BAB I. FANI

Romance Series 1544

BAB I. FANI

“Ayah, Tuhan pasti tidak sayang Na Ri.”

“Mengapa Nari berkata seperti itu?”

“Soalnya tiap malam Na Ri minta sama Tuhan biar punya adik, tapi Tuhan tidak mengabulkan doa Na Ri.”

Ayah tersenyum, senyuman tulus yang selalu menghangatkan hati Nari kecil. “Manusia boleh berencana Sayang, tapi hanya Tuhan yang bisa menghendaki.”

Waktu itu Fani sama sekali tidak mengerti kalimat ayahnya. Di pikiran Fani mungkin itu semacam kalimat penghiburan dari sang ayah untuknya. Tapi siapa yang menduga kalimat sederhana itu terbukti sekarang. Fani berencana hidup bersama ayahnya dalam waktu yang lama—bisa juga selamanya jika itu mungkin—namun Tuhan tidak menghendaki rencana Fani itu. Ayah pergi lebih dulu meninggalkan Fani yang bahkan baru menginjak umur delapan belas tahun. Waktu yang sangat-sangat singkat bagi Fani untuk memiliki ayahnya.

Fani menutup mata membiarkan bening meluruh dari kelopaknya itu. Satu persatu kenangannya bersama ayah mulai terbayang jelas. Fani memeluk tubuhnya sendiri seolah merasakan kehampaan yang semakin nyata.

“Aku sayang Ayah.” ucapnya setiap saat sebelum terlelap dipelukan sang Ayah.

“Ayah juga sayang Na Ri dan Ibu.”

Selalu seperti itu. Ungkapan singkat namun menenangkan dari ayah berhasil membuat Fani tersenyum dalam tidurnya.

Fani mengusap air mata di pipi, tubuhnya bergerak meraih sebuah bingkai foto di atas nakas, foto keluarganya saat dia masih SMP. Saat itu Ayah, Ibu dan Fani sempat mengambil foto saat berkunjung ke Namsan Tower.

“Appa...” lirih Fani sambil mendekap foto di dadanya, “Mianhe... “ isaknya sedih. Bayangan kejadian menyakitkan itu kembali menghampiri Fani.

“Na Ri minta maaf Ayah... Na Ri janji tidak akan mengulanginya lagi.” ucap Fani sambil menangis.

“Kenapa Na Ri memukulnya?”

“Dia membully Na Ri Ayah. Dia menaruh lem di tempat duduk Na Ri... Dia bahkan menaruh bangkai tikus di tas Na Ri. Na Ri tidak bisa diam saja di perlakukan seperti itu ayah...”

“Ayah akan menemui orang tua-nya.” putus Ayah malam itu.

Yang Fani tidak tahu, malam itu adalah malam naas bagi ayahnya. Ayah kecelakaan di tengah perjalanan menuju rumah orang tua teman sekelasnya. Ayah pergi bahkan sebelum mengabulkan permintaan maaf dari Fani.

“Mianhe Appa... Na Ri yang salah... seharusnya Na Ri mencegah Ayah pergi... seharusnya Na Ri yang mati malam itu...” Fani terisak sedih. Tangannya meraih bantal dan menutup wajah, meredam tangisan yang mungkin bisa di dengar ibunya dari luar kamar. Fani tidak ingin ibunya tahu bahwa sampai sekarang pun dia masih belum bisa menghapus bayangan ayah dari benaknya.

Fani masih menyalahkan diri.

***

“Bibi, ini terlalu banyak. Bagaimana aku akan memakai semua ini?” keluh Fani memperhatikan kresek-kresek putih di atas sofa tepat disampingnya duduk.

Wanita berambut cokelat yang dipanggil bibi tersenyum. “Ini tidak banyak sayang dan jangan menolaknya kalau kau tidak ingin melihat bibi mu yang cantik ini menangis.”

Fani menatap wanita itu untuk yang kesekian kalinya. Wanita itu adalah Shianna—adik ipar Ibu—istrinya paman Ardan. Fani memanggilnya Bibi Ann. Bibi Ann memang cantik tapi sikapnya yang berlebihan membuat Fani kadang merasa tidak enak hati.

“Aku tidak bisa bibi, yang minggu lalu saja belum ku pakai semua.”

“Yasudah di simpan saja. Kamu itu ponakan bibi Nari, bibi sudah menganggapmu seperti anak sendiri, jadi jangan sungkan-sungkan kalau butuh sesuatu.”

Bibi Ann dan paman Ardan—adik Ibu—memang belum memiliki keturunan. Mereka menikah sejak tiga tahun lalu dan baru sekarang bibi Ann dikabarkan tengah berbadan dua. Usia kandungannya sudah menanjak tiga bulan. Fani ingat dia masih duduk di bangku SMP saat pamannya memutuskan menikah dan itu pertama kalinya juga dia ditinggal sendirian di rumah karena Ayah bekerja sampai malam dan Ibu pulang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan pamannya.

Ayah Fani tidak memiliki keluarga dekat di Korea. Kakek dan Nenek dari pihak ayah sudah meninggal saat ayah masih kecil dan dari cerita ayah, dua saudara lelakinya pergi merantau ke tempat yang jauh sedangkan saudara perempuan satu-satunya juga sudah menikah dan menetap di daerah suaminya.

Sebenarnya, Ayah memiliki seorang paman dan juga sepupu yang kebetulan sudah berkeluarga dan juga tinggal di Korea. Tapi kata Ibu, Ayah tidak akrab dengan para sepupunya. Meskipun Kakek Nam Do—paman Ayah—adalah kakek yang baik menurut Fani, namun Ibu tidak ingin Fani dekat-dekat dengan keluarga itu. Ibu lebih memilih membawa Fani ke negara asalnya di Indonesia dan tinggal bersama paman Ardan dan bibi Ann setelah Ayah meninggal. Awalnya Fani enggan menyutui usul Ibu. Tapi karena tidak mau terlarut dalam rasa bersalah dan butuh suasana baru, Fani akhirnya memutuskan pergi dari negara asal ayahnya itu.

Meskipun Fani merasa beruntung memiliki paman Ardan yang perhatian dan bibi Ann yang penyayang namun semua kebaikan yang diterimanya ini masih terasa asing. Selama ini hanya Ayah dan Ibu yang sayang pada Fani. Fani belum terbiasa menerima yang lain.

“Aku tidak sungkan bibi. Tapi ini berlebihan menurutku.” ungkap Fani.

Bibi Ann memasang wajah tidak setuju, “Berlebihan apa sayang? Seorang bibi membelikan baju untuk ponakannya itu bukan berlebihan.”

Fani memperhatikan wajah bibi Ann yang terlihat kesal. Bibi Ann belum berumur seperti Ibu. Umurnya baru menginjak dua puluh enam tahun, wajahnya juga sangat cantik, pantas saja paman Ardan tergila-gila pada perempuan cerewet nan pemaksa ini.

“Anggap saja ini hadiah dari bibi,” bujuk bibi Ann lagi.

Fani berdecak kecil, “Aku belum ulang tahun bibi.”

Bibi Ann menghembuskan nafas lelah melihat tingkah Fani. Dari awal ia sudah menyadari kalau akan susah untuk mendekatkan diri dengan gadis keras kepala seperti Fani. Meskipun Fani tidak menunjukan secara langsung, tapi ia tahu ponakannya itu belum bisa sepenuhnya menerima kehadirannya dan Ardan. Bahkan Fani masih terang-terangan menolak semua pemberiannya beberapa waktu ini. Kalau diingat-ingat ini ketiga kalinya dia membujuk Fani untuk menerima pemberian darinya meskipun berujung penolakan.

Minggu lalu, dia sampai nekat memasuki kamar Fani dan menyusupkan beberapa baju yang dibelinya ke dalam lemari gadis itu. Fani tidak akan menerima jika di kasih terang-terangan, harus dipaksa dulu dengan tindakan konyol barulah gadis keras kepala itu menyerah.

Kata Ardina—kakak iparnya—Fani hanya akan menurut jika disuruh ayahnya dan sekarang ayah anak itu sudah tiada, mau tak mau harus ada orang yang bisa menggantikan posisi ayah untuk meredakan keras kepala Fani. Kalau kakak iparnya sendiri tidak bisa maka ia sendiri yang akan menghadapi ponakannya itu, pikir bibi Ann.

“Anggap saja itu dari ayahmu. Ayahmu akan melakukan hal yang sama jika itu putriku dan Ardan.”

Fani terdiam. Tepatnya, ia tertegun ketika mendengar nama ayah disebut bibi Ann. Pendiriannya tiba-tiba saja goyah. Setelah pergolakan batin yang membutuhkan waktu cukup lama, Fani akhirnya menghela nafas pasrah.

“Ini yang terakhir kali bibi.” peringat Fani.

Senyuman merekah di wajah bibi Ann, ia mengangguk berkali-kali. “Besok kamu mulai sekolah kan?”  Bibi Ann berpindah duduk di samping Fani.

Fani mengangguk.

“Bibi anterin ke sekolah ya?”

“Kata paman Ardan besok Nari diantar oleh sopir.”

Bibi Ann memalingkan wajah dan mengumpat, "Ish! Si jelek!"

Fani yang mendengarnya tercengang, “B-bibi...” ucapnya terbata.

Bibi Ann yang baru tersadar, menyengir salah tingkah, “Bukan! Paman Ardan itu ganteng kok, makanya bibi cinta." Namun saat melihat Fani mengerutkan dahinya seolah tidak mengerti, bibi Ann cepat-cepat menjelaskan. “Maksud bibi, paman Ardan ganteng tapi sifatnya itu yang jelek. Semalam waktu habis bercin—“ kalimatnya terputus, bibi Ann menggigit bibir dan meringis, lanjut memukul-mukul mulutnya sambil mengumpat pelan, entah apa itu Fani tidak peduli.

Bibi Ann tertawa lagi. Tawa yang terdengar sumbang di telinga Fani. “Begini, semalam kata paman Ardan, kamu ke sekolah diantar sama bibi, kok sekarang kamu bilang diantar sopir?”

“Bukan aku tapi paman Ardan.” koreksi Fani.

“Ardan kok ngomong gitu? Kenapa harus nyuruh sopir segala sih! Ck. Lihat saja aku tidak akan menghubunginya duluan!” decak bibi Ann kesal.

Fani geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanakan bibi Ann. Dalam hati Fani mengasihani nasib pamannya yang sudah pasti kelimpungan menghadapi istrinya ini. “Kata paman, biar bibi Ann tidak perlu mengantar Nari nanti,” jelasnya.

Bibi Ann langsung memasang wajah tidak setuju ke arah Fani. “Kenapa? Bibi seneng kok nemenin kamu.”

“Paman Ardan tidak mau bibi sampai kelelahan.” terang Fani, sesuai apa yang disampaikan pamannya itu padanya. Wajah bibi Ann yang tadinya merah padam berubah merona, ia mengulum senyum malu-malu. Fani yang melihatnya tidak tahan untuk berkomentar,

“Wajah bibi memerah.”

“Salahkan pamanmu yang pandai merayu itu.” Bibi Ann berdiri dan berlalu pergi sembari tangannya menempelkan ponsel ke telinga. “Halo Ar...”

Mendengar itu Fani langsung mendengus kecil.

Siapa yang tadi berkata tidak akan menghubungi duluan?

***

“Shianna kesini tadi?” Ardina--Ibu Fani--bersandar di daun pintu ketika Fani sibuk memasukan beberapa buku ke dalam tas untuk sekolah besok.

Fani mengangguk sekilas kemudian melirik Ardina. “Ibu baru pulang?”

Ibunya mengusap tengkuk sebentar, lalu bersedekap sambil mengelus lengan. “Lumayan banyak pelanggan hari ini.”

Ardina sudah bekerja sebagai manajer di sebuah butik, pemiliknya adalah kenalan Ardan. Ardina tidak ingin membebani Ardan yang sudah susah payah menanggung kebutuhan hidup mereka beberapa bulan ini. Yah... meskipun dilihat dari segi ekonomi, tentu saja adiknya itu mampu membiayai kehidupan mereka selain membiayai kehidupannya bersama istrinya, Shianna.

Ardan bekerja di sebuah perusahaan besar dan katanya bos perusahaan itu sangat percaya padanya sehingga mempercayakan Ardan untuk meng-handle perusahaan. Meskipun begitu Ardina tetap ingin bekerja. Ardina tidak ingin terkurung terus di dalam rumah, karena yang ada dia malah terbayang-bayang dengan kepergian sang suami. Lebih baik menyibukan diri daripada menyiksa diri, pikir Ardina.

Awal mendengar alasan Ibunya memilih bekerja, Fani merasa terusik untuk melakukan hal yang sama yaitu mencari kerja paruh waktu. Namun ibunya melarang dan bilang kalau Indonesia berbeda dengan Korea. Di Indonesia jarang ada pelajar yang bekerja.

Fani mengaitkan menutup tas lalu menghampiri Ardina dan memeluk manja. "Nari lapar Ibu..." rengeknya seperti anak kecil.

Ardina mendengus geli. "Jangan bohong kamu! Shianna bilang dia membelikan pizza untukmu."

"Bukan hanya pizza." cibir Fani.

Ardina tertawa kecil sebelum bertanya, "Kenapa kamu selalu menolak pemberian bibi Ann?"

"Nari tidak suka." jawabnya jujur.

"Tidak suka pemberiannya?"

Fani lantas menggeleng. "Hanya ibu yang boleh membelikan Nari baju."

"Berarti kamu suka pemberian bibi Ann?" tanya Ardina.

"Ia keras kepala." Fani melepas pelukannya. "Ayo Ibu, buatkan aku sesuatu. Anakmu ini lebih suka masakanmu."

Ardina berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Kalian memang cocok." ujarnya sebelum menyusul Fani menuju meja makan.

***

"Ingat Sayang, mulai besok biasakan dirimu menyebut nama Fani. Hilangkan kebiasaan menyebut dirimu sendiri dengan nama Nari." pesan Ardina sebelum Fani beranjak meninggalkan meja makan.

"Ne" jawab Fani malas. Perutnya sudah kekenyangan sehabis makan nasi goreng buatan ibunya.

Fani melangkah menuju kamar sembari mengingat pesan ibu tadi. Tiffany Anastasya Lee, begitu nama barunya sekarang. Hanya sebuah nama namun Fani rasanya tertimpa sebuah beban berat. Bagaimana tidak? Ia baru saja tinggal di negara ini dan tiba-tiba saja namanya berubah sedemikian rupa. Jelas saja di telinga Fani sendiri namanya itu terdengar agak aneh, karena biasanya telinga Fani akan mendengar kemudian berbalik jika dirinya dipanggil Lee Na Ri atau paling tidak Na Ri saja, seperti kedua orang tuanya biasa memanggilnya.

Tidak bisakah dia tetap memakai namanya itu? Atau kalau boleh nama Lee saja yang di ganti sedangkan ia tetap menggunakan nama Nari. Tidak apa-apa jika ia harus menambahkan nama Setiawan di belakang namanya seperti nama Ibu, asalkan ia tetap dikenal dengan nama Nari. Menurutnya, mengganti identitas itu sama saja dengan kehilangan jati diri.

Sekarang tambah satu lagi tugas barunya. Fani bukan saja harus beradaptasi dengan sekolah barunya namun juga harus membiasakan telinganya mendengar nama Fani, kemudian merespon tubuhnya untuk berbalik.

Fani menutup pintu di belakangnya. Menuju meja rias dan membuka laci, lalu mengambil ponsel yang dibelikan ibu sebulan yang lalu.

Fani menghubungi seseorang.

"Yeoboseyo..." sapa suara di seberang.

"Na Na-ya... Ini aku Na Ri."

"Na Ri?? Lee Na Ri?!"

"Ne"

"Na Ri-ya...!!"

Fani terkekeh kecil. Perasaan gundah seketika terobati hanya karena mendengar suara di seberang. Fani bisa membayangkan wajah terkejut orang itu saat mendapati telepon darinya.

“Yaa!! Kenapa baru menghubungiku sekarang?” tanya suara di seberang.

“Mianhe Na Na-ya. Aku sibuk mengurusi kehidupan baruku disini.” jelas Fani memberikan alasan.

Na Na adalah sahabat Fani saat masih tinggal di Korea. Nama lengkapnya Kim Na Na. Fani memang belum sempat menghubungi Na Na karena alasan tadi. Namun besok Fani sudah akan bersekolah di sekolah barunya dan ia tidak ingin mengingkari janji. Ia sudah berjanji pada Na Na untuk menceritakan pengalaman barunya tinggal dan bersekolah di Indonesia.

"Apa yang kau lakukan?” tanya Fani karena Na Na tak kunjung bicara.

“Menunggumu bicara.”

“Seharusnya kau menanyakan kabarku.”

“Dari suaramu aku tahu kau baik-baik saja.”

“Micheo!” umpat Fani. Jika bicara dengan Na Na, Fani memang tidak pernah sungkan-sungkan. Entah itu kata kasar atau semacamnya pun, Fani tidak akan menahannya jika lawan bicaranya adalah Na Na.

Tawa Na Na terdengar di seberang. “Itu nama lainmu.”

Fani mendengus kesal seraya duduk di pinggir ranjang. “Mengapa kau berubah menyebalkan seperti ini?”

“Salahmu sendiri tidak menghubungiku.”

“Aku berjanji akan menghubungimu saat masuk sekolah. Besok aku masuk sekolah dan aku sudah menepati janjiku.”

“Baiklah. Dan terima kasih sudah menepati janji.” balas Na Na. "Oh ya, Sun Woo menanyakanmu."

“Sun Woo? Kakak kelas itu? Bukankah dia sudah lulus?”

“Tentu.”

“Lalu untuk apa dia bertanya tentang aku?”

“Kau tahu dia pernah tertarik padamu.”

Fani memutar bola matanya. “Beritahu dia aku sudah pindah.”

“Dia juga sudah pindah. Tapi di lain hati.”

Fani mengerutkan keningnya, tidak mengerti kalimat Na Na yang terakhir. ”Lain hati?"

“Sun Woo menyatakan cinta padaku beberapa waktu lalu dan kami berkencan.”

“Uwa! Jinja?!” Fani tersenyum lebar antara kaget dan senang. "Mengapa baru memberitahuku sekarang?!”

“Babo! Sudah ku bilang salahmu sendiri tidak menghubungiku.”

Fani mengubah posisi duduknya menjadi berbaring, dia mengambil boneka dinosaurus di atas kepala ranjang lantas memeluknya. “Sekarang aku tahu mengapa kau berubah menyebalkan seperti ini. Ternyata kau berkhianat. Kau berubah peduli pada yang lain.” ucap Fani.

Tawa Na Na kembali terdengar. “Terserah kau saja. Aku tidak bisa mengelak kali ini.”

“Kau berbeda Na Na.” ungkap Fani.

“Aku? Apa yang berbeda dariku?”

“Molla. Hanya saja kau terdengar lebih ceria.”

“Aku memang sedang berbunga-bunga.”

“Bahasamu menjijikan!” umpat Fani lagi. “Kau terdengar seperti orang gila.”

“Hahaha… kau juga akan mengalaminya suatu saat nanti.”

“Menjadi gila sepertimu?”

“Kalau kau jatuh cinta kau akan sulit menentukan sikap.”

“Cinta? Oh... tidak. Terima kasih sudah memberitahuku, tapi aku lebih memilih menjadi waras.”

“Lihat saja nanti. Aku berharap semoga tidak ada lelaki yang jatuh cinta padamu.”

Fani menaikan sebelah alis. “Ada apa memangnya?”

“Aku hanya tidak ingin lelaki itu bernasib sial karena bertemu gadis sepertimu.”

“Yaa! Aku juga berharap tidak berakhir gila karena seorang lelaki!”

Fani langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Selain karena kesal, ia juga baru sadar kalau sedang menelpon ke luar negeri.

Ah... sudahlah, batin Fani sembari mencari posisi nyaman untuk tidur. Fani melirik jam di dinding kamarnya, masih jam sembilan lebih. Ia biasanya tidur di atas jam sepuluh. Pengecualian untuk malam ini karena dia tidak ingin terlambat ke sekolah barunya besok. Cukup dengan kebiasaan lama, kali ini Fani bertekad menjadi siswa yang tidak bandel dan patuh.

Fani menarik selimut dengan bantuan kaki lalu menutupi sebagian tubuhnya. Ia memejamkan mata untuk beritirahat, dalam hati memohon pada Tuhan untuk menjaga tidurnya malam ini, juga kepada ayah agar tidak lupa membangunkannya seperti biasa, meskipun dalam mimpi.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience