamata anti radiasi yang di pakainya. Sementara ada selimut tebal yang masih menutupi sebagian kakinya hingga ke paha.
Perlahan, aku ikut bergabung dan langsung berbaring di sebelahnya. Mungkin aku harus sabar menunggu dia membuka pembicaraan terlebih dahulu sebelum kami benar-benar tidur.
1 menit..
5 menit..
10 menit kemudian..
Tidak terjadi apapun.
Aku menghela napas. Yaudah sih, memang bukan waktunya. Akhirnya aku memilih tidur dengan memposisikan diriku memunggunginya. Aku mencoba memejamkan kedua mataku. Tapi anehnya aku nggak bisa tidur.
Kenapa hati sama pikiran rada nggak jelas gini sih?
Tiba-tiba Ansel memelukku dari belakang. Aku mencoba untuk bersikap tenang.
"Riss.. "
"Hm?"
"Kamu sudah tidur?"
"Aku belum ngantuk. Kalau mau ngomong hal penting langsung ke intinya.." ucapku tanpa basa basi.
"Aku cuma mau minta maaf sama kamu untuk kesekian kalinya karena aku sudah ngekang kamu selama ini."
"Ngekang apa?"
"Nggak bolehkan kamu ini itu.."
"Terus?"
"Aku cuma mau bikin kamu nyaman sama aku. Jadi mulai sekarang, kamu boleh kembali bekerja."
"Kamu lagi baik-baik aja kan? Kepala kamu habis kejedot? Tumben tiba-tiba jadi kalem?"
"Kepala aku memang baik-baik aja, Riss. Aku lagi berusaha bikin kamu nyaman sama aku. Itu aja.."
"Dih bilang aja kamu mau cari kesempatan buat selingkuh kesekian kalinya di saat aku lengah bekerja kan?"
Tiba-tiba Ansel merubah posisi di atasku dengan cara mengukungku. Aku sampai terkejut apalagi kedua matanya menatapku intens.
"Sumpah Demi Allah. Aku sudah berubah dan aku tidak berniat apa-apa. Aku cuma mau ingin istriku nyaman sama aku dan aku bukan suami yang membatasi keinginannya selama itu baik. Kamu nggak percaya sama aku?"
"Bukan begitu. Aku cuma-"
Tiba-tiba Ansel menciumku. Mau tidak mau aku menutup mata. Aku tidak tau harus bagaimana merasakan semua ini. Sampai akhirnya, Ansel kembali menatapku dengan lembut.
"Aku percaya sama kamu Riss. Bahkan mungkin.. "
Jeda sesaat..
"Bahkan mungkin kalau kamu tiba-tiba berkeinginan mau pisah sama aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujuinya. Sudah cukup aku melukaimu selama ini.. "
****
Rissa : lah kok tiba-tiba????
Halo, apa kabar?
Kalian sehat aja kan? Yang masih menanti cerita ini lanjut makasih yaa????
Sehat selalu buat kaliann✨
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Share this novel