Setelah Rissa pergi aku langsung fokus kepada anak kecil yang sempat memanggil Rissa Ibu. Tepatnya seorang anak laki-laki kisaran umur 8 tahun.
Dan juga..
Semenjak aku mengetahui masalah terbesar di masa lalu antara aku dan Rissa yang sudah terungkap, ya walaupun baru sebagian sih karena doi membatasi diri dan tutup mulut. Ntah kenapa saat itu juga aku nggak mau lengah lagi. Bahkan secuil apapun itu..
"Dek.. "
"Om cepat pergi dari sini!"
Tiba-tiba bocah ini langsung menarikku pergi dan bersembunyi. Lucunya lagi aku malah ngikut aja. Tapi aku sendiri tidak berbohong karena sebenarnya ada dua orang pria berpakaian preman terlihat tengok kanan kiri mencari kami.
"Dek, sebenarnya kamu ini ada masalah apa?"
Anak ini tetap terdiam meskipun sejak tadi aku juga ikutan was-was. Sembari memperhatikan sekitarnya, aku mencoba mengajaknya ke suatu tempat yang sekiranya aman.
Dan benar aja dugaanku, sekiranya sudah aman. Aku langsung melanjutkan langkahku dan ntah kenapa aku malah membawanya masuk ke dalam mobil.
"Om, apakah kita akan baik-baik aja disini? Kita enggak salah masuk mobil kan?"
"Jadi kamu ragu kalau ini mobil saya?"
"Ya ragu sih.."
"Heh, syukur-syukur kamu saya tolong ya.."
"Ya bukannya apa, soalnya muka-muka kayak om gini lebih cocok punya sepeda ketimbang mobil."
Aku langsung terdiam dan menatap ke diriku sendiri. Sebenarnya, malam ini aku cuma memakai kaos oblong biasa warna putih dan celana pendek tapi masih menutup lutut. Pokoknya penampilan yang biasa biasa aja karena tadinya aku pikir cuma mau ketemu Rissa perihal urusan penting dan itupun cuma sebentar doang.
Meskipun endingnya gagal total.
"Kenapa diam, Om? Emang bener kan, ini bukan mobil Om? Atau jangan-jangan ini mobil malingan?"
Aku langsung mengumpat pelan. Ni bocah beneran nggak tahu tanda terima kasih ya. Di tolong malah nggak sopan!
Aku menatap sinis ke anak ini. Tapi di satu sisi aku juga nggak mau buang-buang waktu.
"Oh iya, kamu belum jawab pertanyaan saya. Jadi kamu ada masalah apa sampai-sampai di kejar sama orang-orang tadi?"
"Soal itu... "
Tiba-tiba suara perut berbunyi. Dan itu berasal dari perut bocah ini. Aku langsung berdeham dan sadar sepertinya ni anak belum makan.
"Kamu belum makan?"
"Ada uang nggak Om? Agar silaturahmi tetap terjaga, bayarin saya makan boleh Juga."
"Tapi enggak gratis."
"Kok om pelit banget sih?"
"Di dunia ini nggak ada yang gratis."
"Terus bayarnya pakai apa? Kan saya enggak kerja. Ini aja saya kabur."
"Bayar pakai jawaban dan harus jujur. Itu sudah cukup."
"Penting banget ya Om?"
"Tinggal jawab jujur, perut kamu bakalan kenyang."
"Asal Om punya uang yang penting saya nggak kelaparan."
"Dih... " kesalku dalam hati.
Amit-amit dah jangan sampai punya anak kayak gini kelakuannya kalau sudah besar.
****
Beberapa jam kemudian...
Aku menatap bocah ini dengan penuh kesabaran yang luar biasa. Bayangin dah..
Ini anak mentang-mentang di bayarin malah ngelunjak. Percaya nggak, kalau malam ini dia pesan 3 menu sekaligus dan itu habis semua dalam sekali lahap?
Astaga. Badan masih anak-anak tapi kapasitasnya perutnya udah macam gentong.
"Saya seneng banget, ternyata Om nggak pelit."
"Saya memang baik. Kamu aja yang mikir jelek-jelek ke saya."
"Pernah dengar nggak Om, kalau ucapan anak kecil biasanya jujur. Jadi apa yang saya ucapin tadi memang jujur."
Aku mendecak lidah. "Tapi perut sudah kenyang kan?"
"Sudah. Tapi boleh dong malam ini saya tinggal di rumah Om. Keliatannya Om orang kaya. Rumahnya pasti besar dan punya banyak kamar. Daripada di anggurin mending saya tidurin kamarnya."
"Heh kalau ngomong jangan ngasal ya. Memang kamu nggak pernah di ajarin sopan santun apa sama orang tuamu?"
"Enggak. Kan aku sejak dulu sudah di buang."
Aku langsung terdiam. Di balik mulutnya yang lemes, ada guratan sedih di wajahnya. Dan anehnya.. Detik ini juga rasa sedih itu langsung terasa di dalam diriku.
"Maksudnya dulu kamu... "
Dia mengangguk. "Kata Om Jeki, waktu bayi aku di ambil sama Om Jeki dari panti asuhan."
"Di adopsi?"
"Aku nggak tahu. Tapi setelah umur 4 tahun. Aku di suruh ngamen di pinggir jalan."
"Terus Om jeki siapa? Ayah sambung?"
"Bukan. Dia orang yang jahat dan memyebalkan."
Kali ini aku percaya. Terlihat sekali kalau bocah ini memang lusuh dan dekil. Sepertinya dia korban pekerjaan di bawah umur.
Dan di balik semua itu, anak ini menutupi semua kesedihannya dengan cara bicaranya yang sembarangan dan stidak sopan terhadap orang dewasa sebagai bentuk pembelaan diri.
Aku memaklumi hal itu. Wajar, dia kurangnya pendidikan dan tata krama. Apalagi tidak di asuh oleh orang tua kandungnya.
Padahal sebenarnya, dia anak yang kuat. Disaat anak seusianya mendapatkan kehidupan yang layak, ini malah sebaliknya. Tapi tiba-tiba, aku teringat satu hal.
"Oh iya, kenapa kamu memanggil wanita yang kamu peluk tadi Ibu?"
"Om penasaran ya?"
"Ya iyalah. Secara, dia kan-"
"Apa?"
Aku tidak jadi melanjutkan ucapanku. "Jawab aja. Kenapa tadi kamu panggil dia Ibu?"
"Iseng."
"Ha?"
"Ya iseng aja Om. Itung-itung sebagai salah satu cara supaya kita akhirnya bersama dan ketemu, gitu."
"Jangan bercanda ya! Kamu bohong, kamar tidurmu hilang."
"Loh saya serius."
Aku menatapnya kesal. Tapi secepat itu juga dia berdiri setelah menyelesaikan makanannya.
"Tapi enggak masalah kalau Om nggak percaya. Setidaknya perut saya malam ini sudah kenyang. Makan 3 piring setara dengan menahan lapar sampai 3 hari kedepan. Terima kasih sekali lagi Om. Semoga kebaikan Om mendapatkan pahala dan di balas Allah."
Aku belum sempat ngomong. Tapi anak itu sudah pergi. Dan lagi, di balik ucapan terima kasihnya. Terselip rasa kecewa yang terpancar. Bahkan dia pun berjalan semakin menjauh.
Ini anak emang pintar bikin hati nurani oleng. Aku menghela napas. Oke baiklah..
"Hei, tunggu."
Anak itu akhirnya menoleh ke arahku.
"Kenapa Om manggil? Berubah pikiran ya?"
Padahal aku belum menjawab. Tetapi reaksi wajahnya sudah berubah nyengir.
Sejak saat itu, senyuman anak ini selebar pagar tetangga. Sebenarnya aku nolong anak ini ada maksud lain gara-gara ni anak sempat manggil Rissa dengan sebutan Ibu. Siapa tahu ada petunjuk di balik tanda tanya terbesar menyangkut masalaluku dengan Rissa
Tapi kenyataannya.
Ah sudahlahhh..
Akhirnya aku memboyong anak ini pulang ke penginapan. Itung-itung cari pahala menolong anak terlantar.
****
Gak dapat penjelasan dari Rissa, pulang pulang malah bawa anak org lain ????
Makasih sudah baca. Nantikan chapter selanjutnya ya.
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Share this novel