Rate

BAB 2

Drama Completed 204

Kupersembahkan hari ini kepada yang menanti,

Hilangnya lilin pada api.

Sebuah lilin dan api, keduanya saling meniadakan. Namun sebenarnya siapa yang meniadakan yang lain? ataukah ada hal lain di luar keduanya? unsur oksigen misalnya, yang membuat api dapat tetap terjaga dan dengan gagahnya meniadakan lilin itu, atau memang sebuah lilin yang seolah-olah dilumat habis oleh api, tetapi ternyata dia yang meniadakan api itu ? Seperti yang nampak, saat lilin meleleh sampai batasnya lalu meniadakan api, bukankah lilin itu masih bersisa? dan apinya justru telah tiada?. Hal-hal semacam ini yang selalu membayangi lelaki tua pencerita itu. Benarkah ia pernah merasai kepergian dan kedatangan sekaligus? apakah itu bagian dari hal nyata atau sebaliknya? bukankah keduanya saling meniadakan? seperti sebuah lilin dan api itu, atau apakah ada hal diluar itu yang sebenarnya yang meniadakan yang lain? sebuah takdir?. Tentu sama sekali tidak, manusia tidak dapat serta merta menyalahkan takdir. Justru sebaliknya, ia harus berterima kasih kepada takdir yang sejatinya membuat ia menjadi makhluk mulia, seorang manusia.

Siapa yang nampak bahwa sebenarnya lelaki tua itu selalu dirundung duka? ia selalu menangis sebenarnya. Tapi apa daya tangis?

“Ceritaku lebih dahsyat dari tangis, lebih lebar dari waktu, tak berujung, tak berelung. Ia mampu menghentikan waktu, walau barang sedetik pun ternyata ia mampu”, tutur lelaki itu suatu waktu. Dan lelaki itu terus berandai, barangkali sebuah kisah baru akan ia tulis. Ia tetap duduk di atas bangku kayu itu, dan matanya kini melirik pada sebuah jam dinding, penanda waktu. “Aku ingin kau kembali ke masa itu, di mana aku masih berdiri tanpa penopang. Aku ingin kau kembali ke masa itu, di mana sebuah senyum mampu aku penggal dan aku ubah menjadi cerita”, tuturnya pada jam dinding itu. Lantas ia tetap terdiam, berharap waktu beranjak kembali dari dunia ini. Menanti hal yang pernah terjadi sebelumnya pada dunia yang lain.

Namun barangkali ia telah menyerah. Ternyata waktu tak dapat kembali, dunia di sini dan waktu memiliki aturan baku tersendiri. Ia lantas menutup mata, tersenyum dan wajahnya mendongak ke atas. Gelap, lelaki itu tak melihat apapun. Dan hal itu terjadi, keriput di tangannya mulai menghilang, penopangnya lepas, dan rambutnya kembali menghitam. Ia telah kembali, seperti yang ia katakan sebelumnya, “Cinta mampu menghentikan waktu, walau barang sedetik pun ternyata ia mampu”, dan lelaki yang kini muda itu telah sampai pada dunia itu, dunia imaji bagi mereka dan dunia baru baginya.

“Kenapa baru sekarang kau datang, aku telah menerima ceritamu yang lalu. Ceritakan kisah yang baru lagi”, terdengar secarik suara yang bergema. Namun lelaki itu tak mencari asal suara itu. Ia kenal betul siapa yang bersuara. 20 tahun lamanya dan suara itu masih tetap sama, tak menua, tak berubah barang sejengkal pun. Lantas seseorang mendekat menuju diri lelaki itu. Tubuhnya nampak bercahaya, tapi tunggu, ada hal yang membuat takjub mata. Senyumnya ! seorang wanita dengan senyum indah kian mendekat. Lelaki itu tersenyum jua dan berdiri memandangnya.

“Aku bawa cerita baru untukmu, dari tempat jauh. Sebuah kisah baru, dan aku yakin kamu tetap menunggu”, tuturnya.

“Ceritakan itu, sebuah kisahmu yang baru”, ujar wanita itu.

“Sebelum itu, aku ingin menjawab kenapa aku baru datang kemari, 20 tahun ternyata tetap tak cukup untuk meringkas dunia menjadi sebuah kata-kata, ataupun cerita. Sebelumnya aku ingin membuat cerita baru untukmu, lantas kala itu aku berfikir , bagaimana jika aku ceritakan dunia untukmu, dengan segala keindahannya aku mencoba mengubahnya menjadi cerita. Dan kau tahu, 20 tahun lamanya tetap tak cukup. Dunia selalu berubah, waktu pun demikian, namun kata-kata tidak, hanya bertambah sebagian. Dan itu mungkin yang membuat aku nyaris putus asa, lalu mengurungkan niat untuk datang kemari. Maka, dengan hati, roh, dan zahirku yang kini tersisa sebagian, kerana sebagian lainnya telah aku semayamkan dalam ceritaku, aku mohon maaf atas janjiku”, tutur lelaki itu.

Terlihat jelas perangainya sebagai seorang lelaki ; berusaha menepati janji, dan apabila tak dapat maka dengan tegas mohon maaf. Kini wanita dengan senyum indah itu berbicara kepada lelaki itu.

“Adakah yang kau bicarakan itu sebuah permulaan ceritamu ?”

“Tentu bukan, itu sebuah pengakuan. Ceritaku tak memiliki permulaan dan akhir, kerana ceritaku didorong hal yang selalu terang dalam diri, keyakinan dan harapan”, ujar lelaki itu.

“Jika memang benar ceritamu selalu bermula dengan keyakinan dan berakhir dengan harapan, lalu di mana tempatku dan tempatmu ?”

“Tempatku pada kata itu, pada alur cerita itu, dan di antara keduanya. Dan tempatmu…”, lelaki itu terdiam sejenak, berfikir .

“Di mana tempatku?”, ujar wanita itu.

“Tempatmu tidak pada bagian cerita itu, kerana dirimulah tujuan cerita itu berkumpul”, tutur lelaki itu.

“Kalau begitu ceritakan aku kisahmu”, tutur wanita itu.

“Tak ada yang menarik dari kisahku,Juwita . Tak ada hal khusus bagi kisah hidup lelaki yang hanya menjadi pencerita ini”

“Tidak, tapi aku ingin dengar kisahmu sendiri, selama hampir 20 tahun ini kau di sana, ceritakan itu”. Wanita itu tampak begitu antusias, dan berusaha memaksa lelaki itu untuk bercerita terkait kisahnya.

“Baiklah, tapi aku sudah mengatakan tak ada yang menarik dari seorang pencerita sepertiku”, ujar lelaki itu.

Lelaki itu mulai bercerita tentang hidupnya selama ini, sejak awal hingga akhir, dari keyakinan hingga harapan. Wanita itu, yang duduk di hadapannya tampak serius dan begitu antusias mendengar kisah lelaki itu. Sesekali terlihat mereka tertawa lepas. Di bawah langit sendu itu mereka mengulang hal sebelum 20 tahun lalu, ketika wanita itu sedar ada seorang lelaki yang senang memandangnya dan nampak selalu menulis. Dan ketika lelaki itu sedar bahwa sepenggal senyuman mampu melahirkan ribuan kata, bait puisi, hingga cerita.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience