BAB II. SEKOLAH DAN TEMAN BARU

Romance Series 1544

BAB II. SEKOLAH DAN TEMAN BARU

     “Fani, Fani, Fani,” Fani melafalkan namanya di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Pagi ini ia diantar oleh sopir yang sengaja dikerjakan paman Ardan untuk mengantar-jemputnya ke sekolah setiap hari. Akhirnya juga bibi Ann mengalah meskipun Fani tidak tahu karena alasan apa. Kemarin setelah paman Ardan menelponnya, bibi Ann tidak lagi memaksa mengantar Fani ke sekolah.

Sebenarnya, Fani sudah lumayan hafal dengan jalanan menuju sekolah karena dia dan Ibunya sudah pindah ke Indonesia hampir sebulan lalu. Fani dipindahkan saat liburan kenaikan kelas di sekolah barunya, dan untungnya begitu, karena Fani tidak ingin saat dia masuk ke sekolah nanti dia harus beradaptasi dengan mata pelajaran yang sedang berlangsung.

Ibunya yang asli orang Indonesia, memang sudah mengatur segala macam kebutuhan serta keperluan sebelum Fani masuk ke sekolah. Bahkan kepindahan sekolahnya pun sudah diatur Ibu dengan bantuan paman Ardan sebelum mereka pindah dan menetap di Indonesia.

Hari ini Fani mengenakan seragam SMA Bhakti Nusa, SMA barunya. Fani mengenakan kemeja putih lengan pendek bergambar logo sekolah di saku baju, rok bermotif kotak-kotak berwarna merah hitam, dan dasi menyilang dengan motif yang sama. Cukup ganjil menurut Fani. Biasanya ia akan menambahkan rompi dibalut jas seperti seragam di SMA-nya dulu.

Namun, Fani merasa lega karena meskipun seragam sekolahnya berbeda, tapi sepatu dan tas yang biasa ia pakai ke sekolah masih bisa digunakan di sekolah barunya ini. Model rambutnya pun masih sama seperti biasa. Ia terbiasa menguncir setengah rambut di sisi kiri dan kanan dengan ikat rambut berbentuk pita, sedangkan rambut di keningnya yang sudah memanjang hingga menutupi alis dibiarkan begitu saja.

Fani langsung memakai tas punggung warna pink—miliknya—saat melihat sebuah gerbang di depan mata. Gerbang SMA Bhakti Nusa. Ia turun saat mobil berhenti dekat sebuah pohon besar lalu mengangguk singkat pada sopirnya sebelum melangkah menuju gerbang yang masih terbuka.

Fani melirik jam tangan warna pink di pergelangan kiri yang sudah disetelnya mengikuti waktu Indonesia. Masih jam tujuh kurang lima belas menit. Kata paman Ardan, sekolah barunya ini sangat tertib apalagi soal jam masuk sekolah. Fani meghela nafas lega saat tahu bahwa dia tidak terlambat datang di hari pertamanya sekolah.

Sampai di koridor Fani langsung disambut berbagai macam tatapan dari anak-anak di sekolah, entah itu tatapan-tatapan jenis apa Fani mengabaikannya. Fani melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan yang beberapa hari lalu ditunjukan paman Ardan saat mereka berkunjung ke sekolah ini.

Ruang Guru.

Fani masuk ke dalam dan melihat kira-kira tiga orang dewasa yang mengenakan pakaian seragam berwarna cokelat dan sisanya mengenakan pakaian bebas rapi. Fani bergerak mendekati salah satu meja yang ditempati seorang lelaki dewasa yang juga berseragam.

Fani berdehem gugup sebelum berujar pelan. "Selamat Pagi."

"Pagi." Lelaki berumur itu menjawab tanpa menatap Fani.

“Aku murid baru dari luar negeri.” begitu kata Fani dan kepala-kepala yang sempat mendengar suaranya langsung mengalihkan tatapan ke arah Fani, membuatnya semakin gugup.

Fani meringis masam seraya mengeratkan genggaman di tali tas lalu matanya menangkap seorang wanita muda dengan senyum cerah—yang duduk dekat lemari—mulai berjalan menuju ke arahnya.

“Ayo ikut Ibu.” Kata wanita itu.

***

“Selamat pagi anak-anak.” sapa wanita tadi yang baru Fani ketahui bernama Karmila Astuti, wali kelas di kelas IPA 4, kelas Fani nanti. Mereka sempat berkenalan sebentar saat akan menuju ke kelasnya ini.

“Pagi juga Buuu...” balas anak-anak sekelas dengan teriakan yang lumayan panjang.

Saat ini Fani sedang berdiri diluar kelas, menunggu dipanggil ibu Mila untuk diperkenalkan sebagai murid baru. Fani menunduk menggesek-gesekan sepatu pada lantai keramik di bawahnya. Telinganya masih mendengar perkataan serta nasihat dari Ibu Mila di dalam kelas sebelum kemudian mendengar nama Fani dipanggil oleh Ibu Mila.

Fani masih diam, menunggu sebelum memastikan bahwa memang dirinya yang sedang dipanggil.

Sekali lagi nama 'Fani' dipanggil Ibu Mila.

Saat itulah Fani cepat-cepat berbalik lalu melangkahkan kaki ke dalam kelas itu. Ia tersenyum sopan pada Ibu Mila lalu mensejajarkan posisi berdiri tepat disamping wali kelasnya itu. Tubuh Fani berbalik lalu seketika menahan nafas melihat puluhan pasang mata melihat ke arahnya, menatap lurus pada dirinya.

“Anak-anak, ini dia teman baru di kelas kalian.” kata Ibu Mila lalu mengalihkan tatapan pada Fani. “Ayo Fani, perkenalkan dirimu.” bisiknya.

Fani berdehem singkat sebelum menatap mantap pada anak-anak yang akan menjadi teman sekelasnya nanti. “Hai. Aku Fani. Pindahan dari Korea.”

Singkat namun efeknya jauh lebih dahsyat. Seketika kelas yang tadinya sunyi langsung berubah rusuh. Ada yang berbisik-bisik, ada yang memukul meja bahkan ada yang berteriak heboh, lebih banyaknya dari kaum hawa.

“Kenal Lee Min Ho dong!” teriakan dari salah satu murid perempuan membuat Fani yang mendengarnya tersenyum masam.

“Wah… akhirnya kelas kita ketiban cewek korea juga!” cetus seorang murid lelaki dengan suara yang sengaja dibuat keras. “Udah punya pacar belum Fan? Disini banyak yang jones loh!”

Fani mengerutkan kening tidak mengerti mendengar kata jones, dia baru saja mau menanggapi ketika suara Ibu Mila lebih dulu menginterupsi kehebohan itu. “Sudah, nanti kenalan sama Fani pas jam istirahat saja.” kata Ibu Mila.

“Kita kan belum tahu nama lengkapnya Fani Bu, iya gak temen-temen?” ujar murid lelaki itu lagi yang langsung mendapat anggukan setuju dari teman kelasnya.

Ibu Mila geleng-geleng kepala sebelum menyodorkan sebuah map merah yang diterima Fani dengan bingung, lalu kembali menyodorkan spidol yang diambilnya di atas meja, “Tolong tuliskan nama kamu di papan sesuai yang tertera di absen.”

Fani yang baru mengerti langsung menganggukan kepala paham. Ia maju ke depan lalu menuliskan beberapa huruf disana.

Tiffany A. Lee

Fani berbalik melihat ke arah Ibu Mila yang menatap lurus ke arah papan tulis.

“A itu apa Fani?” tanya Ibu Mila menatapnya.

“Ayam..!” celetuk seorang murid lelaki sebelum Fani sempat menjawab.

Gelak tawa anak sekelas langsung membahana mendengar lelucon garing itu. Fani menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya kalau sedang kesal atau panik.

Baru hari pertama sekolah dan dia sudah di bully sama teman barunya? Huh! Indonesia sama saja! batin Fani merutuk.

***

“Lo dari Korea bagian mana? Selatan kan? Pasti kenal dong sama Hyun Bin oppa?” tanya salah satu murid perempuan yang Fani tak tahu namanya.

Belum lima menit setelah jam pertama berakhir dan meja Fani langsung dikerumuni oleh teman-teman sekelasnya. Rata-rata penghuninya kaum perempuan sedangkan kaum lelaki membuat sebuah kumpulan kecil dekat pojok, bercakap-cakap sambil sesekali melirik ke arah meja Fani.

Fani sedari tadi hanya tersenyum masam saja, tidak tahu harus menjawab dengan jawaban seperti apa, karena jujur dia tidak mengenal orang-orang yang tadi ditanyakan teman sekelasnya itu. Mungkin Fani sebatas tahu saja bahwa mereka itu artis di negara lamanya. Fani bukan fangirl seperti kebanyakan gadis di negara lamanya itu, yang kemana-kemana menguntit para idolanya, selalu membawa lightstick saat sedang menonton live idolanya tampil di panggung atau pun sekedar menempeli tas sekolah dengan pin-pin bergambar wajah idol-idol. Fani hanya anak biasa yang kebetulan lahir dari rahim seorang wanita yang menikah dengan lelaki keturunan Korea.

“Gimana sama Minwo oppa? Gue penasaran pengen liat muka aslinya langsung. Lo pasti beruntung banget deh Fan!”

Fani meringis mendengar lontaran kalimat yang kesekian kali dari teman-temannya itu, dia bahkan tidak tahu Minwo itu siapa. Artis kah? Boyband kah? Hm, dia harus bertanya pada Na Na nanti.

“Fani, muka lo mirip-mirip Bomi A-Pink deh, rambut lo juga panjang apalagi dikepang gitu, cantik.” ucap seorang murid perempuan yang sedari tadi berdiri diam memperhatikan penampilan Fani, dia mendekat lantas menghirup rambut Fani, “Wangi lagi, pasti shampoo dari Korea kualitasnya bagus banget ya, rambut lo mirip banget sama Bomi. Tapi.. lo beneran bukan Bomi kan?” tuduhnya yang langsung mendapat sikutan teman di samping.

“Hush! Lo aneh-aneh deh, terlalu suka sama Bomi lama-lama bikin lo gila.” tegur temannya.

“Hush!” Murid perempuan tadi meletakan telunjuk di depan bibir lantas tersenyum sumringah. “Lagunya Bomi juga judulnya Hush!” kekehnya senang.

Fani menganga tak percaya. Bahkan teman-teman lain yang mendengar perkataan murid perempuan itu, mendengus jengkel lalu tanpa permisi undur diri dari kerumunan itu, menyisakan empat orang yang masih setia berdiri mengelilingi meja Fani, termasuk murid perempuan tadi.

Beginikah calon teman barunya?

“Hm, Fan, maafin kelakuan teman-teman gue ya? Mereka emang pada gitu orangnya. Mungkin gue sendiri yang normal di kelas ini.” ujar salah satu dari ke empat orang tersebut. Wajahnya manis dengan potongan rambut sebahu.

Ketiga temannya yang mendengar langsung pada protes. Fani mau tak mau tersenyum tipis. Tidak apalah, setidaknya masih ada salah satu yang normal di kelas ini, batinnya lega.

“Oh ya, kita kan belum kenalan, nama gue Ratna Septi. Panggil aja Septi, soalnya di sekolah ini yang namanya Ratna ada tiga orang.” ucap perempuan barambut sebahu memperkenalkan diri.

Fani mengangguk sekilas.

“Gue Cantika Andini. Terserah lo mau manggil gimana, Tika kek, Andin kek, Dini juga boleh, asal jangan Cantik aja,” kata murid perempuan dengan poni mirip Anissa Chibi.

Fani tersenyum simpul. Dalam hati mengakui bahwa Cantika Andini adalah gadis cantik yang pemalu.

“Gue Joy.” suara interupsi menyadarkan Fani dari keterpekaannya pada Cantika, dia lantas menoleh pada seseorang yang berdiri di samping Cantika. Murid perempuan dengan rambut dikuncir, sedang bersedekap sambil menatapnya dengan tatapan meneliti. Wajahnya yang tampak seperti bukan asli orang Asia membuat Fani yakin dalam tubuh perempuan itu mengalir darah campuran.

Nyali Fani menciut, dia meringis sambil menggigit bibir bawahnya. Takut juga ditatap seperti itu.

“Joy... kebiasaan banget deh!” Septi menoleh pada Fani. “Tenang aja Fan, Joy emang suka gitu sama orang baru. Gue yang paling kenal nih anak, dia cuman gonggong doang nggak berani gigit.” kata Septi menyindir Joy. Joy langsung berdehem canggung.

Fani yang melihat itu tidak bisa untuk tidak tersenyum, dia mungkin tidak tahu arti kata ‘gonggong doang nggak berani gigit’ yang diucapkan Septi itu apa, tapi dia cukup paham, Septi pasti berteman dekat dengan Joy, karena nyatanya sikap Joy berubah saat Septi bicara.

Ah.. tiba-tiba Fani teringat Na Na lagi. Sedang apa sahabatnya itu?

“Noh! Giliran lo Bominatik!” kata Septi lagi.

Fani langsung mengalihkan tatapan pada murid perempuan yang tadi mengatakan bahwa wajahnya mirip Bomi-Bomi itu. Perempuan itu sedang memegang sebuah kipas berbahan plastik bergambar wajah seorang. Fani menajamkan penglihatannya lalu melihat tulisan nama Bomi pada kipas itu.

“Mirip lo kan?”

“Ne?” gumam Fani tanpa sadar.

Mirip? Apanya yang mirip? batin Fani tidak mengerti.

Gadis dengan bandana hijau itu tertawa, menampilkan lesung di kedua pipinya. “Gue Bonita Mirzani. Bukan adeknya Nikita Mirzani, karena dia suka skandal sedangkan gue nggak punya skandal, dan karena gue nggak mau disangkut paut sama dia, jadi nama Bonita Mirzani gue singkat aja jadi Bomi. Gimana? Keren kan?!” tanya Bonita dengan wajah bangga.

“Keren darimana? Aneh tau nggak! Mana ada orang Indonesia namanya Bomi!” kata Septi tidak terima.

Fani yang mendengar itu tersenyum lalu menyapa santai, “Hai Bomi.”

Keempat murid itu langsung menatap Fani dengan wajah menganga. Bahkan Septi yang dibilang cerewet pun terdiam di tempatnya. Bonita yang duluan sadar lalu menerjang tubuh Fani dengan pelukan erat. “Dari awal gue udah tau, lo itu memang Bomi.” ucapnya senang.

Fani bergerak-gerak risih, membuat Bonita cepat-cepat melepas pelukannya. “Ah, senangnya bisa meluk Bomi KW!” kekeh Bonita lebay.

“Oh ya Fan, lo kok nggak susah ngomong bahasa sini? Ngerti juga bahasa kita-kita. Lo kursus ya?” tanya Septi.

Fani tersenyum seraya menggeleng, “Ibuku orang Indonesia. Dari kecil aku sudah dilatih bicara bahasa Indonesia oleh Ibu.”

“Jadi lo bisa dua bahasa dong? Eh, salah, tiga sama bahasa inggris.”

Fani mengangguk membenarkan. “Hanya saja aku belum terbiasa menggunakannya seperti kalian. Maafkan aku kalau suatu saat aku tanpa sadar menggunakan bahasaku.”

Septi tersenyum maklum lalu menepuk pundak Fani. “Tenang saja, gue orangnya pengertian kok,”

Cantika pura-pura mual mendengar kalimat Septi. “Coba dong Fan, ngomong bahasa Korea, gue kan pengen juga dengerin orang korea ngomong bahasa korea,” pintanya.

“Iya Fan, kalau malu nggak usah panjang-panjang. Cukup Say Hai aja, tapi pakai bahasa lo ya Fan.” tambah Septi.

Fani kembali menggigit bibir bawahnya, sebelum menatap pada empat pasang mata yang menunggunya bicara. Bahkan Joy yang dari tadi berdiri diam ikut-ikutan menatap seperti itu pada Fani, seolah menodongnya untuk segera bicara.

“An-annyeong” ucap Fani ragu.

Bonita yang mendengar itu langsung berteriak heboh, “Uwa...!!”

***

Hari-hari berikutnya Fani ke sekolah dengan suasana yang seperi biasa, dia juga sudah mulai akrab dengan Septi, Cantika, Joy dan Bonita. Bahkan mereka berlima sudah seperti kelompok saja kemana-mana selalu bersama.

“Oh ya Fan, waktu itu lo belum jelasin ke kita-kita huruf A di nama lo itu artinya apa.” kata Cantika saat mereka berlima duduk di kantin sambil menyantap bakso.

“Memang A itu artinya apa sih?” Septi ikut bertanya.

“Anastasya.” jawab Fani sambil menyantap nasi goreng di piringnya. Fani memang tidak menyukai bakso.

“Jadi nama lo Tiffany Anastasya Lee?” kali ini Bonita yang angkat bicara.

Fani mengangguk.

“Nama korea lo apa? Lo pasti punya nama korea kan?”

Fani menatap Bonita lalu menangguk lagi. “Lee Na Ri.” jawabnya.

Septi, Cantika dan Bonita mangut-mangut paham sedangkan Joy masih diam, fokus dengan bakso di mangkuknya. Dari hari pertama masuk, Fani memang belum terlibat obrolan panjang dengan Joy, berbeda dengan Septi yang cerewet, Cantika yang pemalu dan Bonita yang alay, Fani langsung akrab dengan ketiga temannya itu. Mungkin karena Joy orangnya pendiam dan tidak banyak bicara, tapi meskipun begitu, Joy temannya Septi jadi dimana ada Septi disitu ada Joy dan Fani tidak masalah dengan hal itu, dia yakin Joy itu teman yang baik, buktinya Joy menerima Fani di kelompok itu dengan tangan terbuka.

“Oh ya, si Ferdi apa kabar?” tanya Cantika membuka obrolan baru.

“Nanyanya Ferdi, tapi ujung-ujungnya malah ke temannya Ferdi, si Axel.” cibir Septi.

Cantika menyengir malu, “Gue kan belum habis nanya, kalo bahas Ferdi yaudah pasti teman-temannya juga termasuk,” ucapnya membela diri.

“Nggak ada tuh yang spesial, habis dari Polandia ya gitu, Ferdi nggak ada kegiatan lagi, Axel, Bagas dan Kinan juga begitu, mungkin udah naik kelas tiga kali ya, udah kelas persiapan UN jadi aktivitas mereka diluar KBM ditiadakan.” jelas Septi.

Fani yang mendengar bertanya penasaran. “Mereka siapa?”

Septi menggeser mangkuk yang sudah kosong lalu menatap Fani, “Ferdi and Friends.” jawabnya antusias. Ia menumpukan tangan di bawah dagu sebelum melanjutkan, “Ada Ferdi, Axel, Bagas dan Kinan. Kalau Ferdi sama Axel sekelas di IPA 1, Bagas anak Bahasa dan Kinan anak IPS 1. Sebenarnya mereka nggak berteman akrab sih, tapi daripada menyebut nama satu persatu yaudah deh kita namain aja Ferdi and Friends.”

“Ferdi and Friends?”

“Iya, karena dari mereka berempat Ferdi yang paling ganteng!” jawab Septi mengabaikan pelototan Cantika.

“Nih gue jelasin. Yang pertama itu Ferdi, nama lengkapnya Ferdinand Angelo. Dia itu Juara Umum di sekolah ini dan baru-baru aja mewakili sekolah kita ngikutin lomba Olimpiade Matematika di Polandia. Bayangkan Fan! Polandia..!” jelas Septi heboh.

Cantika langsung mencibir, “Jangan dengerin dia Fan, Septi memang nge-fans banget sama Ferdi makanya dia terlalu melebih-lebihkan. Menurut gue tuh, Axel yang paling perfect.”

“Iya, karena dia kapten basket dan lo juga suka sama dia.” potong Septi sewot.

Cantika cepat-cepat menutup mulut Septi dengan tangannya. “Ssttt..! Jangan keras-keras ngomongnya.” bisiknya melirik sana sini.

Fani tersenyum kecil melihat gelagat temannya itu, dari sini dia bisa menangkap bahwa Cantika memang menyukai Axel. “Bagas dan Kinan?” tanya Fani menghentikan aksi Cantika membungkam Septi.

Septi langsung menghela nafas lega, dia lantas menoyor kepala Cantika membuat gadis berponi itu mengadu sambil mengusap-ngusap kepala. “Diam nih, gue lagi ngasih penjelasan sama Fani.” kata Septi yang disambut decakan kesal dari Cantika.

“Bagas itu Ketua Osis, bokapnya pemilik yayasan sekolah ini.” jelas Septi lagi.

“Kalau Kinan itu anak orang kaya, dia juga vokalis di band sekolah.” sambung Cantika.

“Jadi mereka itu apa?” tanya Fani lagi, masalahnya dia belum mengerti inti dari penjelasan Septi soal Ferdi and Friends itu apa.

“Mereka itu sama kayak boyband kalo di Korea Fan, jadi nggak usah pusing mikirin anak-anak itu.” kata Bonita sambil mengipas-ngipas wajah dengan kipas plastik miliknya sedangkan Joy sibuk memainkan ponsel di tangan, mungkin main game karena terdengar bunyi krasak-krusuk dari hapenya Joy.

“Axel nggak kayak gitu! Dia nggak pernah pakai celana ketat dan tipis kayak boyband-boyband kesukaan lo itu!” teriak Cantika tidak terima, dia bahkan tidak sadar sudah menyebut nama Axel dengan lantang.

“Ewh! Lo segitu sukanya sama dia, emang lo tau dia suka lo juga?” cibir Bonita ikutan tidak terima idolanya dikatai seperti itu.

“Setidaknya Axel itu nyata nggak kayak idola-idola lo yang semu!”

“Nyata tapi nggak ada kepastian juga namanya percuma!”

Cantika menggeram jengkel. “Axel punya panggilan khusus buat gue!”

“Apa?”

“Poni Kuda.”

Hanya Fani yang belum mengerti kenapa tiba-tiba Septi dan Bonita terbahak-bahak sedangkan Joy mendengus geli.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience